Bagaimana para Arkeolog Memaknai Kisah Petualangan Indiana Jones?

By Ricky Jenihansen, Selasa, 11 Juli 2023 | 12:00 WIB
Film Indiana Jones and the Dial of Destiny rilis Juni 2023. Keingintahuan orang tentang misteri arkeologi telah membangkitkan film bergenre sains-fiksi. Indiana Jones, seorang tokoh fiksi berlatar arkeolog, yang digubah George Lucas. (Genesis Cinema)

Nationalgeographic.co.id—Kisah petualangan Indiana Jones (diperankan oleh Harrison Ford) telah rilis pada Juni silam. Aksi laganya pun tayang di layar lebar Indonesia. Indiana Jones kembali ke layar lebar dalam saga kelima dengan judul "Indiana Jones and the Dial of Destiny" setelah 15 tahun.

Semenjak rilis pertama kali pada tahun 1981, Indiana Jones telah menjadi salah satu karakter pahlawan paling terkenal di dunia. Kisah petualangan Indiana Jones sebagai seorang arkeolog pun menjadi film yang legendaris.

Akan tetapi, sebenarnya ada banyak keraguan dari kisah petualangan Indiana Jones. Apakah Indiana Jones seorang arkeolog atau seorang penjarah? Dan bagaimana sebenarnya para arkeolog (asli) memandang kisah petualangan Indiana Jones?.

Lebih dari 40 tahun yang lalu, kisah Indiana Jones muncul pertama kali ke layar lebar. Ia menginginkan patung emas dan dikejar oleh batu besar di "Raiders of the Lost Ark".

Sejak saat itu, kisah petualangan Indiana Jones telah menjadi sumber inspirasi bagi para arkeolog di seluruh dunia.

Di satu sisi, Indiana Jones telah menarik penonton ke dalam dunia arkeologi yang menakjubkan. Di sisi lain, metodenya mengerikan dan benar-benar menyesatkan di lapangan.

Dengan film kelima (dan mungkin terakhir), "Indiana Jones and the Dial of Destiny," telah tayang perdana mulai Jumat, 30 Juni 2023.

Jadi apa pendapat para arkeolog kehidupan nyata tentang harta karun fiksi Indiana Jones?

Beberapa arkeolog dengan cepat mengatakan bahwa mereka Indiana Jones adalah sosok yang mengerikan. Itu bukanlah arkeologi, Indiana Jones tidak lebih dari seorang penjarah yang menyesatkan.

"(Apa) yang dia lakukan bukanlah arkeologi—itu penjarahan—dan jika orang tertarik pada arkeologi karena mereka ingin melakukan itu, mereka akan kecewa," kata Anne Pyburn, seorang profesor antropologi di Indiana University Bloomington.

Dalam "Raiders of the Lost Ark" Indiana mencegah Nazi memperoleh Tabut Perjanjian yang dikenal dalam agama Abrahamik. Serial tersebut berlanjut hingga "Indiana Jones and the Temple of Doom,"

Indiana kemudian pergi ke India menemukan batu mitos. Itu adalah perjalanan yang membawanya dekat dengan sekte yang mempraktikkan ilmu hitam dan pengorbanan manusia.

Metode Indiana Jones yang sering kali melibatkan penggunaan cambuk dan pistol, juga jelas tidak sesuai dengan dunia ilmu pengetahuan.

Tetapi "masalah yang lebih serius adalah bahwa dia adalah orang kulit putih yang mengeksotiskan, menganiaya, dan menggurui orang lokal dan Pribumi serta mencuri warisan budaya mereka," kata Pyburn.

Pyburn tentu saja buka satu-satunya arkeolog yang mengkritik kisah petualangan Indiana Jones tersebut. Shinatria Adhityatama, arkeolog di Griffith University, Australia, mengatakan bahwa cara kerja arkeolog memang berbeda dengan Indiana Jones.

Menurutnya, cara kerja arkeologi bawah laut sangat berbeda dengan apa yang digambarkan dalam film Indiana Jones yang saat ini sedang ditayangkan di layar lebar.

"Indy lebih seperti seorang penjarah kapal karam jika dibandingkan dengan seorang arkeolog," katanya kepada National Geographic Indonesia.

Namun, Adhityatama menambahkan bahwa perlu diingat bahwa konteks film Indiana Jones berlatar tahun 1940-an. Pada waktu itu etika arkeologi belum seketat sekarang dan masih banyak peneliti yang sekaligus pemburu barang antik, ungkapnya. "Dan kenyataannya banyak yang berlabel arkeolog juga melakukan [seperti] yang Indy lakukan. Buktinya, museum-museum di Eropa penuh dengan artefak jarahan."

Film Indiana Jones terbaru berjudul: Dial of Destiny, didasarkan pada mekanisme Antikythera, perangkat kuno yang digunakan untuk memetakan kosmos. (Disney)

Artefak Nyata

Meski demikian, Adhityatama merasa film Indiana Jones terbaru yang berjudul Dial of Destiny cukup menarik. Seri terbaru Indiana Jones ini mengangkat tentang artefak dari kapal karam bawah laut yang dikenal dengan mekanisme Antikythera.

Untuk diketahui, mekanisme Antikythera adalah artefak yang ditemukan di perairan Yunani sekitar tahun 1901.

"Temuan yang disebut sebagai cikal bakal kalkulator atau bahkan komputer ini sangat menarik untuk diangkat ke cerita fiksi seperti Indiana Jones," kata Adhityatama.

Sejak penemuan benda ini banyak sekali interpretasi, hingga dinilai benda ini terlalu "maju" untuk zamannya. "Maka tidak heran penulis skrip seri terbaru petualangan Indy ini menilai bahwa Antikythera merupakan sebuah alat mesin waktu. Walaupun, kenyataannya tidak seperti itu," Adhityatama menambahkan.

Hal yang menarik dari film ini, lanjutnya, adalah Indiana Jones tidak lagi berkutat ke hal-hal yang berkaitan dengan artefak religi seperti the lost ark, batu magis di India, maupun holy grail.

"Kali ini Indy berkutat pada suatu artefak yang nyata, walaupun ya tadi dengan interpretasi fantasi dan bentuknya juga tidak persis sih," kata Adhityatama.

"Saya juga senang melihat Indy akhirnya menyelam ke kapal karam walaupun cara kerja arkeologi bawah laut sangat berbeda dengan apa yang digambarkan di film tersebut, Indy lebih seperti penjarah kapal karam jika dibandingkan seorang arkeolog."

Sementara itu, Laurie Miroff direktur Fasilitas Arkeologi Publik di University of Binghamton, State University of New York justru menganggap Indiana Jones menyesatkan.

"Saya menemukan bahwa Indiana Jones telah membuat banyak orang berpikir bahwa arkeologi hanyalah perburuan harta karun yang berpusat pada objek dan tidak merekonstruksi cara hidup manusia di masa lalu," katanya.

Menurutnya, Indiana Jones telah membuat banyak orang berpikir bahwa arkeologi hanyalah perburuan harta karun. Sementara budaya masa lalu yang seharusnya menjadi fokus arkeologi, malah tidak direkonstruksi.

"Salah satu hal pertama yang saya tekankan adalah bahwa artefak adalah alat untuk mencapai akhir, bukan akhir," katanya.

Indiana Jones (Zika Zakiya)

Inspirasi Indiana Jones

"Tetapi suka atau tidak suka, tokoh inilah yang membawa arkeologi ke ranah mainstream populer sehingga publik luas dapat mengerti apa itu arkeologi."

Meski demikian, beberapa ilmuwan masih mengapresiasi kisah petualangan Indiana Jones. Pertama, film-film Indiana Jones telah membuat dunia arkeologi menjadi populer, sehingga banyak orang terinspirasi untuk mempelajari arkeologi.

Adhityatama mengatakan, suka atau tidak suka, tokoh Indiana Jones telah membawa arkeologi ke ranah mainstream populer sehingga publik luas dapat mengerti apa itu arkeologi.

"Tidak sedikit juga para arkeolog yang besar di tahun 80-an hingga 90-an terinspirasi Indiana Jones untuk menekuni dunia arkeologi," katanya.

"Semoga film ini akan menarik minat publik untuk mendalami arkeologi sesuai kaidahnya dan mampu juga menarik rasa penasaran publik akan sejarah bangsa maupun dunia."

Senada, Cornelius Holtorf, profesor ilmu budaya di University of Linnaeus di Swedia mengatakan, bahwa tidak dapat dipungkiri, arkeologi dalam budaya populer hampir identik dengan Indiana Jones.

"Selama bertahun-tahun, karakter Indiana Jones (telah) memotivasi banyak anak muda untuk belajar arkeologi," katanya.

Kendati sosok Indiana Jones digambarkan sebagai seorang petualang dan arkeolog, ada saja yang menganggapnya lebih mirip penjarah daripada seorang arkeolog. (CBS PHOTO ARCHIVE)

Defri Simatupang, arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah salah satu dari banyak anak muda di masanya yang mungkin terinspirasi kisah petualangan Indiana Jones.

"Film ini yang membuatku dulu 'terdampar' masuk jurusan arkeologi UGM (Universitas Gajah Mada)," Defri mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia melalui pesan singkat.

Menurutnya, ia melihat sisi menarik Indiana Jones sebagai arkeolog fiksi. Indiana Jones menawarkan petualangan mencari artefak harta karun sebagai tujuan akhir kepuasan berpetualang.

Namun demikian, lanjutnya, ia menyadari bahwa hal itu berbeda dengan dunia arkeologi sebenarnya. "Dalam (ilmu) arkeologi, penemuan artefak justru merupakan kepuasan awal untuk petualangan selanjutnya dalam merekonstruksi kebudayaan masa lalu," katanya.