Nationalgeographic.co.id—Cerita dalam Bergerak ke Bumi Lestari berlanjut ke Kota Surabaya. Di Kota Pahlawan ini, banyak anak menjelma menjadi pahlawan lingkungan.
Kisah bagaimana anak-anak bisa menjadi hero lokal di lingkungannya ini bermula dari Tunas Hijau. Tunas Hijau adalah organisasi nonprofit lingkungan hidup yang bermarkas di Surabaya.
Tunas Hijau menyebut organisasi mereka sebagai wadah “kids & young people do actions for a better earth”. Intinya, lewat Tunas Hijau, anak-anak dan anak muda bisa beraksi untuk kondisi bumi yang lebih baik.
Di markas Tunas Hijau, tim National Geographic Indonesia bertemu dengan beberapa anak yang masing-masing punya kisah inspiratif. Salah satunya adalah Verlita Anggraini Putri (13).
Verlita yang baru saja lulus dari sekolah dasar (SD) itu bercerita soal proyek pengolahan limbah cangkang telurnya yang telah ia mulai sejak di bangku SD. Selama delapan bulan, gadis muda itu telah mengolah limbah cangkang telur sebanyak 11 ton.
“Yang sudah saya olah sebagai pupuk cangkang telur sebanyak 9,52 ton. Dan menjadi produk olahan lainnya sebanyak 1,48 ton,” kata Verlita bersemangat saat ditemui akhir Juni lalu.
“Contoh produk olahan lainnya berupa topeng dari cangkang telur, pigura, kaligrafi, pelet ikan, dan juga gantungan kunci,” Verlita memerincinya.
Ide mengolah limbah cangkang telur ini bermula dari kegelisahan Verlita melihat banyaknya sampah cangkang telur di lingkungan sekitar rumahnya.
“Rumah saya di Gunung Anyar [sebuah kecamatan di Surabaya], dekat dengan toko-toko kue. Jadi saya lihat kok cangkang telurnya itu dibuang sia-sia. Daripada dibuang sia-sia mending saya olah,” tutur Verlita.
Sejak saat itu Verlita berinisiatif untuk mengolah limbah cangkang telur yang awalnya dibuang sia-sia menjadi barang yang bernilai jual dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Pupuk cangkang telur adalah produk terbanyaknya.
Inisiatif Verlita ini juga tak lepas dari gagasan Tunas Hijau yang mengadakan ajang Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup di Surabaya. Verlita tertarik mengikuti ajang ini sehingga dia memberanikan diri mengambil aksi nyata untuk berkontribusi dalam penyelamatan lingkungan.
Kini, verlita telah memiliki 75 tempat adopsi untuk mengambil limbah cangkang telur. “Contohnya ada di Toko Kue Spikoe,” sebutnya. “Dalam satu kali pengambilan sudah menghasilkan 1,5 ton [cangkang telur]. Saya ngambilnya dua bulan sekali.”
“Untuk pengambilan di toko kue lainnya, per harinya itu hanya mencapai 35 kilogram,” tambah Verlita.
Verlita juga telah memiliki 5 kampung adopsi dan 1 sekolah adopsi, tempat ia meysosialisasikan proyek lingkungannya ini. Sekolah yang dimaksud adalah SDN Rungkut Menanggal I Surabaya yang juga merupakan sekolahnya.
Atas aksinya itu, Ferlita kemudian meraih Juara 3/Runner Up 2 Putri Lingkungan Hidup tahun 2022. Selain itu, ia juga mendapat Juara 1 Keluarga Sadar Iklim 2022 yang juga diselenggarakn oleh Tunas Hijau.
Senada dengan Verlita, Bhre Bhawana Praja Kawula (11) juga mengaku terinspirasi dengan adanya ajang Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup yang diadakan Tunas Hijau. Bocah laki-laki SD itu telah membuat proyek pengolahan sampah puntuk rook menjadi produk kerajinan tangan yang bernilai jual.
Ide punting rokok itu berawal saat Bhre yang sedang bermain sepak bola bersama teman-temannya di lapangan. Dia resah dengan puntung rokok yang banyak berceceran di lapangan.
“Dari tahun lalu, saya pernah ikut lomba kegiatan lingkungan dan kita harus mengambil salah satu proyek tentang lingkungan. Saya ikut dan saat saya main ada banyak sampah puntung rokok yang terlihat," tutur Bhre.
Setelah mengadakan riset bersama ayahnya, Bhre sadar bahwa puntung rokok adalah salah satu sumber limbah plastik terbesar. Sampah ini berisiko tinggi untuk kesehatan serta lingkungan.
Rincinya, yang mungkin belum disadari banyak orang, puntung rokok terbuat dari selulosa asetat, bahan plastik buatan manusia. Selain itu, seperti dalam kandungan rokok yang masih utuh, puntung pun mengandung ratusan bahan kimia beracun.
Oleh karena itulah, Bhre kemudian mengajak teman-temannya untuk membersihkan lapangan bola dan mengumpulkan puntung rokok. Mereka juga melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah tentang bahaya membuang sampah sembarangan.
Bhre mengembangkan insiasi ini menjadi komunitas Otis. Otis punya arti ‘puntung rokok’ dalam bahasa slang Surabaya.
“Komunitas Otis itu artinya komunitas puntung rokok yang mengumpulkan sampah puntung rokok," ucap Bhre.
Komunitas ini telah bekerja sama dengan 15 kafe lokal dan mengumpulkan 30.000 puntung rokok yang sudah disulap menjadi lebih dari 100 kerajinan tangan serta lukisan. “Sampah puntung rokok saya buat jadi lukisan karena saya suka melukis,” ujar Bhre.
Adapun jenis kerajian tangan dari punting rokok yang telah Bhre buat adalah kopiah, vas bunga, gantungan kunci, frame pajangan berisi hiasan gambar hingga kaligrafi.
Atas aksinya ini, Bhre kemudian dianugerahi gelar Juara 2/Runner Up 1 Pangeran Lingkungan Hidup 2022. Selain itu, dia juga menjadi finalis di Ashoka Young Changemaker 2023. Dia menjadi yang termuda di antara 14 finalis anak usia muda antara 11 sampai 19 tahun yang berasal dari 9 provinsi di Indonesia itu.
Selain Verlita dan Bhre, masih banyak anak lain di Surabaya yang juga telah melakukan aksi nyata untuk lingkungannya. Yang cukup sering dan banyak dilakukan oleh anak-anak binaan Tunas Hijau adalah pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos.
Mochamad Zamroni, salah satu pendiri yang kini menjadi Presiden Tunas Hijau, mengatakan gerakan organisasinya ini sudah dimulai sejak tahun 1999. Tunas Hijau di Surabaya ini berawal dari pengiriman lima orang pemuda dari Jawa Timur untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Australia pada Maret 1999. Sepulangnya dari Australia, para pemuda ini membentuk organisasi dan mulai melakukan upaya sederhana, nyata, dan berkelanjutan guna membantu agar lingkungan menjadi lebih baik.
“Intinya ngajak orang lain yang di sekitar kita itu buang sampah pada tempatnya. Jadikan saku kita sebagai tempat sampah sementara,” tutur Zamroni mengisahkan ulang aksinya sejak awal.
“Waktu itu tahun 1999 sudah memikirkan bagaimana supaya air mineral dalam kemasan sekali pakai itu dibatasi penggunaannya oleh setiap individu,” kenang Zamroni lagi. “Terus bagaimana ajakan untuk berbuat baik kepada lingkungan itu terus digelorakan ke setiap individu.”
Komunitas yang dibentuk oleh Tunas Hijau perlahan semakin berkembang seiring dengan adanya individu-individu baru dan generasi baru yang bergabung. Lalu muncullah ide untuk membuat proyek-proyek lingkungan lewat program Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup serta Keluarga Sadar Iklim.
“Kami mengajak masyarakat sebenarnya, tapi melalui anak-anak, buat project lingkungan,” ujar Zamroni.
Sejak 2002, lewat Pangeran dan Putri Lingkugan Hidup, Zamroni dan timnya mulai menggalakkan aksi pembuatan kompos dari sampah organik oleh anak-anak.
“Tiap tahun itu capaiannya dahsyat. Kalau yang dulu mengelola sampah organik jadi kompos itu sudah luar biasa. Tapi kemudian di masa pandemi itu satu anak bisa satu hari mengelola 100 kilogram sampah organik. Sebulan tiga ton. Karena pengelolaan itu setiap hari itu terus dilakukan. Enam bulan berarti 18 ton. Dalam setahun berarti 36 ton.”
“Akhirnya generasi berikutnya nggak mau kalah,” ujar Zamroni lagi bersemangat. “’Oh yang kemarin 100 kilogram?’ Nggak mau kalah, akhirnya yang lain sehari 150 kilogram.”
Zamroni mengatakan program Pangeran dan Putri Lingkungan Hidup masih terus digelar secara rutin hingga saat ini karena dampaknya cukup besar. Melalui program ini, menurut Zamroni, sebenarnya yang bergerak itu bukan hanya si anak.
“Anak itu bergerak, keluarga bergerak. Yang kemudian kita buatkan skema, bagaimana si anak itu mengajak orang di sekitarnya melakukan hal yang sama.”
Sebagai contoh gerakan membuat biopori. Awalnya si anak yang membuat biopori di halaman rumahnya. Lalu kemudian dibantu keluargnya. “Keluarga yang bergerak bersama dengan si anak itu kemudian mengajak satu kampungnya bikin biopori di setiap rumah,” kata Zamroni.
“Terus kemudian mengelola sampah organik di rumah, mengajak tetangganya juga, dan terus bergulir.”
Menurut Zamroni, cara ini cukup efektuf untuk menggerakkan elemen masyarakat yang sebelumnya tidak mau bergerak. “Anak yang menyampaikan dengan gaya bahasa sederhana itu mampu menggerakan elemen-elemen kelompok umur atau stakeholder yang sebelumnya tidak pernah begerak itu.”
“Jadi cukup efektif,” tegas Zamroni, “tapi harus terus digelorakan di banyak tempat, tidak hanya setahun sekali.”