Nationalgeographic.co.id—Samurai melayani tuannya selama berabad-abad di Kekaisaran Jepang. Mereka kerap digambarkan sebagai prajurit yang mulia, disiplin, dan rela berkorban.
Namun faktanya, samurai sering dipandang sebagai penjahat yang melanggar hukum oleh orang-orang yang hidup di masa lalu. Hal itu diungkapkan oleh Antony Cummins dalam buku Samurai and Ninja: The Real Story Behind the Japanese Warrior Myth that Shatters the Bushido Mystique.
Salah satu karakteristik samurai yang jarang disorot adalah bahwa orientasi mereka pada perburuan kepala musuhnya.
“Perburuan kepala adalah salah satu kegiatan inti samurai,” tulis Cummins. Tujuan mereka adalah memenggal kepala prajurit yang gugur dan menusukkannya ke tombak atau ujung pedang. Setelah itu, samurai akan berseru penuh kemenangan kepada dewa perang. Kepala musuh bagai piala kemenangan bagi seorang samurai di Kekaisaran Jepang.
Faktor yang banyak diabaikan adalah persyaratan samurai untuk mendapatkan kepala. Bagi seorang samurai, kehormatan dalam pertempuran serta kematian dan kehancuran musuh diperoleh lewat potongan kepala musuh.
“Bisa dikatakan jika kepala yang dipenggal adalah tujuan hidup mereka,” tambah Cummins lagi.
Namun, siapa yang suka jika kepalanya dipenggal, terutama oleh musuh? Biasanya, samurai yang terpojok tidak akan membiarkan kepalanya dipenggal oleh musuh. Mereka lebih memilih untuk melakukan bunuh diri atau seppuku. Bagi samurai, bunuh diri lebih terhormat daripada kepalanya dijadikan piala untuk musuhnya.
Bagaimana samurai Kekaisaran Jepang memenggal kepala musuhnya?
Namun tidak sedikit samurai yang akhirnya kehilangan kepala. Untuk membuat korban tidak berkutik, samurai akan menjepit leher korban. Lengan kanan ditahan di bawah kakinya. Samurai kemudian membuat sayatan di tenggorokan. Selain itu, mereka juga bisa meletakkan pisau di belakang batang tenggorokan dan memotong ke arah luar.
Samurai kemudian mulai menggergaji dan memotong leher pria itu sampai kepala terpisah dari tubuhnya. Beberapa samurai mungkin membawa pisau khusus untuk tugas ini.
Sebelum memotong kepala musuh, samurai juga bisa membuat luka di tenggorokan, menusuk jantung, atau melukai arteri di kaki.
Ritual mempersembahkan kepala kepada dewa dan pemimpin
Samurai kemudian akan mempersembahkan kepala pertama yang diambil dalam pertempuran untuk dewa perang tertentu. Hal itu dikenal dengan sebutan chimatsui atau festival darah.
Penampilan kepala musuh yang dipenggal pun harus dalam kondisi sempurna. Seorang pemimpin akan mengamati dan memeriksa kepala musuh yang dipenggal. Saat itu, rambut harus diikat dengan gaya sakawage.
Selanjutnya, letakkan kepala di atas kain putih dengan kepala mengarah ke bawah kemudian dibungkus agar wajahnya tidak terlihat. Jika korban adalah seorang pemanah, samurai harus menunjukkan kepala dengan busur di hadapan tuannya.
Sebelum pemeriksaan, para wanita merias wajah dan mengatur rambut di kepala. Mereka juga mengoleskan pewarna penghitam gigi.
Samurai harus berhati-hati dengan penampilan mereka. Setiap samurai di Kekaisaran Jepang harus bersiap untuk mati dengan kesadaran bahwa kepala mereka akan diperiksa.
Riasan dan penggunaan wewangian dan kemenyan dianggap pantas. Jika ada bekas luka di kepala, maka bekas luka itu akan disembunyikan dengan tepung beras.
Potongan kepala musuh digunakan untuk meramal
Para samurai di Kekaisaran Jepang memiliki ritual yang ditentukan untuk kepala yang mereka kumpulkan. Hal itu termasuk meramal menggunakan kepala dan pengusiran setan.
Untuk meramal masa depan melalui kepala yang dipenggal, samurai akan melihat mulut dengan mengangkat bibir atas.
Jika rahang bawah menonjol ke depan melewati gigi atas, maka keberuntungan bagi pihak yang mengambil kepala. Jika gigi atas menonjol melewati rahang bawah, maka sial bagi pihak yang mengambil kepala.
Penghormatan harus ditunjukkan kepada kepala ini. Bila yang diambil adalah kepala keberuntungan maka biksu akan mengucapkan formula yang benar untuk menenangkan jiwa orang mati. Dan jika sebaliknya, ritual pengusiran setan akan dilakukan.
Kepala tidak simpan seperti piala
Tidak seperti beberapa budaya kepala lainnya, samurai di Kekaisaran Jepang tidak menyimpan kepala bagai piala kemenangan. Mereka cenderung mengembalikannya ke keluarga samurai yang gugur. Kepala akan disimpan dalam wadah kotak dengan mantra dan doa.
Atau, samurai mengikat kepala musuh yang dipenggal pada balok kayu. Kepala itu akan dipaku untuk menahannya dengan kuat di tempatnya.
Penyangga yang terbuat dari kayu ditancapkan ke tanah dan kepala diletakkan di atas paku. Kepala itu dibiarkan membusuk tertiup angin. Kadang-kadang kepala dibungkus dengan kain - biasanya dengan bungkus panah jika itu kepala orang penting.
Kepala musuh adalah bukti bahwa tugas seorang samurai di Kekaisaran Jepang sudah selesai. Setelah pertempuran, kepala-kepala dikumpulkan dan dipersembahkan kepada daimyo. Mereka menikmati upacara santai melihat kepala untuk merayakan kemenangannya.
Kepala dicuci bersih dan rambut disisir dan gigi dihitamkan, yang merupakan tanda bangsawan. Setiap kepala kemudian diletakkan di atas dudukan kayu kecil dan diberi label dengan nama korban dan pembunuhnya.
Sistem penghargaan berbasis kepala kemudian dieksploitasi. Beberapa samurai akan mengatakan bahwa kepala seorang prajurit rendahan adalah panglima yang hebat dan berharap tidak ada yang tahu bedanya.
Setelah benar-benar mengambil kepala yang berharga, beberapa akan meninggalkan pertempuran dengan uang yang sudah mereka hasilkan. Keadaan menjadi sangat buruk sehingga daimyo kadang-kadang melarang perburuan kepala. Tujuannya agar anak buah mereka akan fokus pada kemenangan alih-alih mendapatkan bayaran.
Oleh budaya populer, samurai digambarkan sebagai prajurit setia dan mulia di Kekaisaran Jepang. Faktanya, beberapa tindakan mereka dianggap melanggar hukum di masa lalu oleh masyarakat Jepang.