Banjir Darah Tjiomas Tahun 1886 dalam Catatan Sejarah Kolonial

By Galih Pranata, Selasa, 11 Juli 2023 | 09:00 WIB
Pemandangan onderneming Tjiomas (Ciomas), tempat terjadinya pembantaian petani atas pemberontakannya yang terjadi pada 19-20 Mei 1886 dalam catatan sejarah kolonial. (KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Henk Schulte Nordholt mengambil perannya sebagai sejarawan Belanda yang mengungkap catatan sejarah kolonial tentang peristiwa berdarah di Tjiomas (baca: Ciomas), Buitenzorg (sekarang Bogor).

Schulte Nordholt mengungkap dalam pidato pengukuhannya di tahun 2000 sebagai profesor Erasmus University dengan konsentrasi kajiannya pada sejarah Asia. Ia mengungkap adanya ekspansi Eropa dan membangun koloni, telah mendorong gejolak sosial berkepanjangan.

Bagi Nordholt, hanya "Kasus Lebak" yang disorot sebagai kajian kekerasan dalam catatan sejarah kolonial, sedangkan masih sedikit sejarah kolonial yang menyinggung tentang peristiwa berdarah di Tjiomas.

"Hal ini ditengarai adanya Multatuli yang menulis tentang adanya pemberontakan petani di Lebak," tulis Ronald Frisart kepada Historiek dalam artikel Bloedige Tjiomas-affaire (1886) blijft de geesten verdelen, terbitan 7 September 2022.

Eduard Douwes Dekker atau Multatuli banyak menyoroti tentang penindasan dan ketidakadilan yang terjadi pada pribumi, hingga ia menerbitkan buku gubahannya bejudul Max Havelaar (1860).

Namun, setelahnya, terjadi peristiwa yang tak kalah mencekamnya yang merupakan efek domino dari penderitaan rakyat yang lebih besar lagi, tentang peristiwa berdarah Tjiomas di Buitenzorg.

Pada hari Senin, 1 Maret 1886, surat kabar Soerabaiasch Handelsblad menulis bahwa para editor menyebut bahwa kasus Tjiomas 'kurang penting'. Bagi mereka, pembunuhan yang terjadi adalah hal biasa dalam konflik agraria di perkebunan swasta dalam sejarah kolonial.

Diketahui bahwa seorang tjamat (baca: camat) Tjiomas yang terlalu berpihak terhadap tuan tanah, telah dibunuh oleh petani yang merasa tertindas. Catatan hitam harus ditulis pena yang menggurat kisah kelam sejarah kolonial di Tjiomas.

"Tjiomas adalah perkebunan swasta di Jawa Barat. Perkebunan itu terletak di kaki gunung berapi Salak, selatan Buitenzorg (sekarang Bogor), dekat dengan istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda," imbuh Ronald.

Tjiomas berukuran tidak terlalu besar: terdiri dari 9.000 bangunan atau lebih dari 7.200 hektar. Beberapa perkebunan lain di kawasan ini berukuran 20.000 hingga 40.000 hektar pada saat itu.

Tanah perkebunan Tjiomas ini akhirnya dilelang pada akhir tahun 1860-an. Seorang berkebangsaan Swiss namun tumbuh besar di Hindia Belanda, Johann Wilhelm Edouard de Sturler menebus Tjiomas.

Sturler membayar seharga 1,4 juta Gulden dengan peyelesaian administrasinya pada tahun 1867. Ia diketahui sebagai seorang yang kaya raya, di mana ia mampu membeli tanah perkebunan swasta Tjiomas di usia 39 tahun.

Dalam kacamata sejarah kolonial, De Sturler dikenal sebagai tuan tanah yang baik. "Ia menjaga hubungan baik dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, hingga diangkat jadi bangsawan Belanda," terusnya.

Sekitar 15.000 orang Sunda (kelompok populasi utama di Jawa Barat, sampai sekarang) tinggal di desa-desa di perkebunan Tjiomas.

Desa-desa yang ada di Tjiomas diperintah oleh sebelas kepala desa dan empat bupati, sedangkan tugas keamanan dipercayakan kepada 'tjamat' yang ditunjuk dan dibayar langsung oleh De Sturler.

Untuk memastikan Tjiomas mendapatkan lebih banyak uang, De Sturler memperbarui kontrak dengan penduduk setempat pada tahun 1869. Dalam kontrak itu ditetapkan bahwa 20% dari padi yang dipanen petani adalah milik tuan tanah.

Lebih-lebih, "setiap petani harus menanam dan memelihara 250 semak kopi di halaman rumahnya. Hasil panennya harus diserahkan kepada tuan tanah dengan harga tetap," ungkapnya.

Ronald melanjutkan, "selanjutnya, para petani harus bekerja di pegunungan di kebun kopi De Sturler selama lima hari berturut-turut setiap lima minggu. Dan pada masa panen, perempuan dan anak-anak juga harus bekerja di sana."

Petani mendapat tekanan yang besar, beberapa petani menolak kontrak baru tersebut. Alhasil, menyebabkan kepergian beberapa ribu 'penduduk' dari Tjiomas ke tempat lain. Namun, beberapa sisanya pasrah.

Setelah melalui beberapa tahun, gejolak di Tjiomas semakin terlihat seiring dengan kesewenang-wenangan dan pemerasan yang dilakukan oleh De Sturler, akibat dampak dari keterhimpitan penghasilan dari pabrik gula Besito yang dimilikinya.

Keluarga De Struler: Nyonya De Struler (paling kiri) beserta anak-anaknya di kediaman mereka di Tjiomas (Ciomas), Buitenzorg. (KITLV)

Meskipun tenang di Tjiomas pada akhir tahun 1885, ada yang tidak beres pada tanggal 23 Februari 1886. Tjamat Abdulrachim dibunuh! Ia ditikam oleh petani pribumi Tjiomas bernama Apan Ba ​​Sa'amah.

Sehari setelah pembunuhan, Apan tidak ditangkap polisi, melainkan dibunuh dengan dua belas peluru. Satu catatan sejarah kolonial yang menarik diungkap oleh Ronald Frisart dalam tuiisannya:

"Apan sebelumnya menolak untuk menerima kontrak baru dengan pemilik tanah, yang merugikan petani. Dia tampaknya pergi saat itu, tetapi kembali pada 19 Februari dengan keyakinan bahwa dirinya adalah 'Imam Mahdi abadi yang diutus oleh Allah'."

Barangkali setelahnya, tindakan Apan menyebabkan efek domino yang lebih besar lagi. Aksi protes dan kekerasan akibat penindasan dan kesewenangan yang terjadi di Tjiomas berujung pada perlawanan rakyat. Hampir sebagian besar digalang oleh fanatisme Islam.

"Para petani perjuangan menentang rezim di Tjiomas dipandang sebagai Jihad fii Sabilillah (Perang Suci)," terusnya. Meski tidak ada pesantren di Buitenzorg, tapi pengaruh Islam sejak kerajaan Padjajaran masih kuat.

19 Mei 1886, dikenal sebagai hari paling mencekam, ditemukan kekerasan di Tjiomas dalam skala besar. Momentum itu terjadi ketika De Sturler mengadakan pesta rakyat, untuk penduduk Tjiomas.

Seketika pesta berubah mencekam. Sejarah kolonial mencatat terdapat "empat puluh orang dengan kain putih diikat di kepala mereka, meneriakkan 'perang suci'. Pemimpin mereka adalah Mohammad Idris," lanjut Roland.

Empat pengunjung pesta dibunuh dengan klewang (pedang tradisional Indonesia), setelah itu para Asisten residen Coenen pergi ke lokasi pembunuhan dengan beberapa petugas kepolisian Hindia Belanda.

Tanggal 20 Mei, sehari setelah kejadian mengerikan itu, OM de Munnick, residen Batavia, berangkat dengan kereta api dari Batavia bersama satu peleton tentara KNIL beserta polisi dari Buitenzorg ke Tjiomas.

Aparat Hindia Belanda bersiap dengan salvo di tangannya, sedangkan petani tidak menyerah. Terlihat mereka menyimpan keris dan klewang di sabuk yang diikat di pinggangya.

Pembasmian pemberontak yang meresahkan Tjiomas berlarut-larut. Alhasil dilaporkan 33 tewas dan 54 luka-luka, delapan yang sekarat di antaranya kemudian tewas. Pada akhirnya semua berjumlah 41 jiwa kematian, Tjiomas banjir darah!

Bagaimanapun, narasi tentang banjir darah di Tjiomas, menyisakan satu kisah menarik dalam catatan sejarah kolonial. Terdapat petani yang memberontak dan memiliki ilmu kebal.

Meskipun telah ditembak dan dipukul, petani kebal itu tak bergeming apalagi hingga tersungkur ke tanah. De Munnick yang kewalahan menjatuhkannya, melakukan sayembara menggiurkan.

"De Munnick menawarkan ƒ10 (Gulden) kepada siapa pun yang mampu mengalahkannya," ungkapnya. Asisten Residen Coenen mencoba, namun tetap gagal. 

Hingga akhir, tak diceritakan lagi apakah orang-orang Belanda itu mampu merobohkan sang 'petani kebal.' Lebih lanjut, sejarah kolonial memercayai adanya praktik magis yang berkaitan dengan ilmu kekebalan yang masih dianut pribumi di Tjiomas kala itu.