Dalam kacamata sejarah kolonial, De Sturler dikenal sebagai tuan tanah yang baik. "Ia menjaga hubungan baik dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, hingga diangkat jadi bangsawan Belanda," terusnya.
Sekitar 15.000 orang Sunda (kelompok populasi utama di Jawa Barat, sampai sekarang) tinggal di desa-desa di perkebunan Tjiomas.
Desa-desa yang ada di Tjiomas diperintah oleh sebelas kepala desa dan empat bupati, sedangkan tugas keamanan dipercayakan kepada 'tjamat' yang ditunjuk dan dibayar langsung oleh De Sturler.
Untuk memastikan Tjiomas mendapatkan lebih banyak uang, De Sturler memperbarui kontrak dengan penduduk setempat pada tahun 1869. Dalam kontrak itu ditetapkan bahwa 20% dari padi yang dipanen petani adalah milik tuan tanah.
Lebih-lebih, "setiap petani harus menanam dan memelihara 250 semak kopi di halaman rumahnya. Hasil panennya harus diserahkan kepada tuan tanah dengan harga tetap," ungkapnya.
Ronald melanjutkan, "selanjutnya, para petani harus bekerja di pegunungan di kebun kopi De Sturler selama lima hari berturut-turut setiap lima minggu. Dan pada masa panen, perempuan dan anak-anak juga harus bekerja di sana."
Petani mendapat tekanan yang besar, beberapa petani menolak kontrak baru tersebut. Alhasil, menyebabkan kepergian beberapa ribu 'penduduk' dari Tjiomas ke tempat lain. Namun, beberapa sisanya pasrah.
Setelah melalui beberapa tahun, gejolak di Tjiomas semakin terlihat seiring dengan kesewenang-wenangan dan pemerasan yang dilakukan oleh De Sturler, akibat dampak dari keterhimpitan penghasilan dari pabrik gula Besito yang dimilikinya.
Meskipun tenang di Tjiomas pada akhir tahun 1885, ada yang tidak beres pada tanggal 23 Februari 1886. Tjamat Abdulrachim dibunuh! Ia ditikam oleh petani pribumi Tjiomas bernama Apan Ba Sa'amah.
Sehari setelah pembunuhan, Apan tidak ditangkap polisi, melainkan dibunuh dengan dua belas peluru. Satu catatan sejarah kolonial yang menarik diungkap oleh Ronald Frisart dalam tuiisannya:
"Apan sebelumnya menolak untuk menerima kontrak baru dengan pemilik tanah, yang merugikan petani. Dia tampaknya pergi saat itu, tetapi kembali pada 19 Februari dengan keyakinan bahwa dirinya adalah 'Imam Mahdi abadi yang diutus oleh Allah'."