Nationalgeographic.co.id—Pada paruh pertama abad ke-20, fiksi ilmiah memperkenalkan dunia pada konsep robot dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Sejarahnya dimulai dengan Tin-man "tak berperasaan" dari Wizard of Oz.
Pada tahun 1950-an, dunia memiliki generasi ilmuwan, matematikawan, dan filsuf yang memperkenalkan konsep kecerdasan buatan (AI) yang berasimilasi secara budaya dalam pikiran mereka.
Salah satu tokoh ilmuwan tersebut adalah Alan Turing, seorang polimatik muda Inggris yang mengeksplorasi kemungkinan matematis dari kecerdasan buatan. Turing memperkenalkan konsepsi kecerdasan buatan yang dapat mempermudah manusia.
Ia memperkenalkan konsep "agar manusia memanfaatkan teknologi informasi dan akal mereka untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan," tulis Rockwell Anyoha kepada portal berita ilmiah Harvard University.
Ia menulisnya dalam sebuah artikel berjudul "The History of Artificial Intelligence" yang diterbitkan pada 28 Agustus 2017. Turing memperkenalkan konsep AI dalam makalahnya di tahun 1950, berjudul "Computing Machinery and Intelligence".
Tulisan ilmiah dalam makalahnya "membahas cara membuat mesin cerdas dan cara menguji kecerdasannya," imbuh Rockwell. Gagasan dan konsepnya luar biasa, sempat menggemparkan dunia akademis kala itu.
Nahas, Turing berhenti dengan gagasannya yang cemerlang. Ia tidak sepenuhnya mewujudkan konsep gemilangnya menjadi kenyataan. Lantas, apa yang membuat Alan Turing berhenti untuk meneruskan gagasannya?
Pertama, komputer perlu melakukan perubahan mendasar. Sebelum tahun 1949, komputer tidak memiliki prasyarat utama untuk kecerdasan: mereka tidak dapat menyimpan perintah, hanya menjalankannya.
"Dengan kata lain, komputer dapat diberitahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak dapat mengingat apa yang dilakukannya," terusnya. Kesukaran ini menjadi kendala pertama yang menggugurkan kesempatan Turing mewujudkan konsepnya.
Kedua, perangkat komputasi sangat mahal. Pada awal tahun 1950-an, biaya sewa komputer mencapai $200.000 per bulan. Hanya universitas bergengsi dan perusahaan berbasis teknologi bonafit yang mampu memberikan fasilitas memadai untuk mewujudkan gagasan ini.
"Bukti konsep serta advokasi dari orang-orang terkemuka diperlukan untuk meyakinkan [Turing] sebagai sumber pendanaan bahwa kecerdasan buatan berbasis mesin layak untuk dilakukan [diwujudkan]," terusnya.
Lima tahun kemudian, pembuktian konsep dari Alan Turing kembali diinisialisasi melalui Allen Newell, Cliff Shaw, dan Herbert Simon, dengan meluncurkan proyek The Logic Theorist. Mereka mulai menggurat perkembangan sejarah kecerdasan buatan.
The Logic Theorist adalah program yang dirancang untuk meniru keterampilan pemecahan masalah manusia. Program ini didanai oleh Research and Development (RAND) Corporation.
Program ini dianggap oleh banyak orang sebagai program kecerdasan buatan pertama dan dipresentasikan di Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence (DSRPAI) yang diselenggarakan oleh John McCarthy dan Marvin Minsky pada tahun 1956.
Dalam konferensi bersejarah ini, McCarthy, membayangkan upaya kolaboratif dalam skala besar, mempertemukan para peneliti terkemuka dari berbagai bidang untuk diskusi terbuka mengenai kecerdasan buatan, istilah yang ia ciptakan pada saat itu.
Sayangnya, konferensi tersebut tidak memenuhi harapan McCarthy. Para peneliti hanya datang dan pergi sesuka hati, serta terjadi kegagalan dalam menyepakati metode standar di lapangan.
Namun, dalam perkembangan sejarah kecerdasan buatan, konferensi ini berhasil menjadi katalisator penelitian AI selama dua puluh tahun ke depan. Semua telah tergairahkan untuk mewujudkan konsep kecerdasan buatan.
Hingga dari tahun 1957 hingga 1974, AI akhirnya mulai berkembang pesat. Komputer dapat menyimpan lebih banyak informasi dan menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih mudah diakses.
Demonstrasi awal seperti General Problem Solver karya Newell dan Simon serta ELIZA karya Joseph Weizenbaum menunjukkan harapan terhadap tujuan pemecahan masalah dan interpretasi bahasa lisan. Satu terobosan penting dalam sejarah kecerdasan buatan.
Keberhasilan ini, serta dukungan dari para peneliti terkemuka (yaitu peserta DSRPAI) meyakinkan lembaga pemerintah seperti Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) menjadi penyokong dana penelitian AI di beberapa institusi.
Alhasil, pemerintah secara khusus tertarik pada mesin yang dapat menyalin dan menerjemahkan bahasa lisan serta pemrosesan data dengan throughput tinggi. Optimisme tinggi dan ekspektasi pun menjadi semakin tinggi.
Pada tahun 1970, seorang peneliti kelas kakap, Marvin Minsky mengatakan kepada Life Magazine, "dalam tiga hingga delapan tahun kita akan memiliki mesin dengan kecerdasan umum seperti manusia rata-rata."
Pada tahun 1980-an, AI dihidupkan kembali oleh dua sumber: perluasan perangkat algoritmik, dan peningkatan dana. John Hopfield dan David Rumelhart mempopulerkan teknik “pembelajaran mendalam” yang memungkinkan komputer belajar menggunakan pengalaman.
Di sisi lain Edward Feigenbaum memperkenalkan sistem pakar yang meniru proses pengambilan keputusan seorang pakar manusia. Program ini akan bertanya kepada seorang ahli di suatu bidang bagaimana merespons situasi tertentu.
Lain di Amerika Serikat, di Asia penelitian AI telah mewarnai sejarah kecerdasan buatan. "Pemerintah Jepang mendanai banyak sistem pakar dan upaya terkait AI lainnya sebagai bagian dari Proyek Komputer Generasi Kelima mereka (FGCP)," lanjut Rockwell.
Dari tahun 1982-1990, mereka menginvestasikan $400 juta dolar dengan tujuan merevolusi pemrosesan komputer, menerapkan pemrograman logika, dan meningkatkan kecerdasan buatan.
Kita sekarang hidup di zaman “big data”, suatu zaman saat kita mempunyai kapasitas untuk mengumpulkan informasi dalam jumlah besar yang terlalu rumit untuk diproses oleh manusia.
Penerapan kecerdasan buatan dalam hal ini telah membuahkan hasil di beberapa industri seperti teknologi, perbankan, pemasaran, dan hiburan. Setidaknya, kita akan selalu hidup berdampingan dengan kecanggihan AI berkat para perintis sejarah kecerdasan buatan.