Alih-alih Solusi Mitigasi Perubahan Iklim, Mobil Listrik Justru Merusak Lingkungan

By Ricky Jenihansen, Minggu, 23 Juli 2023 | 11:00 WIB
Saat ini, kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) dianggap sebagai kendaraan masa depan dan solusi mitigasi perubahan iklim. (Worldwide-Business-Consulting.Com)

Nationalgeographic.co.id—Saat ini, kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) dianggap sebagai kendaraan masa depan dan solusi mitigasi perubahan iklim. Tapi alih-alih mitigasi perubahan iklim, malag mungkin bisa merusak lingkungan.

Seperti diketahui, kendaraan listrik digerakan oleh perangkat elektronik dengan sumber energi gera yang berasal dari baterai. Dan di sinilah masalahnya.  

Untuk membuat baterai kendaraan listrik, beberapa perusahaan mulai menyasar laut dalam. Penambangan sumber daya untuk baterai ini akan mengancam dan merusak lingkungan.

Untuk mitigasi perubahan iklim, dunia memang harus memangkas produksi karbon dari bahan bakar fosil yang umum digunakan kendaraan konvesional. Kendaraan listrik memang bisa menjadi solusi untuk masa depan bebas karbon.

Akan tetapi, untuk membuat baterai yang cukup untuk menggerakkan kendaraan listrik, akan membutuhkan peningkatan besar-besaran dalam pasokan mineral kita seperti Nikel, tembaga, kobalt, dan mangan.

Negara-negara berebut untuk menambang bahan berharga ini dari bumi. Mereka menggali di mana-mana mulai dari hutan hujan di Republik Demokratik Kongo hingga Indonesia.

Namun upaya tersebut terkendala oleh masalah lingkungan dan hak asasi manusia. Jadi beberapa perusahaan mengalihkan pandangan mereka ke tempat lain, yaitu dasar laut.

Bermil-mil di bawah permukaan laut, miliaran bongkahan batu yang sarat dengan mangan, nikel, kobalt, tembaga, dan mineral berharga lainnya berjejer di dasar laut. Di beberapa daerah, kobalt juga terkonsentrasi di kerak logam tebal yang mengapit pegunungan bawah air.

Beberapa perusahaan dan negara bersiap untuk memanen apa yang disebut nodul polimetalik laut dalam ini dan mengekstrak harta karun di dalamnya.

Saat ini, penambangan dasar laut di perairan internasional secara hukum keruh, dan perusahaan belum memulai operasi eksploitasi komersial.

Tetapi negara-negara delegasi Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) - badan antar pemerintah yang didukung PBB - saat ini bertemu di Kingston, Jamaika, selama dua minggu (10 Juli hingga 28 Juli).

Pertemuan itu untuk mengembangkan peraturan yang dapat membuka jalan bagi penambangan semacam itu. Praktik ini mungkin memiliki konsekuensi serius bagi lautan dunia, kata para ahli kepada Live Science.

Jadi seberapa buruk dampak lingkungan tersebut? Apakah akan merusak lingkungan? Dan mungkinkah mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan tanpa menambang laut dalam?

Tampilan dekat nodul polimetalik yang ditemukan di dasar laut. (NOAA)

Kehancuran laut dalam

Bukti yang muncul menunjukkan bahwa penambangan laut dalam dapat merusak ekosistem dasar laut. Salah satu area utama yang diincar oleh perusahaan pertambangan adalah hamparan lautan dari Hawaii hingga Meksiko.

Habitat laut dalam ini, yang dikenal sebagai Zona Clarion-Clipperton (CCZ), menampung banyak spesies. Terlepas dari suhu yang sangat dingin dan ketersediaan makanan yang rendah.

Mulai dari teripang bercahaya hingga anglerfish bergigi hidup di laut dalam. Para ilmuwan baru-baru ini membuat katalog lebih dari 5.500 spesies laut dalam di CCZ, sekitar 90% di antaranya tidak diketahui sains.

Sebagian besar penambangan dasar laut akan membutuhkan mesin besar untuk mengumpulkan nodul, membawanya ke permukaan, lalu membuang sedimen yang tidak diperlukan kembali ke laut.

Metode ini dapat menimbulkan konsekuensi bencana bagi hewan yang hidup di sana dan merusak lingkungan, tulis para peneliti dalam korespondensi di jurnal Nature Geoscience pada 2017 dengan judul "Biodiversity loss from deep-sea mining."

"Mereka secara efektif harus menggali dan menggilas dasar laut untuk mendapatkan mineral mereka," kata Douglas McCauley, ahli biologi kelautan di University of California, Santa Barbara.

"Jadi apapun yang hidup di habitat itu akan musnah." Ini termasuk hewan yang menempel dan hidup di nodul itu sendiri, seperti spons laut dan karang hitam.

Karena praktik tersebut belum dimulai pada skala industri, ilmuwan kelautan sebagian besar mengandalkan model komputer dan uji coba skala kecil untuk memprediksi dampak lingkungan dari penambangan laut dalam.

Namun, pada tahun 1989, sebuah tim ilmuwan mencoba meniru efek penambangan dasar laut. Mereka membajak area dasar laut di Peru yang berukuran kira-kira 3,9 mil persegi (10,1 kilometer persegi) dengan kedalaman sekitar 2,6 mil (4,2 kilometer).

Banyak spesies di daerah ini masih belum kembali lebih dari 25 tahun kemudian, dan jejak dari pembajakan masih terlihat.

Hasil tersebut dijelaskan dalam sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports dengan judul "Biological effects 26 years after simulated deep-sea mining."

Pertambangan Nikel di Sulawesi Utara. (Tribun Sultra)

Dampak negatif kemungkinan besar tidak akan diisolasi ke lokasi penambangan asli. Mesin dapat menyebabkan polusi suara yang membentang ratusan mil melintasi lautan, menurut model komputer.

Kebisingan ini dapat mengganggu kemampuan hewan untuk bernavigasi, menemukan mangsa, atau mencari pasangan.

Tapi mungkin salah satu produk sampingan yang paling merusak lingkungan dari penambangan dasar laut adalah gumpalan sedimen yang ditinggalkan.

Endapan ini dapat menjadi "seperti badai debu bawah laut yang dapat mematikan kehidupan di luar sana," kata McCauley.

Gumpalan sedimen ini dapat merusak habitat tuna, yang berubah karena suhu lautan menghangat dan akan semakin tumpang tindih dengan area di CCZ yang kaya mineral.

Hal itu telah dijelaskan dalam sebuah penelitian yang ditulis bersama oleh McCauley dan diterbitkan 11 Juli 2023 di jurnal npj Ocean Sustainability dengan judul "Climate change to drive increasing overlap between Pacific tuna fisheries and emerging deep-sea mining industry."

Beberapa perusahaan sedang mengerjakan teknologi untuk mengecilkan gumpalan ini. Misalnya, perusahaan mineral yang berbasis di Norwegia Loke baru-baru ini mengakuisisi UK Seabed Resources Ltd.

Perusahaan itu adalah perusahaan pertambangan laut dalam dengan dua kontrak eksplorasi yang memungkinkan perusahaan untuk mulai mencari mineral di CCZ, meskipun belum menambangnya secara komersial.

Loke bertujuan untuk memulai operasi penambangan laut dalam pada tahun 2030, kata Walter Sognnes, CEO perusahaan, kepada Live Science.

"Apa yang kami coba lakukan adalah meminimalkan dampak dan memaksimalkan pemahaman dampak itu," kata Sognnes.

"Loke sedang mengembangkan kendaraan penambangan yang akan menghasilkan semburan hanya saat bergerak melintasi dasar laut, dan bukan dari membuang kelebihan sedimen ke laut setelah mengambil nodul," kata Sognnes.

"Namun, teknologinya masih teoretis." Beberapa peneliti skeptis bahwa ada cara yang "berkelanjutan" untuk menambang laut dalam.

"Saya pikir tidak ada cara untuk melakukan ini tanpa merusak lingkungan dan menyebabkan kerusakan besar pada skala puluhan ribu kilometer persegi," kata Craig Smith, seorang ahli ekologi laut dalam di University of Hawaii di Manoa. "Itu tidak mungkin."