Bagaimana Kehidupan dan Pelatihan Samurai Remaja di Kekaisaran Jepang?

By Sysilia Tanhati, Rabu, 26 Juli 2023 | 18:00 WIB
Kehidupan seorang samurai di Kekaisaran Jepang tidak semuanya tentang pertempuran epik dan tindakan heroik di Kekaisaran Jepang. Sejak usia muda, mereka dilatih disiplin, kehormatan, dan kesempuraan dalam setiap aspek kehidupan. (Kusakabe Kimbei)

Nationalgeographic.co.id—Sejarah samurai Kekaisaran Jepang telah lama memikat imajinasi orang di seluruh dunia. Kehebatan bela diri yang legendaris, kesetiaan yang tak tergoyahkan, dan kedalaman filosofis menjadikan mereka tokoh ikonik dalam sejarah.

Kehidupan seorang samurai tidak semuanya tentang pertempuran epik dan tindakan heroik di Kekaisaran Jepang. Sejak usia muda, mereka dilatih disiplin, kehormatan, dan kesempuraan dalam setiap aspek kehidupan. Seperti apa kehidupan seorang samurai di masa kecil dan remajanya?

Samurai remaja di Kekaisaran Jepang

Masa di mana seorang samurai remaja hidup akan sangat memengaruhi kehidupan dan pengalaman sehari-hari mereka.

Selama periode Kamakura dan Muromachi, samurai pada dasarnya adalah pejuang. Mereka sering menjadi bawahan penguasa yang kuat.

Samurai Kekaisaran Jepang diharapkan untuk menguasai seni perang dan siap berperang pada saat itu juga.

Para remaja dalam keluarga samurai akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengasah keterampilan bela diri mereka. Para remaja itu mempersiapkan hari ketika mereka akan bergabung dengan samurai dewasa di medan perang.

Dalam masyarakat hierarkis di Kekaisaran Jepang feodal, remaja dalam keluarga samurai memegang posisi yang unik. Mereka belum menjadi pejuang sejati, tetapi mereka pun tidak sama dengan anak-anak lain. Sejak usia sangat muda, mereka dipersiapkan untuk menjadi generasi elit militer berikutnya. (Ueno Hikoma)

Periode Sengoku adalah masa konflik yang intens dan pergolakan sosial. Mengutip dari History Skill, “Samurai remaja selama era ini akan didorong ke dalam kekacauan perang di usia muda.”

Kehidupan sehari-hari mereka akan didominasi oleh pelatihan dan peperangan, dengan sedikit waktu untuk hal lain.

Periode Edo ditandai dengan kedamaian selama lebih dari dua abad di bawah kekuasaan Keshogunan Tokugawa. Di masa itu, kelas samurai berubah dari prajurit menjadi birokrat. Samurai remaja di era ini akan memiliki pendidikan yang lebih seimbang.

Pendidikan samurai muda di periode Edo ditekankan pada pembelajaran akademis dan budaya. Kehidupan sehari-hari mereka akan lebih terstruktur dan tidak terlalu berbahaya. Namun mereka tetap menegakkan kode etik samurai.

Ketika anak-anak mulai berlatih menjadi prajurit

Dalam masyarakat hierarkis di Kekaisaran Jepang feodal, remaja dalam keluarga samurai memegang posisi yang unik.

Mereka belum menjadi pejuang sejati, tetapi mereka pun tidak sama dengan anak-anak lain. Sejak usia sangat muda, mereka dipersiapkan untuk menjadi generasi elit militer berikutnya. Samurai remaja itu menjalani pelatihan keras dalam seni bela diri, akademisi, dan praktik spiritual.

Pelatihan seni bela diri adalah landasan pendidikan samurai. Sejak kecil, samurai dilatih dalam berbagai bentuk pertarungan, termasuk kenjutsu (seni pedang), kyudo (memanah), dan jujutsu (pertarungan tanpa senjata). Mereka tidak hanya diajari teknik fisik tetapi juga aspek strategis dan taktis peperangan.

Pelatihannya ketat dan keras, seringkali dimulai saat fajar dan berlanjut hingga senja. Tidak jarang seorang samurai remaja menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih ilmu pedang. Mereka juga harus menyempurnakan keterampilan memanahnya.

Pendidikan akademik juga merupakan bagian penting dari pelatihan samurai. Samurai diharapkan melek huruf dan fasih dalam sastra dan filsafat klasik.

Mereka mempelajari karya-karya seperti The Tale of Genji dan The Tales of the Heike. Karya-karya itu memberi mereka pendidikan budaya yang kaya. Selain itu, juga mengajari para samurai muda tentang cita-cita kehormatan, kesetiaan, dan keberanian yang diharapkan dimiliki oleh mereka.

Samurai muda juga mempelajari kaligrafi, suatu bentuk seni yang diyakini mencerminkan karakter dan jiwa seseorang.

Pelatihan spiritual adalah komponen kunci lain dari pendidikan samurai. Banyak samurai mengikuti Buddhisme Zen, yang menekankan meditasi dan kewaspadaan sebagai cara mencapai pencerahan spiritual dan kedamaian batin. Latihan spiritual ini dipandang sebagai cara untuk menumbuhkan ketahanan mental dan fokus yang dibutuhkan dalam pertempuran.

Pelatihan spiritual juga memberikan kerangka filosofis untuk memahami konsep-konsep seperti hidup, mati, dan tugas. Semua itu merupakan inti dari cara hidup samurai di Kekaisaran Jepang.

Rutinitas sehari-hari seorang samurai remaja

Rutinitas sehari-hari seorang samurai remaja disusun dengan cermat. Rutinitas itu mencerminkan disiplin dan ketertiban yang merupakan inti dari cara hidup samurai.

Pada umumnya, hari-hari biasa berkisar pada pelatihan, belajar, dan memenuhi tugas kepada keluarga dan tuannya.

Hari biasanya dimulai saat fajar, dengan samurai muda yang terbangun karena suara lonceng kuil atau ayam berkokok. Rutinitas pagi termasuk mandi, diikuti dengan sarapan sederhana, seringkali terdiri dari nasi, acar sayur, dan ikan.

Kebersihan dan diet seimbang dianggap penting untuk menjaga kesehatan dan kebugaran fisik yang baik.

Setelah sarapan, samurai muda akan memulai latihan bela diri mereka. Latihan bisa melibatkan berlatih ilmu pedang, memanah, atau bentuk pertempuran lainnya. Semua pelatihan dilakukan di bawah pengawasan instruktur yang terampil.

Pelatihan sangat ketat dan menuntut, seringkali melibatkan latihan berulang selama berjam-jam untuk menyempurnakan teknik tertentu.

Terlepas dari pengerahan tenaga fisik, samurai muda diharapkan untuk mempertahankan sikap tenang dan fokus. Sikap itu mencerminkan disiplin mental yang dibutuhkan seorang pejuang.

Tengah hari akan membawa istirahat untuk makan siang, diikuti dengan masa istirahat. Setelah itu, samurai muda itu akan terlibat dalam studi akademis. Studi akademis yang diberikan seperti membaca dan menulis, mempelajari sastra klasik, atau berlatih kaligrafi.

Tujuannya bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, tetapi untuk menumbuhkan pikiran yang halus dan berbudaya.

Malam hari mungkin dihabiskan untuk belajar lebih lanjut atau lebih banyak latihan fisik. Setelah makan malam, mungkin ada waktu untuk kegiatan santai. Saat itu mereka bisa memainkan alat musik, menulis puisi, atau bermain go.

Kegiatan ini tidak hanya untuk hiburan, tapi jadi cara untuk menumbuhkan kepekaan artistik dan pemikiran strategis.

Sebelum tidur malam, samurai muda mungkin melakukan meditasi atau latihan spiritual lainnya. Waktu sebelum tidur itu adalah waktu untuk refleksi dan introspeksi, cara untuk memupuk kedamaian batin dan ketahanan mental.

Kehidupan sosial yang diatur dengan ketat

Kehidupan sosial dan tanggung jawab seorang samurai remaja sangat terkait dengan status dan peran mereka dalam kelas samurai.

Sebagai anggota elite militer, samurai muda diharapkan untuk menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan melayani tuannya. Mereka harus memiliki kesetiaan yang tak tergoyahkan.

Interaksi sosial seorang samurai remaja diatur oleh kode etik yang ketat. Mereka diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat sepenuhnya kepada yang lebih tua dan atasan mereka. Selain itu, juga memperlakukan rekan dan bawahan mereka dengan adil dan bermartabat. Semua ini tercermin dalam setiap aspek perilakunya, mulai dari cara berbicara hingga membawa diri.

Bahkan kegiatan santai mereka, seperti berpartisipasi dalam upacara minum teh atau pertemuan puisi, dilakukan dengan rasa kesopanan.

Tanggung jawab seorang samurai remaja dapat bervariasi tergantung pada status keluarga mereka dan masa hidupnya.

Di masa damai, samurai muda mungkin melayani tuan mereka sebagai administrator atau birokrat. Mereka membantu mengelola urusan domain.

Samura remaja mungkin juga ditugaskan untuk mengawasi pelatihan anggota keluarga yang lebih muda atau mengatur keuangan rumah tangga.

Di masa perang, tanggung jawab mereka bisa jauh lebih berat. Mereka mungkin dipanggil untuk berperang, melayani sebagai pembawa pesan atau pengintai, atau memimpin pasukan ke dalam pertempuran.

Meskipun masih muda, samurai diharapkan untuk melakukan tugas-tugas ini dengan keberanian dan kompetensi. Mereka harus menempatkan kepentingan tuannya di atas kepentingan mereka sendiri.

Samurai yang ideal seharusnya kebal dari rasa takut akan kematian. “Hanya rasa takut akan aib dan kesetiaan kepada daimyo-nya yang memotivasi samurai sejati,” tulis Kallie Szczepanski di laman Thoughtco.

Namun, kehidupan sosial seorang samurai remaja tidak semuanya tentang tugas dan kesopanan. Mereka juga memiliki kesempatan untuk menjalin persahabatan. Samurai remaja mungkin membentuk ikatan yang erat dengan sesama peserta pelatihan, berbagi dalam cobaan dan pelatihan.

Cara samurai remaja di Kekaisaran Jepang menghadapi tekanan dan harapan

Kehidupan mental dan emosional seorang samurai remaja sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Bushido, atau Jalan Prajurit.

Kode etik ini menekankan kebajikan seperti keberanian, kesetiaan, kehormatan, dan disiplin diri. Semuanya membentuk pola pikir dan pendekatan samurai terhadap kehidupan.

Kehidupan seorang samurai remaja penuh dengan tantangan dan tekanan. Mereka diharapkan unggul dalam pelatihan mereka, menjunjung tinggi kehormatan keluarga mereka, dan siap menyerahkan nyawa untuk tuan mereka.

Ini tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga ketahanan mental. Mereka diajar untuk tetap tenang dalam menghadapi kesulitan, mengendalikan emosi, dan mempertahankan pikiran yang jernih. Bahkan ketika mereka berada di tengah medan pertempuran.

Konsep kematian juga merupakan bagian penting dari kehidupan mental dan emosional seorang samurai. Termasuk samurai remaja di Kekaisaran Jepang.

Mereka diajar untuk menghadapi kematian dengan berani dan bermartabat. Samurai muda harus memandang kematian bukan sebagai akhir, tetapi sebagai bagian alami dari kehidupan.

Sikap terhadap kematian ini dikemas dalam konsep seppuku, atau ritual bunuh diri. Ritual ini dipandang sebagai cara untuk menjaga kehormatan seseorang saat menghadapi aib atau kegagalan.

Terlepas dari penekanan pada disiplin dan kontrol, para samurai bukannya tanpa emosi.

Mereka mengalami suka dan duka, cinta dan amarah, ketakutan dan kegembiraan. Mereka membentuk ikatan yang erat dengan rekan-rekan mereka, mengalami sensasi kemenangan dan sengat kekalahan. Samurai remaja juga bergulat dengan kerumitan kehormatan dan tugas.

Mereka didorong untuk mengekspresikan emosi mereka melalui seni, puisi, dan pengejaran budaya lainnya. Cara ini memberikan jalan keluar bagi perasaan mereka dan menumbuhkan kedalaman emosinya.

Di usia 13-16 tahun, samurai remaja akan memasuki transisi dari samurai muda ke samurai dewasa. Sebelum ini, mereka harus menjalani kehidupan yang cukup keras jika dibandingkan dengan anak lain di Kekaisaran Jepang.