Timbul dari Tenggelam, Geliat Ekowisata Bekantan di Sungai Hitam

By Utomo Priyambodo, Jumat, 4 Agustus 2023 | 19:15 WIB
Seekor bekantan sedang bermain di pohon rambai yang tumbuh di sepanjang sempadan Sungai Hitam di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Bekantan suka memakan daun, buah, serta biji pohon mangrove itu. (Josua Marunduh)

Nationalgeographic.co.id—Kepala Tio Safei muncul dari bawah permukaan air Sungai Hitam. Dia kemudian naik ke atas dermaga kayu yang basah akibat sisa hujan semalaman.

Tio baru saja menyelam untuk memperbaiki tali kemudi kapal. Letak tali kemudi itu ada di bawah buritan kapal.

“Tali kemudi kapalnya putus. Jadi nggak safety. Kalau kemudinya lepas, bisa hanyut, hilang. Makanya saya ikat ulang biar lebih aman,” tutur Tio.

Bagian kemudi di bawah buritan itu terhubung dengan tongkat besi kemudi di atas kapal. Di atas kapal berkapasitas 10 penumpang itu, Tio biasa mengendalikan tongkat besi kemudi dengan kakinya.

Pemuda berusia 25 tahun itu dianggap oleh kelompoknya termasuk yang paling andal untuk mengemudikan kapal. Dia juga dipercaya untuk merawat dan mengecek kondisi kapal setiap akan digunakan.

Tio adalah seorang motoris kapal di area Wisata Bekantan Ekoparian Sungai Hitam. Dia juga merupakan anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sungai Hitam Lestari yang mengelola ekowisata tersebut.

Pokdarwis Sungai Hitam Lestari berdiri di Kelurahan Kampung Lama, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ketua pokdarwis ini adalah Aidil Amin, pria berusia 49 tahun dari Kampung Lama.

Pada Jumat pagi yang basah itu, setelah Tio rampung membilas tubuhnya yang kuyup usai menyelam dan beres berganti pakaian, Aidil bersama Tio membawa sembilan orang penumpang menyusuri Sungai Hitam. Disebut Sungai Hitam karena air sungai ini kadang berwarna hitam, terutama saat cuaca kering atau panas.

Sungai Hitam adalah bagian dari sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Merdeka yang bermuara di Selat Makassar. Yang istimewa dari sungai ini, di sepanjang sempadannya terdapat hutan mangrove yang menjadi habitat ratusan bekantan (Nasalis larvatus).

Bekantan adalah monyet berhidung besar panjang dengan rambut berwarna cokelat kemerahan. Karena hidungnya yang besar dan rambut tubuhnya yang agak pirang, bekantan kerap dijuluki juga sebagai monyet belanda. Selain hidungnya yang besar, ciri khas monyet ini adalah perutnya yang buncit dan keahliannya untuk berenang.

Primata ini merupakan satwa endemik Kalimantan. Karena kelangkaannya, mamalia ini bahkan telah ditetapkan sebagai hewan yang terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Kini, spesies ini telah bertatus sebagai satwa yang dilindungi baik oleh organisasi dunia maupun pemerintah Indonesia.

Selain melihat bekantan, lewat ekowisata menyusuri Sungai Hitam, kalau beruntung pengunjung juga bisa menjumpai satwa khas lain di ekosistem sungai tersebut. Mulai dari berang-berang, burung kingfisher yang berwarna-warni, bangau, walet, buaya, biawak, hingga ular cincin emas.

Kondisi dermaga Wisata Bekantan Ekoparian Sungai Hitam di Kalimantan Timur. Dermaga kayu ini telah dilengkapi oleh tempat cuci tangan, WC umum, kantin, serta gudang penyimpanan jaket pelampung. Ada kapal berkapasitas 10 penumpang dan kapal berkapasitas 5 penumpang di dekat dermaga yang siap digunakan. (Josua Marunduh)

Aidil Amin mengatakan dirinya telah menjalankan wisata susur sungai ini sejak tahun 1999. “Jadi waktu itu masih manual,” ujarnya. “Dulu masih pakai dayung.”

“Wisatawan pertama itu wisatawan asing,” tambah Aidil. Kebanyakan wisatawan asing itu merupakan tamu dari Borneo Orangutan Survival (BOS) Samboja Lodge, tempat ekowisata lainnya yang lekat dengan kegiatan pelestarian orang utan.

Dulu, Aidil menetapkan biaya menyusuri Sungai Hitam hanya Rp25 ribu per wisatawan. Kini, biaya susur sungai ini adalah Rp130 ribu per orang untuk wisatawan asing dan Rp60 ribu per orang untuk wisatawan domestik.

Mayoritas wisatawan di Sungai Hitam ini dulunya didominasi oleh wisatawan asing. “80 persen asing,” sebut Aidil. Namun kini proporsi wisatawan domestik dan wisatawan asing di sana nyaris sama, hampir 50% banding 50%.

Kini, tugas Aidil dan kelompoknya lebih mudah karena mereka sudah menggunakan kapal mesin. Dulu, mereka harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mendayung kapal.

“Apalagi kalau pas air banjir [pasang] kan, wah setengah mati itu bawa itu. Namanya orang asing kan rata-rata postur tubuhnya besar,” ujar Aidil.

Sebelum pandemi, Aidil dan kelompoknya bisa menerima kedatangan wisatawan hingga hingga 8.000 orang per tahunnya. “Dulu sebelum pandemi itu, pendapatan kami itu mungkin bisa sampai ratusan juta rupiah. Bahkan bisa lebih,” katanya.

Malang tak dapat ditolak, pembatasan sosial selama masa pandemi membuat kegiatan ekowisata susur sungai itu “tenggelam” untuk sementara waktu.

Untungnya, setelah pandemi ini, kegiatan ekowisata itu mulai bergeliat kembali. Tren jumlah pengunjungnya mulai naik lagi seperti kepala Tio Safei yang muncul ke atas permukaan sungai.

Aidil mengatakan kini jumlah pengunjung harian Wisata Bekantan Ekoparian Sungai Hitam adalah sekitar 5-10 orang di hari kerja. Angka itu bisa naik mencapai 25 pengunjung per hari di akhir pekan.

Bantuan pembangunan fasilitas baru serta berbagai pelatihan pendukung pariwisata yang diterima Pokdarwis Sungai Hitam Lestari telah membuat mereka lebih kuat dan tangguh dalam mengelola ekowisata ini. Aidil optimistis ekowisata ini bisa berjalan secara berkelanjutan, begitu pula dengan kegiatan konservasi bekantan dan habitatnya di sini.