Nationalgeographic.co.id – Seppuku atau hara-kiri adalah ritual bunuh diri yang menjadi populer dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Ritual ini dimulai pada abad ke-12 selama periode Kamakura (1185-1333), ketika kelas samurai menjadi terkenal. Lalu, bagaimana seppuku berpengaruh terhadap budaya modern Jepang?
Seppuku berasal dari istilah Jepang yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "memotong perut" atau "membuang usus". Ritual kompleks ini sering digunakan dalam kasus kekalahan, kehilangan kehormatan, atau sebagai hukuman mati.
Untuk sepenuhnya memahami pentingnya seppuku, seseorang harus menyelidiki asal-usulnya, perkembangannya, dan tanda tak terhapuskan yang ditinggalkannya di lanskap budaya Jepang.
Bentuk bunuh diri yang diritualkan ini pada awalnya merupakan sarana bagi samurai Kekaisaran Jepang untuk memulihkan kehormatan mereka setelah melakukan pelanggaran atau gagal dalam tugasnya.
Seppuku juga digunakan sebagai sarana untuk menghindari penangkapan oleh pasukan musuh, memastikan kehormatan seseorang tetap utuh bahkan dalam kekalahan.
Dalam situasi yang ideal, seppuku dilakukan dengan ketelitian dan perhatian yang sama seperti upacara minum teh, mengikuti beberapa langkah konkret dan dengan simbolisme yang telah ditetapkan sebelumnya yang sangat penting.
Pelaku bunuh diri, yang tidak selalu harus menjadi tahanan, mengenakan kimono putih dan duduk dalam posisi tradisional di depan orang yang berwenang. Biasanya tuannya atau siapa pun yang menjatuhkan hukuman mati.
Tindakan seppuku melibatkan seorang samurai Kekaisaran Jepang yang membelah perutnya, biasanya dari kiri ke kanan, dengan pisau pendek yang dikenal sebagai tantō.
Dalam beberapa kasus, samurai kemudian akan membuat sayatan ke atas, yang menyebabkan kematian yang cepat dan menyakitkan.
Seorang teman terpercaya atau sesama samurai, yang dikenal sebagai kaishakunin, sering berdiri untuk memberikan pemenggalan cepat, meringankan penderitaan individu dan memastikan kematian yang bermartabat.
Biasanya, orang yang dipercaya oleh pelaku bunuh diri akan berdiri di belakangnya dan memenggalnya dengan satu pukulan katana untuk mengakhiri penderitaannya. Hal ini juga dianggap sebagai tindakan belas kasihan, hadiah terakhir atas keberanian yang ditunjukkan dalam melakukan seppuku.
Di sebelah kirinya, dia akan minum sake terakhir (minuman beralkohol khas Jepang), diizinkan untuk membuat permohonan terakhir atau menulis puisi perpisahan, dan diberi senjata untuk mengakhiri hidupnya sendiri.