Di antara para pejuang, mengutamakan kehormatan bahkan di atas kematian adalah hal yang umum.
Para ibu di Sparta berkata pada putranya, “Kembalilah dengan perisaimu.” Nasihat itu mencegah prajurit Sparta bertindak pengecut dengan meninggalkan perisai berat mereka untuk melarikan diri dari pertempuran.
Instruksi ini sangat relevan. Pasalnya prajurit Sparta memiliki formasi perisai yang saling mengunci untuk membentuk pertahanan dari perisai.
Pertahanan itu hampir tidak bisa ditembus—kecuali salah satu anggotanya melarikan diri.
Seperti yang dijelaskan Plutarch, prajurit Sparta yang kehilangan perisai harus menerima hukuman mati. Pasalnya, perisai melindungi setiap orang di barisan.
Disiplin dan loyalitas kepada rekan satu adalah aspek kunci mempertahankan kehormatan pribadi seseorang dalam etos prajurit Sparta.
Samurai Kekaisaran Jepang juga menganggap kehormatan pribadi lebih penting daripada kelangsungan hidup. Baginya, kehormatan membutuhkan kesetiaan kepada tuannya atau daimyo. Loyalitas ini melampaui kehidupan.
Etos prajurit tak tertulis samurai, yang dikenal sebagai kode Bushido, menekankan kesediaan untuk mati demi daimyo atau tujuan seseorang.
Kesetiaan sampai mati sangat penting bagi samurai sehingga mereka diharapkan melakukan ritual bunuh diri (seppuku atau junshi) jika kehormatan mereka dikompromikan.
Banyak berkeringat saat latihan dan sedikit berdarah dalam pertempuran
Pelatihan samurai dimulai sejak masa kanak-kanak dengan kombinasi Bushido, Buddhisme Zen, dan kendo. Samurai kerap berhadapan dengan kematian, maka para peserta pelatihan muda dikondisikan untuk tidak takut mati.
Pelatihan termasuk memaparkan anak pada suhu yang intens, memberinya tugas yang sulit, dan membiasakannya dengan eksekusi.