Nationalgeographic.co.id—Ketika seseorang ditanya tentang Australia, mungkin yang pertama kali terlintas adalah kanguru. Di dunia hewan, kanguru hampir tidak dapat ditemukan di wilayah lain di seluruh dunia, bahkan di Pulau Jawa yang sangat dekat.
Sementara itu, kita dapat menemukan goanna di Australia, spesies yang mirip dengan iguana di Indonesia. Meskipun di dunia hewan dua spesies itu berbeda, tetapi sebenarnya nama goanna berasal dari iguana.
Jadi mengapa tidak ada kanguru di Jawa, tetapi ada Goanna di Australia?
Sekarang sebuah studi besar dunia hewan yang dipimpin oleh ahli biologi di Australian National University (ANU) dan ETH Zurich di Swiss memberikan penjelasan, mengapa kita tidak akan menemukan kanguru, koala, dan marsupial Australia lainnya di Indonesia.
Meski kita, di sisi lain dapat menemukan banyak spesies di dunia hewan yang berasal dari Asia, seperti goanna, tikus, dan kukabura di Australia.
Ahli biologi telah lama menggambarkan distribusi asimetris spesies Australia dan Asia ini menggunakan garis imajiner.
Distribusi itu memisahkan Australia, Nugini, dan sebagian Indonesia dari benua Asia Tenggara. Batas tak terlihat ini dikenal sebagai Garis Wallace.
Hasil studi baru tersebut telah dirincikan di Science belum lama ini. Makalah tersebut diterbitkan dengan judul "Paleoenvironments shaped the exchange of terrestrial vertebrates across Wallace’s Line".
Para peneliti mengatakan, bahwa perubahan lempeng tektonik dan perubahan iklim dramatis dalam iklim Bumi puluhan juta tahun yang lalu adalah alasan utamanya.
Sehingga distribusi makhluk Australia dan Asia yang tidak merata di kedua sisi batas tak terlihat, akhirnya memberikan penjelasan untuk teka-teki Garis Wallace, yang telah lama membingungkan para ilmuwan.
Para peneliti Australian National University menemukan alasan spesies yang berasal dari Asia dapat ditemukan di Australia. Spesies tersebut dapat menoleransi variasi yang luas dalam kondisi iklim dan lebih berhasil beradaptasi dan menetap di Australia.
Hal itu yang menjelaskan mengapa ada lebih banyak fauna Asia yang ditemukan di Australia dibandingkan dengan sebaliknya.
“Jika Anda bepergian ke Kalimantan, Anda tidak akan melihat mamalia berkantung, tetapi jika Anda pergi ke pulau tetangga Sulawesi, Anda akan melihatnya," kata Alex Skeels dari ANU.
"Sebaliknya, Australia kekurangan mamalia khas Asia, seperti beruang, harimau, atau badak."
Menurut Skeels, distribusi spesies di dunia hewan yang tidak merata di kedua sisi Garis Wallace ini sebagian disebabkan oleh perubahan lempeng tektonik purba. Perubahan lempeng itu terjadi sejak 45 juta tahun yang lalu.
Pada akhirnya, perubahan itu menyebabkan "benturan benua" yang mengubah komposisi geografis dari Bumi dan juga perubahan iklim.
“Sekitar 35 juta tahun yang lalu, Australia terletak lebih jauh ke selatan dan terhubung dengan Antarktika,” katanya.
“Di beberapa titik dalam garis waktu Bumi, Australia memisahkan diri dari Antarktika dan selama jutaan tahun begerak ke utara, menyebabkannya menabrak Asia."
"Tabrakan itu melahirkan pulau-pulau vulkanik yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia.”
Menurutnya, pulau-pulau di Indonesia berfungsi sebagai “batu loncatan” bagi hewan dan tumbuhan yang berasal dari Asia. Beberapa spesies di dunia hewan dan tumbuhan kemudian dapat mencapai Nugini dan Australia bagian utara, dan sebaliknya.
“Penelitian kami menunjukkan jauh lebih banyak kelompok fauna Asia yang menyeberang dan menetap di Australia daripada di arah sebaliknya,” kata Skeels.
Namun seperti yang dijelaskan oleh para peneliti ANU, pergeseran lempeng tektonik hanyalah salah satu bagian dari teka-teki dalam menjelaskan migrasi spesies Asia ke Australia.
Ketika Australia memisahkan diri dari Antarktika, terjadi pergeseran klimaks yang menyebabkan tren pendinginan dan pengeringan global benua, yang menyebabkan peristiwa kepunahan massal di seluruh dunia.
“Ketika Australia menjauh dari Antarktika, ia membuka area Laut Dalam yang mengelilingi Antarktika yang sekarang menjadi tempat Arus Sirkumpolar Antarktika berada," kata Skeels.
"Ini secara dramatis mengubah iklim Bumi secara keseluruhan; itu membuat iklim jauh lebih sejuk."
Terlepas dari pendinginan global ini, lanjutnya, iklim di pulau-pulau Indonesia digunakan beberapa spesies di dunia hewan sebagai pintu gerbang untuk melompat ke Australia.
Australia saat itu tetap relatif hangat, basah, dan tropis. "Jadi fauna Asia sudah beradaptasi dengan baik dan nyaman dengan kondisi tersebut, sehingga membantu mereka menetap di Australia," Skeels menjelaskan.
“Ini tidak terjadi pada spesies Australia. Mereka telah berevolusi dalam iklim yang lebih dingin dan semakin kering dari waktu ke waktu dan karena itu kurang berhasil mendapatkan pijakan di pulau-pulau tropis dibandingkan dengan makhluk yang bermigrasi dari Asia.”
Pada penelitian ini, para peneliti menganalisis kumpulan data sekitar 20.000 burung, mamalia, reptil, dan amfibi.
Para peneliti menentukan spesies mana yang melompat antara Indonesia dan Australia, dan mana yang berhasil beradaptasi dengan rumah baru mereka.
“Temuan kami juga dapat menginformasikan prediksi untuk migrasi hewan di masa depan dan membantu kami memprediksi spesies mana yang lebih berpengalaman dalam beradaptasi dengan lingkungan baru," kata Skeels.
"[Itu] karena perubahan iklim Bumi terus memengaruhi pola keanekaragaman hayati global."