Di satu sisi, ini adalah hadiah karena akan menambah jumlah tanah yang dimiliki Ieyasu, tetapi di sisi lain juga akan melemahkan posisinya.
Tanahnya lebih jauh dari ibu kota Kyoto (Heiankyo) daripada wilayahnya saat ini, dan kendalinya atas wilayah itu juga akan kurang aman. Hal itu karena keluarganya tidak memiliki hubungan tradisional dengan daerah tersebut.
Ieyasu memutuskan untuk menerima tawaran itu karena, jika tidak, berarti berperang dengan Hideyoshi. Ieyasu mendirikan markasnya di sebuah desa nelayan kecil bernama Edo tempat dia memulai pembangunan sebuah kastel.
Pada tahun 1590-an, ketika Hideyoshi menghabiskan kekuatannya dalam dua kampanye militer yang menghancurkan di Korea, Ieyasu mengonsolidasikan kendalinya atas wilayah Kanto.
Pada tahun 1598, Hideyoshi jatuh sakit dan, mengantisipasi kematiannya sendiri, dia mendirikan Dewan Lima Tetua untuk memerintah sampai putranya yang berusia lima tahun, Hideyori, cukup umur untuk memerintah.
Ieyasu adalah yang paling kuat dari lima tetua dan, setelah kematian Hideyoshi, dia menggunakan posisinya untuk mencoba dan merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri. Lambat laun para daimyo besar terbagi menjadi dua kelompok.
Orang-orang di Jepang barat kebanyakan mendukung Hideyori, sedangkan orang-orang di timur kebanyakan mendukung Ieyasu.
Pada Oktober 1600, terjadi pertempuran hebat antara kedua belah pihak di Sekigahara dekat Danau Biwa di Jepang tengah. Ieyasu menang, dan dia menjadi penguasa de facto Jepang.
Sebuah Pemerintahan Baru
Ieyasu menggunakan kemenangannya sebagai kesempatan untuk mendistribusikan kembali tanah secara radikal. Dia menyita tanah para daimyo yang dia anggap sebagai musuh bebuyutan.
Beberapa di antaranya dia simpan untuk dirinya sendiri, dan beberapa dihadiahkan kepada para pendukungnya.