Sejarah Candi Tertinggi, Harta Tersembunyi di Balik Hijaunya Bukit

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Senin, 31 Juli 2023 | 20:30 WIB
Teras paling atas dianggap sebagai teras yang paling suci, hingga saat ini digunakan sebagai tempat bersembahyang umat Hindu. (Samuel Bryandityo)

Nationalgeographic.co.idSejarah bermula pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Sebuah kompleks candi bercorak Hindu ditemukan di lereng perbukitan. Dari sekian banyak candi yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah candi Ijo yang memiliki lokasi yang paling tinggi diantara candi yang lain.

Setelah sembilan abad terkubur, pada tahun 1886 candi Ijo pertama kali ditemukan oleh H.E. Dorrepaal seorang berkebangsaan Belanda. Penemuan terjadi secara tak sengaja ketika itu Dorrepaal hendak mencari lahan untuk perkebunan Tebu dan menemukan gundukan batu.

Maka setelah itu dilakukan penelitian oleh C.A. Rosemeir. Ia menemukan tiga buah arca batu, ketiga arca tersebut adalah arca Ganesa, arca Siwa, dan sebuah arca tanpa kepala bertangan empat yang satu diantaranya membawa cakra. Gambar tata letak bangunan Candi Ijo dibuat oleh H.L. Heidjie Melville.

Pada tahun 1958 Dinas Purbakala melakukan penelitian. Sementara pemugaran candi utama yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta selesai pada tahun 1997.

Lokasi Candi Ijo tidak jauh dari dua candi terkenal yaitu Candi Ratu Boko dan Candi Prambanan, kental akan makna sejarah Kerajaan Mataram Kuno. Candi Ijo merupakan bangunan pemujaan peninggalan klasik dari masa Jawa Kuno. Ahli sejarah mengungkap, diperkirakan Candi Ijo dibangun sekitar tahun 850 - 900 Masehi. Pada saat itu berkuasa raja dari Kerajaan Mataram Kuno yaitu Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi.

Candi Ijo terletak di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Karena letaknya yang tinggi, banyak wisatawan yang datang untuk menikmati indahnya matahari terbenam di halaman candi. Berada di atas bukit dengan ketinggian sekitar 425 meter diatas permukaan laut dengan luas 0,8 hektare, membuat Candi Ijo mampu menghadirkan pemandangan alam yang indah.

Ada sebab mengapa namanya disebut Candi Ijo, karena candi ini berada di perbukitan yang subur dan panorama indah hijaunya bentangan alam maka disebut "Gumuk Ijo". Nama ini telah disebut dalam Prasasti Poh berangka tahun 906 Masehi berbahasa Jawa Kuno dalam penggalan "... anak wanua i wuang hijo ..." yang artinya anak desa, orang Ijo.

Prasasti Poh ditemukan di Desa Randusari, Kabupaten Klaten. Prasasti terdiri atas 2 lembar lempeng tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar 20,5 cm. Sejarah mencatat prasasti ini ada pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dari Kerajaan Mataram Kuno. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali. 

Candi Ijo merupakan situs sejarah peninggalan budaya Hindu. Ditemukan 17 struktur bangunan yang tersebar pada 11 teras. Teras paling atas dianggap sebagai teras yang paling suci tempat candi utama berdiri.

Struktur tata ruang kompleks candi berupa punden berundak. Struktur berupa teras atau trap ganda ini kerap ditemukan pada situs purbakala Nusantara. Ciri khas kebudayaan asli Nusantara ini dapat ditemukan pada situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum pra Hindu-Buddha. Istilah punden berundak bukan semata diartikan sebagai struktur dasar tata ruang saja, tetapi terlebih pada konsep pemujaan atau penghormatan pada leluhur.

Kompleks candi utama berada di teras tertinggi. Tepat diseberang candi utama berjajar tiga candi yang lebih kecil ukurannya disebut candi perwara. Analisa ahli sejarah menduga tiga candi perwara dibangun untuk menghormati Brahma, Wisnu dan Siwa, yang dianggap sebagai dewa tingkat tertinggi menurut agama Hindu.

Di sisi ruang candi terdapat jendela yang dilubangi berbentuk belah ketupat, di bagian atas tampak ukiran kepala Kala (Samuel Bryandityo)

Ketiga candi kecil ini memiliki ruang dan terdapat semacam jendela yang dilubangi berbentuk belah ketupat. Atapnya terdiri atas tiga tingkatan didekorasi dengan indah dengan banyak deretan ratna. Tampak arca lembu Nandini kendaraan Dewa Siswa di salah satu Candi perwara yang berada ditengah.

Candi utama memiliki tata letak persegi. Pintu masuk garbhagriha ada di sisi barat, dengan dua buah relung gawang seperti jendela di kedua sisinya. Dinding utara, timur, dan selatan memiliki tiga relung di setiap sisi yang dihiasi dengan desain kala-makara.

Relung tengah sedikit lebih tinggi dari dua relung mengapit lainnya. Relung-relung ini kini kosong yang dulunya diyakini sebagai tempat hiasan arca para dewa.

Pintu candi utama berada 1,2 m di atas permukaan tanah dan dengan demikian tangga membantu untuk mencapai pintu masuk. Pada bagian atas pintu terdapat ukiran Kala Makara di kedua sisi gapura.

Pola Kala Makara ini biasa terlihat di kuil-kuil kuno di Jawa. Kedua kepala Kala tidak dilengkapi rahang bawah. Sejarah menilai kekhasan ini terdapat pada candi-candi lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kala Makara merupakan dua kekuatan yang ada di alam. Kala sebagai kekuatan matahari dan Makara sebagai kekuatan bumi.

Di dalam candi utama memiliki ruangan yang paling besar diantara candi yang lain. Tepat ditengah ruangan terdapat lingga dan yoni yang disangga oleh figur ular sendok. Mahkluk mitologi ini melambangkan penyangga bumi. Sementara, penyatuan lingga dan yoni melambangkan penyatuan suci Dewa Siwa dan permaisurinya Dewi Parwati shaktinya.

Batuan bangunan Candi Ijo yang digunakan sama dengan batuan asal candi lain pada masa Kerajaan Matam Kuno yaitu Candi Prambanan. Batu Andesit yang terbentuk dari batuan beku berasal dari magma digunakan sebagai bahan pembuat candi.

Upaya pelestarian Candi Ijo terus berlanjut hingga saat ini. Baik pemugaran struktur candi maupun teras terus dilakukan karena masih banyak temuan dalam kondisi runtuh.