Penemuan Fosil Gajah Purba, Benarkah Musnah Karena Perubahan Iklim?

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Sabtu, 5 Agustus 2023 | 11:00 WIB
Stegodon merupakan jenis gajah purba yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Mereka hidup sampai pada era Pleistosen akhir (Peter Schouten)

Nationalgeographic.co.id—Penemuan fosil gajah purba di Sragen Jawa tengah beberapa hari lalu menandai bahwa jutaan tahun lalu kawasan itu pernah menjadi ekosistem berawa dan hutan terbuka pada era Pleistosen.

Situs Sangiran terletak di dua wilayah kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar.

Ada tiga jenis gajah yang pernah hidup di Sangiran antara satu juta sampai dua ratus ribu tahun yang lalu.

Tiga generasi gajah purba tersebut yaitu Mastodon, Stegodon dan Elepas. Ciri fisik yang membedakan ketiganya adalah tipe gigi dan bentuk gadingnya.

Stegodon merupakan jenis gajah purba yang paling banyak ditemukan di Sangiran.  Mereka hidup sampai pada era Pleistosen akhir.

Pada era Pleistosen mereka hidup di sebagian besar Asia dan Afrika Timur dan Tengah, dan di Wallacea sampai ke Timor. Saat itu nenek moyang kita manusia purba berkeliaran dengan megafauna.

Dilansir dari Ancient Origins, hewan raksasa dan megafauna purba yang berkeliaran di Asia Tenggara seratus ribu tahun lalu mati karena perubahan iklim.

Sebuah tim ilmuwan dari Universitas Griffith di Brisbane, Australia telah menerbitkan sebuah studi baru di jurnal Nature yang mengklaim bahwa selama 2,6 juta tahun lalu, pada era Pleistosen, Asia Tenggara berfluktuasi dari lingkungan tropis basah ke padang rumput yang kaya. 

Penelitian mereka menyimpulkan bahwa perubahan iklim sekitar seratus ribu tahun yang lalu menyebabkan kembalinya kondisi tropis yang membunuh primata dan megafauna awal.

Penelitian  ini memperingatkan kita bahwa hal yang sama dapat terjadi pada hewan besar yang kita punya sekarang, saat dunia semakin panas.

"Jika kita tidak bertindak sekarang untuk mendinginkan bumi, banyak rekan kita yang berbulu akan hilang selamanya" ungkap tim ilmuwan.

Sekitar satu juta tahun yang lalu hutan hujan yang mendominasi wilayah Myanmar hingga Indonesia. Saat lingkungan berubah dari hutan hujan basah menjadi padang rumput, maka terjadi  migrasi hewan.

Namun, perubahan iklim menyebabkan peralihan kembali ke hutan hujan, yang hanya memungkinkan kelangsungan hidup hewan yang lebih kecil dan Homo sapiens .

Mempelajari struktur kimiawi fosil gigi mamalia, dan membandingkannya dengan lebih dari 250 pengukuran baru mamalia Asia Tenggara modern, para peneliti melihat apakah hewan purba lebih banyak memakan rumput atau daun tropis.

Ini memungkinkan gambaran yang lebih jelas tentang kondisi lingkungan dan perubahan iklim pada periode sejarah yang berbeda.

Seratus ribu tahun yang lalu megafauna raksasa yang makan bersama Homo erectus di iklim kaya rumput di Asia Tenggara terdiri dari stegodon, hyena, kerbau, badak Asia, hyena besar, tapir, rusa, kambing.

Ada juga Gigantopithecus, mewakili primata terbesar yang pernah hidup, berukuran tinggi sepuluh kaki atau sekitar 3,05 meter dan beratnya lebih dari setengah ton atau sekitat 453 kilogram.

Nenek moyang manusia purba memburu hewan-hewan itu. Namun selain karena perburuan, semua spesies ini punah karena perubahan iklim menyebabkan hilangnya padang rumput.

Apa artinya ini dalam istilah hari ini, profesor Julien Louys mengungkapkan "Hewan besar yang kita tinggali saat ini akan musnah oleh pemanasan global."

Dr. Louys melanjutkan, "Gorila, singa, harimau, badak sebagai salah satu binatang darat besar yang akan hilang selamanya. Kecuali jika emisi karbon dikurangi secara drastis dan cepat."

Saat ini megafauna hutan hujan masuk dalam daftar terancam punah di seluruh wilayah Asia sebagai akibat langsung dari keberhasilan penguasaan manusia atas satwa liar di belahan dunia ini.

Melalui Daily Mail, Dr. Louys menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan keuntungan dari perluasan hutan hujan selama beberapa ribu tahun terakhir, mamalia Asia Tenggara berada di bawah ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ancaman itu berasal dari tindakan manusia, yang mengambil alih hutan hujan yang luas melalui perkotaan, ekspansi, penggundulan hutan dan perburuan berlebihan. Hal ini menempatkan kita pada risiko kehilangan beberapa megafauna terakhir yang masih hidup.

Kenyataan lain, ada situasi mengerikan di Amazon Brasil sehubungan dengan perdagangan satwa liar ilegal. Penelitian ini mengungkapkan bahwa jutaan burung, ikan tropis, kura-kura, dan mamalia diambil dari alam liar dan diperdagangkan ke berbagai negara.

Laporan tersebut menyimpulkan bahwa tanpa tindakan segera, perdagangan ini tidak hanya membahayakan satwa liar, tetapi juga menghancurkan ekosistem dan membahayakan kesehatan masyarakat.