Herodotus, yang menulis pada abad kelima SM mencatat bahwa orang-orang di Danau Moeris di Faiyum, memberi makan buaya yang dipelihara di sana, dan menghiasi mereka dengan gelang dan anting-anting sebagai sarana untuk menghormati Sobek.
Setelah buaya kuil mati atau disembelih, mereka dimumikan dan dikubur dalam peti mati tanah liat. Beberapa di antaranya masih dapat dilihat di kapel Hathor di Kom Ombo.
Buaya bukan satu-satunya mumi hewan yang diberikan sebagai persembahan nazar kepada para dewa. Ribuan mumi kucing dengan desain rumit di perbannya telah ditemukan di pemakaman di Bubastis dan Saqqara.
Pesembahan itu didedikasikan untuk dewi kucing Bastet. Dalam konteks sejarah Mesir kuno, kultus Bastet relatif baru, sekitar 1000 SM. Kultusnya berkembang dari dewi singa betina Sekhmet meskipun ikonografinya jauh lebih tua.
Bastet adalah putri dewa matahari Ra dan merupakan versi Sekhmet singa betina yang damai dan jinak. Bastet sering ditampilkan bersama anak kucing, karena peran utamanya adalah sebagai ibu pelindung.
Pusat kultus Bastet berada di Bubastis di utara Mesir yang menonjol pada dinasti kedua puluh dua dan dua puluh tiga (945-715 SM). Ketika Herodotus berada di Mesir, dia berkomentar bahwa ratusan ribu peziarah datang ke situs tersebut untuk memberikan penghormatan kepada sang dewi.
Dia juga menyatakan bahwa saat ini orang juga akan mengambil sisa-sisa kucing mereka sendiri untuk dipersembahkan kepada dewi, sambil menjalani masa berkabung tradisional termasuk mencukur alis.
Peziarah ke pusat kultus Bastet mendedikasikan mumi kucing untuk dewi dengan harapan dia akan menjawab doa mereka. Mumi ini dijual oleh para pendeta di kuil yang menjalankan program pemuliaan yang mirip dengan Sobek, menyediakan kucing untuk disembelih.
Memproduksi mumi untuk dipersembahkan kepada Sobek dan Bastet adalah bisnis yang menguntungkan dan jelas bahwa permintaan mungkin melebihi pasokan. Sejumlah mumi kucing dan buaya telah dipindai CT atau di-rontgen untuk mengidentifikasi isi dan cara kematian hewan tersebut.
Banyak mumi kucing berisi sisa-sisa anak kucing yang sangat muda yang dicekik atau lehernya patah. Mereka dibesarkan untuk disembelih untuk menyediakan mumi bagi para peziarah.
Namun, sejumlah mumi menunjukkan bahwa mereka bukanlah sisa-sisa kucing utuh melainkan kombinasi bahan kemasan dan bagian tubuh kucing yang dibentuk menjadi mumi.
Hasil serupa telah ditemukan ketika mumi buaya telah dipindai atau dirontgen menunjukkan beberapa terbuat dari alang-alang, lumpur, dan bagian tubuh yang dibentuk menjadi bentuk yang benar.
Mungkinkah mumi hewan 'palsu' ini adalah karya para pendeta yang tidak bermoral, mendapatkan kekayaan dari para peziarah ke situs-situs keagamaan atau apakah niat dan asal mumi yang berasal dari kuil lebih penting daripada isinya?
Namun yang jelas, praktik penyembelihan hewan muda untuk dijual muminya kepada para peziarah ini lebih merupakan kegiatan bisnis daripada pemujaan hewan.