Menguarnya Aroma Kopi di antara Tengik Getah Karet Desa Prangat Baru

By Utomo Priyambodo, Jumat, 11 Agustus 2023 | 21:57 WIB
Rindoni (55), Ketua Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru, sedang menyangrai biji kopi liberika hasil panen di Desa Prangat Baru. (Josua Marunduh)

Nationalgeographic.co.id—Wuek!” seru seorang pengunjung saat mendekatkan hidungnya ke getah karet. Getah itu menggumpal di salah satu sisi batang pohon karet di Desa Prangat Baru, Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara. Ada bekas irisan panjang pada kulit pohon karet itu. Tanda bekas disadap. 

Sebelumnya Jarum Mulyanto (40), seorang petani di desa itu, mempersilakan si pengunjung mencium sendiri aroma getah karet tersebut. Jarum telah menyebut getah karet itu berbau tak sedap seperti kotoran. “Baunya kayak tahi,” kata Jarum.  

Ternyata benar, batin si pengunjung setelah mencium getah itu dan mengekspresikan rasa mualnya. Baunya tengik. Seperti limbah pabrik tahu.

“Kalau orang nggak biasa, bisa muntah,” ujar Jarum.

Kesan tengik getah karet itu baru hilang dari kepala si pengunjung tatkala Rindoni (55) menyangrai biji kopi liberika. Aroma biji kopi panas itu menguar ke serabut-serabut saraf pembau di rongga hidung si pengunjung.

Si pengunjung mendatangi tempat penyangraian itu karena tertarik dengan asap yang mengepul ke atas lokasi. Rindoni menyalakan kayu bakar untuk penyangraian itu di sebuah tanah lapang. Tak jauh dari kali kecil berjembatan kayu di belakang rumahnya di Desa Prangat Baru.

Hasilnya adalah biji kopi yang harum. Aromanya gurih bercampur pahit.

Biji kopi yang telah disangrai itu bisa dimakan langsung setelah kulit arinya dikupas. Rasanya seperti kacang nan gurih sekaligus pahit. Namun, tentu lebih jamak menikmati biji kopi ini dalam wujud secangkir air kopi hangat.

Rasa kopi itu unik dan enak, kata beberapa orang yang telah meminumnya. Apalagi kopi luwaknya, biji kopi yang terproses secara alami oleh sistem pencernaan luwak pandan yang hidup di perkebunan Desa Prangat Baru.

Bermacam biji kopi liberika proses yang dihasilkan dari Desa Prangat Baru, Kalimantan Timur. Mulai dari kopi luwak, natural, red honey, hingga full wash. (Josua Marunduh)

Produk baru alam itulah yang kini bisa ditawarkan oleh warga Desa Prangat Baru. Kopi liberika dengan cita rasa baru, hasil panen dari pohon-pohon kopi yang tumbuh di tanah dataran rendah desa itu.

Di desa tersebut pohon-pohon kopi liberika—yang asal-muasalnya dari Liberia, Afrika Barat—mampu tumbuh di tanah kering yang cuma berketinggian sekitar 29 meter di atas permukaan laut. Pohon-pohon kopi itu mampu tumbuh di antara pohon-pohon karet tua.

Rindoni dan Jarum adalah kakak beradik yang sudah lama menjadi petani karet di Desa Prangat Baru. Kini, mereka juga menjelma petani kopi di desa transmigran di Kalimantan Timur itu.

Kini, desa mereka perlahan mulai mereka sulap untuk jadi tempat wisata kopi dengan tajuk Kopi Kampung Luwak Desa Prangat Baru (Kapak Prabu). Mereka juga telah membentuk Kelompok Tani (Poktan) Kapak Prabu. Rindoni didaulat menjadi ketuanya.

Kawasan Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru di Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Kalimantan Timur. Lokasi Kampung Kopi Luwak ini kerap dilewati oleh orang-orang yang bepergian darat dari Kota Samarinda menuju Kota Bontang atau Kota Sangatta. (Josua Marunduh)

Pemilihan Rindoni menjadi ketua beralasan kuat. Pasalnya, dialah yang menjadi inspirator penanaman kopi liberika secara masif di Desa Prangat Baru. Penanaman itu berawal dari perenungan Rindoni saat melihat perkebunan pohon karet yang sudah uzur.

“Karena pohon karet ini usianya sudah cukup tua, maka perlu direhab. Kami cari kira-kira tanaman tumpang sari yang bagus yang kira-kira bisa ditanam di sela-sela karet. Ternyata kami temukan kopi,” tutur Rindoni.

Rindoni mulai menanam pohon kopi liberika pada tahun 1997. Hasilnya dia olah dan jadikan konsumsi pribadi. Kadang dia bagikan juga pada kerabat dan orang lainnya. Pada 2012 dia menumbuhkan bibit kopi lagi dari pohon-pohon kopi sebelumnya.

Pada 2015, harga karet anjlok. “Langsung turun harga ke Rp4 ribu per kilo,” sebut Jarum. Padahal sebelumnya harga karet “sempat sampai Rp20 ribu” per kilogram, tambah pria transmigran asal Lamongan itu.

Persitiwa anjloknya harga karet memukul perekonomian warga Desa Prangat Baru yang mayoritas bergantung pada komoditas tersebut. Hal ini membuat Rindoni merenung kembali.

Rindoni kemudian mendapat inspirasi untuk mulai menjual kopinya meski hasil panen kopinya masih sedikit. Pada 2017 dia menanam lebih banyak lagi pohon kopi.

Makin banyak orang yang minum kopi dari kebunnya, makin banyak pujian dan testimoni positif. Makin banyak pula orang yang mendukungnya untuk memperbesar produksi kopinya.

Melihat potensi besar penjualan kopi Rindoni, beberapa warga Desa Prangat Baru kemudian juga tertarik menanam kopi secara serius di sela-sela perkebunan karet mereka. Bagaimana tidak tertarik kalau mereka tahu harga jual kopi jauh lebih tinggi daripada harga karet?

Jarum menyebut harga karet saat ini hanya Rp8 ribu per kilogram. “Dan itu proses kerjanya harus setiap hari. Setiap pagi,” ucap Jarum.

Adapun harga kopi liberika proses paling rendah mencapai 75 kali harga karet. “Full wash itu harga terendah dari kopi proses. Itu harganya Rp60 ribu per seratus gram. Berarti satu kilogramnya Rp600 ribu,” beber Rindoni.

Pada 2020, Rindoni menanam pohon kopi liberika lebih banyak lagi. Banyak warga Desa Prangat Baru juga mulai menanam kopi. Pada 13 Agustus 2020, para petani di desa itu membentuk Poktan Kapak Prabu.

Rindoni mengatakan setiap petani di kelompoknya setidaknya memiliki 2 hektare lahan perkebunan karet hibah. Dari tiap hektare lahan itu bisa ditanami 500 pohon kopi yang bisa menghasilkan biji kopi seberat 1 kilogram per pohonnya dalam sekali panen. Dalam setahun bisa ada dua kali musim panen.

“Petani tadi kan kemampuannya 2 hektare, 1.000 pohon, 2 ton kopi per tahun. Kalau kita ambil harga terendah yang Rp600 ribu per kilo, berarti Rp600 juta per satu musim,” tutur Rindoni.

Rindoni dengan optimistis menyebut potensi omzet petani kopi di Desa Prangat Baru, “Kalau satu tahun kan berarti Rp 1,2 miliar.”