Nationalgeographic.co.id—Sepanjang sejarah dunia, ada banyak ahli waris yang menduduki takhta kerajaan atau kekaisaran. Banyak dari mereka yang mengubah sejarah dunia, entah dengan cara yang baik atau buruk.
Dari Kekaisaran Romawi hingga Tiongkok, berikut beberapa ahli waris yang berhasil mengubah sejarah selama berkuasa.
Ptolemy XIII Theos Philopator
Penguasa ke-13 Dinasti Ptolemaik Mesir, Ptolemy XIII bersinggungan dengan beberapa tokoh penting dalam sejarah kuno. Firaun muda pertama kali berkuasa pada tahun 51 Sebelum Masehi pada usia 11 atau 12 tahun.
“Meski sudah menjadi seorang pemimpin, ia dibayangi oleh saudara perempuannya yang terkenal Cleopatra,” tulis Evan Andrews di laman History. Meski bersaudara, keduanya menikah sesuai dengan kebiasaan Mesir kuno.
Cemburu dengan ketenaran Cleopatra yang meningkat, Ptolemy memicu perang saudara pada 48 Sebelum Masehi. Ia berkomplot dengan anggota istana yang berpengaruh dan mengusir Cleopatra dari Mesir.
Ptolemy juga bersekutu dengan pemimpin Romawi Pompey, yang saat itu berperang dengan Julius Caesar. Ketika Pompey dikalahkan dan tiba di Mesir untuk mencari perlindungan, firaun remaja itu membunuhnya. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengesankan dan menjilat penguasa Romawi.
Rencana tersebut terbukti tidak berhasil. Setelah tiba di Mesir, Caesar memaksa bocah penguasa itu untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Ptolemy XIII akhirnya memimpin pasukan Mesir melawan Romawi. Caesar dengan telak mengalahkan pasukan Ptolemy dalam pertempuran yang mengakibatkan terbakarnya Perpustakaan Alexandria yang terkenal.
Penguasa muda itu kemudian diyakini tenggelam di Sungai Nil saat dia mencoba melarikan diri dari penangkapan.
Fulin, Kaisar Shunzhi dari Tiongkok
Fulin yang berusia 5 tahun ketika ia naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1643 setelah kematian ayahnya.
Dikenal sebagai Shunzhi, ia adalah Kaisar Tiongkok dari Dinasti Qing. Karena usianya yang masih sangat muda, selama beberapa tahun berikutnya Tiongkok diperintah di bawah perwalian pamannya, Dorgon.
Setelah kematian Dorgon pada tahun 1650, Shunzhi yang berusia 12 tahun mengambil alih pemerintahan Kekaisaran Tiongkok. Waspada terhadap perebutan kekuasaan dari musuh politiknya, dia segera membentuk aliansi dengan kasim istana yang berpengaruh. Kaisar muda itu melakukan upaya untuk memerangi korupsi dan mengonsolidasikan kekaisaran di bawah Dinasti Qing.
Kaisar Shunzhi saat ini dikenang sebagai pemimpin yang sangat berpikiran terbuka. Dia mencurahkan banyak waktu untuk mempelajari sains dan astronomi. Berbeda dengan Kaisar Tiongkok lainnya, Kaisar Shunzhi juga toleran terhadap berbagai agama.
Sekitar tahun 1652, ia mengadakan jamuan di Beijing untuk Dalai Lama Kelima. Sang kaisar juga secara teratur berkonsultasi dengan seorang misionaris Jesuit bernama Johann Adam Schall von Bell. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang Katolik, Shunzhi menganggap Schall sebagai salah satu penasihat terdekatnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai kakek.
Shunzhi meninggal karena cacar pada tahun 1661 pada usia 22 tahun. Putranya, Kaisar Kangxi, akan memerintah selama lebih dari 60 tahun.
Mary, Ratu Skotlandia
Mary Stuart memerintah sebagai ratu dari dua kerajaan yang terpisah sebelum dia berusia 18 tahun. Mary menjadi Ratu Skotlandia setelah ayahnya meninggal hanya 6 hari setelah kelahirannya pada tahun 1542.
Meskipun dia terlalu muda untuk memerintah, posisinya sebagai seorang bangsawan menjadikan ratu bayi. “Ia menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam hubungan internasional,” tambah Andrews.
Ingin sekali menyatukan Skotlandia dan Inggris, pada tahun 1543 Raja Henry VIII mengusulkan pernikahan antara Mary dan putranya Edward. Ketegangan politik antara kedua kerajaan membuat parlemen Skotlandia menolak pertunangan. Mary pun dilindungi di berbagai kastel setelah Henry VIII menginvasi Skotlandia. Sang raja mencoba memaksakan pernikahan.
Untuk menjauhkannya dari jangkauan Inggris, pada tahun 1548 ratu berusia 5 tahun dibawa ke Prancis. Pada usia 16 tahun dia menikah dengan Francis II. Karena pernikahan itu, ia memerintah sebagai Ratu Prancis setelah dia naik takhta.
Setelah kematian Francis, pada tahun 1561 Mary kembali ke Skotlandia untuk melanjutkan tugasnya sebagai ratu. Dia menikah lagi dua kali saat dewasa.
Pemberontakan tahun 1567 memaksanya melepaskan takhta Skotlandia dan melarikan diri ke Inggris. Di Inggris, dia dipenjara selama hampir 19 tahun sebelum dieksekusi. Hal itu disebabkan karena perannya yang tanpa disadari dalam komplotan untuk menggulingkan Ratu Elizabeth I.
Elagabalus, Kaisar Romawi
Elagabalus naik takhta pada usia 15 tahun. Berasal dari Suriah, Elagabalus menguasai Kekaisaran Romawi pada tahun 218. Hal itu terjadi setelah ibu dan neneknya memicu pemberontakan. Mereka mengeklaim bahwa Elagabalus adalah anak tidak sah dari Kaisar Caracalla yang baru saja dibunuh.
Tidak perlu menunggu lama, penguasa muda itu segera menimbulkan kontroversi. Bahkan sebelum dia tiba di ibu kota, dia mengangkat dewa matahari Suriah Elagabal sebagai dewa utama Romawi.
Elagabalus kemudian mengejutkan publik dengan kebiasaan seksualnya yang tidak lazim. Elagabalus juga mendapat cemoohan dari kelas politik Romawi dengan mengizinkan ibunya memasuki aula Senat khusus pria.
Sudah dipandang oleh banyak orang di kekaisaran sebagai pemimpin korup, Elagabalus menyebabkan skandal lain yang mengguncang Kekaisaran Romawi. Ia menikahi perawan vestal, pendeta wanita yang seharusnya tetap suci. Sang kaisar menyatakan persatuan mereka akan menghasilkan keturunan seperti dewa.
Perilaku yang bejatnya membuat Elagabalus akhirnya mengasingkan Garda Praetoria. Akhirnya pada tahun 222 kaisar yang berusia 18 tahun dibunuh. Posisi Elagabalus digantikan oleh sepupunya, Alexander Severus.
Elagabalus dianggap sebagai salah satu pemimpin Kekaisaran Romawi yang paling dekaden. Tapi beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa perilaku eksentriknya kemungkinan besar dibesar-besarkan oleh musuh politiknya dalam upaya untuk mendiskreditkannya.
Baldwin IV dari Yerusalem
Raja Baldwin IV menyelamatkan Yerusalem dari musuh pada usia 16 tahun. Ia bahkan berjuang untuk Yerusalem saat menderita penyakit yang melemahkan. Hal ini membuat Baldwin IV dikenang dalam sejarah.
Lahir pada tahun 1161, Baldwin IV naik ke tampuk kekuasaan pada usia 15 tahun setelah kematian ayahnya, Amalric I. Meskipun menderita kusta sejak kecil, Baldwin IV berulang kali mempertahankan kerajaan Kristennya melawan Saladin. Saladin adalah ahli taktik militer Muslim yang memerintah sebagai Sultan Mesir dan Suriah.
Ketika Saladin bergerak menuju kota Ascalon pada tahun 1177, Raja muda Baldwin IV bergegas ke lokasi. Ia hanya ditemani dengan sedikit pasukan infanteri dan beberapa ratus Ksatria Templar.
Dikepung di dalam tembok kota oleh prajurit Saladin, Baldwin IV berhasil menghancurkan pasukannya dari benteng. Setelah itu, ia mengalahkan pasukan Muslim di Pertempuran Montgisard.
Setelah mengamankan perjanjian damai singkat dengan Saladin, penguasa remaja itu kembali ke Yerusalem sebagai pahlawan.
Meski perjanjian damai telah disetujui, Baldwin IV terus bertempur melawan pasukan Saladin setelah gencatan senjata berakhir. Ia bahkan harus bepergian dengan tandu ketika penyakit kusta membuatnya terlalu lemah untuk menunggang kuda.
Kondisi Baldwin IV memburuk selama beberapa tahun berikutnya dan dia akhirnya meninggal pada tahun 1185 pada usia 23 tahun. 2 tahun kemudian Saladin memenangkan kemenangan yang menentukan di Pertempuran Hattin dan secara efektif menggulingkan Kerajaan Yerusalem.
Tutankhamun dari Mesir kuno
Paling terkenal terkait dengan penemuan makamnya, Tutankhamun adalah Firaun Mesir yang diperkirakan memerintah selama 10 tahun. Pada abad ke-14 Sebelum Masehi, Tutankhamun mewarisi takhta pada usia 9 atau 10 tahun.
Awalnya ia memerintah Mesir di bawah arahan penasihat karena usianya yang masih muda. Sementara pemerintahannya bukan waktu yang signifikan dalam sejarah Mesir, Tutankhamen melakukan beberapa perubahan sosial yang besar. Yang paling penting adalah pembalikan reformasi ayahnya yang tidak populer, "raja sesat" Akhenaten.
Ayahnya meninggalkan dekrit Akhenaten bahwa dewa matahari Aten menjadi satu-satunya dewa. Setelah naik takhta, Tutankhamun mengembalikan Dewa Amun dan memulihkan Thebes sebagai ibu kota Mesir.
Tutankhamun meninggal secara misterius sekitar usia 19 tahun. Meski masih sangat muda, kontribusi terpentingnya bagi sejarah terjadi lebih dari 3.200 tahun. Saat itu, ahli Mesir kuno Inggris Howard Carter menemukan tempat peristirahatan terakhirnya di Lembah Para Raja.
Makamnya merupakan salah satu situs permakaman Mesir paling terlestarikan dari semua yang pernah ditemukan. Makam Tutankhamen membantu membentuk pemahaman tentang kebiasaan kerajaan Mesir kuno.