Apa Penyebab Flora dan Fauna di Barat dan Timur Indonesia Berbeda?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 11 Juli 2023 | 13:00 WIB
Impresi seniman tentang hewan prasejarah dari Nombe Rockshelter, Papua Nugini. Keanekargaman hayati di kepulauan Indonesia, Papua Nugini, Filipina, disebabkan oleh iklim, pergerakan lempeng, dan cara beradaptasi setiap spesies menghadapi dunia tropis. (Peter Shouten)

Nationalgeographic.co.id—Keanekaragaman hayati Indonesia begitu kaya dan unik. Jika Anda bepergian ke sisi barat Indonesia seperti Pulau Sumatra dan Jawa, Anda akan melihat harimau dan gajah yang endemik di Asia. Keduanya bahkan tersebar hingga Pulau Bali.

Namun, jika Anda berkunjung ke Lombok yang berada di dekat Bali, harimau dan gajah tidak pernah Anda jumpai. Anda justru akan menjumpai kakaktua yang tidak ada di Bali dan sisi barat Indonesia lainnya. Sementara di sisi timur seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur, Anda akan menjumpai hewan yang mirip di Australia, seperti kanguru, koala, dan komodo.

Perbedaan ini telah disadari oleh Alfred Russell Wallace, naturalis Inggris dan salah satu penemu teori evolusi. Dia pernah menjelajahi kepulauan Indonesia dari tahun 1854 hingga 1862. Dia mengumpulkan hewan dan tumbuhan, dan mencatatnya dalam mahakarya bertajuk The Malay Archipelago yang fenomenal itu.

Karena adanya perbedaan hewan dan tumbuhan endemik, Wallace pun menggambarkan garis khayal biogeografis di tengah Indonesia. Garis itu memisahkan Bali dan Lombok di selatan Indonesia, dan di utaranya memisahkan Sulawesi dan Kalimantan.

Pada akhir abad ke-19, naturalis lainnya berkebangsaan Belanda-Jerman Max C.W Weber punya pandangan sedikit berbeda dari Wallace. Ia memisahkan Kepulauan Indonesia dengan garis biogeografis yang memisahkan Kepulauan Sula sebagai bentang alam yang dinilai memiliki hewan endemik Asia dengan Kepulauan Maluku. Di selatan, Pulau Timor dengan Kepalauan Maluku.

Perbedaan penyebaran hewan endemik Asia dan Australia yang terpisah di Kepulauan Indonesia punya beberapa faktor penyebab. Sebuah studi di jurnal Science mengamati lingkungan yang menyebabkan perbedaan keanekaragaman hayati di Garis Wallace. Makalah itu dipublikasikan 6 Juli 2023.

Harimau sumatra di tepi hutan. Hewan-hewan besar Asia menghadapi tren kepunahan. (UQ/Matthew Luskin)

Penyebabnya adalah lempeng tektonik. Sekitar 45 juta tahun silam, Lempeng Australia mulai bergeser ke utara dan termakan oleh Lempeng Eurasia, menyebabkan dua daratan besar dari kedua lempeng berdekatan.

Pergerakan lempeng dalam waktu yang lama, memunculkan pulau-pulau vulkanik yang tidak terhitung di antara keduanya. Kepulauan itulah yang kelak akan menjadi Indonesia dan Filipina. Penjelasan tentang rupa Kepulauan Indonesia bisa Anda baca di artikel ini.

Kepulauan itu membentang seperti 'jembatan' dari dua benua dan membuat hewan dan tumbuhan bermigrasi ke barat atau ke timur. Suatu tempat, seperti di Indonesia tengah, mengalami percampuran dengan adanya spesies Asia dan Australia. Inilah yang membuat garis batas Wallace dan Weber berbeda.

Wilayah Wallacea. (Wiley Library)

Para peneliti dalam makalah itu juga menyebutkan faktor lainnya yang dominan: iklim daerah asal. Adaptasi iklim fauna menyebabkan distribusi penyebaran tidak merata di kedua sisi Garis Wallace.

"Konteks historis sangat penting untuk memahami pola distribusi keanekaragaman hayati yang diamati saat ini dan merupakan bagian teka-teki yang hilang dalam menjelaskan teka-teki Garis Wallace," kkata Alexander Skeels, penulis utama studi dari  Ecosystems and Landscape Evolution, Institute of Terrestrial Ecosystems, ETH Zurich, Swiss, dikutip dari rilis.

Jutaan tahun lalu, kondisi lingkungan sangat berbeda dan sangat menentukan pertukaran keanekaragaman hayati. Para peneliti telah membuat simulasinya dalam makalah. Mereka melihat bahwa hewan dari Asia lebih mungkin "melompat" melintasi kepulauan di Indonesia untuk mencapai Papua dan Australia utara.

Iklim tropis membuat mereka nyaman dan segera beradaptasi. Berbeda dengan satwa liar Australia yang berevolusi dengan iklim yang lebih dingin, tetapi dari waktu ke waktu menjadi kering. Akibatnya, fauna dari Australia kurang berhasil melompat ke kepulauan tropis.

Kanguru pohon dari Australia juga hadir di Papua, Indonesia. Keberadaannya menandakan adanya perpindahan di masa silam ketika kepulauan Indonesia tercipta akibat pendekatan benua Australia dan Asia. (Tim Williams/Flickr)

Dampak lainnya dari pertemuan fauna dari dua benua adalah kompetisi di alam liar. Spesies yang berevolusi di habitat tropis, memungkinkan mereka melakukan kompetisi kehidupan ketika berdampingan dengan spesies lain. Spesies Australia sangat sulit karena mereka tinggal di iklim yang keras. Mereka harus mengatasi adaptasi tekanan kekeringan dan panas.

Dari temuan ini, para peneliti memahami bagaimana spesies invasif dalam pertukaran spesies antarbenua bisa terjadi. Kecepatannya akan sangat mengkhawatirkan, terutama ketika manusia memindahkan hewan dan tumbuhan. Spesies invasif yang dibawa manusia ke benua lain, bisa membahayakan flora dan fauna yang sudah ada.

"Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertukaran dalam waktu yang lama penting untuk memahami mengapa spesies dapat menjadi invasif dalam skala waktu yang lebih baru," kata Skeels.

"Dalam krisis keanekaragaman hayati saat ini, ini dapat membantu kita menilai dengan lebih baik konsekuensi dari invasi yang disebabkan oleh manusia," lanjutnya.

#SayaPilihBumi