Budak Rumah Tangga hingga Baboe dalam Sejarah Kolonial Hindia Belanda

By Galih Pranata, Rabu, 28 Juni 2023 | 15:00 WIB
Potret baboe yang mengasuk dua anak sinyo dan nonik Eropa. Dalam sejarah kolonial, sebelum dikenalnya istilah baboe, VOC memberlakukan perbudakan untuk melayani urusan rumah tangga orang-orang Belanda. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Perbudakan umumnya kerap terjadi di beberapa negara yang terkena pengaruh kolonialisme barat. Dalam sejarah kolonial, orang Afrika umumnya lebih disorot dalam agenda perbudakan internasional.

Sejarah kolonial Belanda menyebut beberapa perbudakan yang terjadi di Suriname dan Antillen menjadi paling disorot, padahal sejatinya, VOC telah memulai ekses-ekses perbudakan juga di Hindia Belanda.

Secara sederhana, banyak para sejarawan menilai bahwa perbudakan di seluruh belahan dunia dilakukan secara kejam, namun beberapa menyebut perbudakan di Hindia Belanda dianggap relatif lebih ringan.

"Budak di Hindia Belanda bekerja lebih tenang sebagai pelayan rumah tangga (orang-orang Belanda)," tulis Matthias van Rossum kepada Geschiedenis Magazine dalam artikelnya berjudul De onbekende slavernij in Nederlands-Indië yang diterbitkan pada 14 november 2019.

Para pembantu rumah tangga dijadikan pelayan bagi orang-orang Belanda yang diminta bekerja secara paksa tanpa diupah. Utamanya bagi para perempuan, mereka diminta untuk jadi pelayan dalam mengurusi urusan rumah tangga sang majikan.

Seperti halnya terpampang dalam sebuah lukisan wanita Jawa yang mengenakan seperti kemben, merupakan representasi pembantu rumah tangga yang ada di era VOC. Lukisan itu dibuat sekira tahun 1780 di Batavia. Namanya Roosje.

Sang kreator lukisan, Jan Brandes, menyebut Roosje sebagai "budak yang melakukan pekerjaan rumah tangga." Budak seperti Roosje memang dipandang tidak mendapatkan pekerjaan fisik yang berat sebagaimana yang terjadi di Suriname atau Antillen Belanda. 

Meski dipandang tak mendapat pekerjaan fisik yang berat, para budak pelayan rumah tangga para kompeni selalu "mendapatkan tekanan mental yang luar biasa karena memiliki kedekatan emosional dengan majikannya, sehingga tak sungkan untuk memarahi hingga melukai," tambah van Rossum.

Potret Roosje, seorang budak rumah tangga yang dipekerjakan VOC, digambar di Batavia sekitar tahun 1780. (Rijksmuseum/Geschiedenis Magazine)

Dalam rumah tangga, seorang budak dipaksa bekerja tak kenal lelah di pagi, siang, dan malam. Mereka tidur di dalam rumah majikannya. Diketahui dalam catatan sejarah kolonial, budak rumah tangga "sering tidur di lantai dapur atau di gudang," imbuhnya lagi.

Pada umumnya, para budak rumah tangga yang dipekerjakan secara paksa oleh VOC, akan ditempatkan, tinggal di kamar terpisah. Seperti dimarjinalkan, mereka tidak tidur di kamar layak, kadang bahkan diminta untuk "tidur di loteng," terusnya. 

Selain para wanita yang dijadikan budak rumah tangga, sejarah kolonial juga mencatat bahwa VOC memperbudak laki-laki pribumi untuk dipaksa bekerja di sawah dan ladang. Tak sedikit juga beberapa wanita dipaksa berpanas-panas kala musim panen tiba.

Terlebih, budak wanita yang dipaksa jadi pelayan rumah tangga, mengalami isolasi hebat dalam hidupnya. Mereka jauh dari ingar bingar dunia luar. Mereka terkungkung di dalam rumah Belanda, hingga tak pelak banyak yang kemudian nekat untuk melarikan diri. 

Barulah setelah ditetapkan undang-undang penghapusan perbudakan, para pelayan rumah tangga yang notabene merupakan perempuan pribumi, tetap diminta bekerja. Hanya saja, mereka diupah walau tak seberapa.

Istilah selanjutnya mereka yang bekerja untuk rumah tangga dikenal dengan istilah "baboe." Istilah baboe atau Kindermeid, adalah wanita-wanita pribumi yang meniti hidupnya sebagai pelayan bagi keluarga elit Eropa di zaman Hindia Belanda. 

Baboe hidup membersamai tumbuh kembangnya anak-anak Eropa. Kehidupan rumah tangga Eropa yang penuh dengan paradoks, memberi perannya di tengah keluarga Eropa di Hindia Belanda.

Pekerjaan baboe sangat padat, mulai dari mempersiapkan waktu bagi sinyo dan noni bangun pagi, memandikan mereka, kemudian mempersiapkan mereka untuk berangkat ke sekolah hingga mereka pulang kembali ke rumah.

Baboe Engko dengan anak-anaknya: Bertha Kerkhoven dan Karel Kerkhoven, sekitar tahun 1900. Perusahaan teh Gamboeng, terletak di lereng barat Goenoeng Tilu, Preanger, Jawa Barat. (Collectie Indisch Thee/Familie-Archief van der Hucht)

Baboe tumbuh lebih dekat dengan sinyo atau noni-nya. Di malam hari, baboe biasanya mendongeng agar sinyo dan noni bisa tidur. Selain itu, baboe juga sering menyanyikan lagu dengan melodi yang sedih.

Walau terlihat dekat, baboe memiliki kendala tersendiri dalam perannya. Keterbatasan kapasitas dalam berbahasa Belanda menyebabkan mereka lebih banyak menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan tuannya.

Anak-anak keluarga Eropa seringkali menganggap pengasuhnya sebagai ibu kedua, karena pemberian kasih sayang yang lebih dibandingkan ibu kandung, serta frekuensi intensitas dalam interaksi dengan anak-anak lebih banyak terjadi.

Sinyo dan noni juga tidak selalu bersikap baik. Mereka sering berbuat nakal dan meresahkan orang tua mereka, layaknya anak-anak pada umumnya. Ketika terkena marah, baboe jadi tempat berlindung sinyo dan noni.

Baboe seringkali harus menghadapi tingkah sinyo yang nakal dan tidak kena aturan. Walaupun banyak diperlakukan kasar oleh anak-anak keluarga elit Eropa, baboe tetap sabar dalam mengasuh anak-anak majikannya.

Menariknya lagi, di sisi lain baboe terkadang menyayangi anak majikan mereka (sinyo dan noni) melebihi anak mereka sendiri. 

Dari era perbudakan di zaman VOC hingga dihapuskannya perbudakan dan mulai dikenal istilah baboe di zaman Hindia Belanda, wanita-wanita pribumi digambarkan sebagai wanita yang tangguh dalam kurun sejarah kolonial.