Di Jepang feodal, ada banyak alasan untuk melakukan seppuku dan sering kali ritual yang dijelaskan sebelumnya tidak terjadi. Moral dan kode etik ketat yang dikenakan pada samurai pada waktu itu berarti bahwa setiap kesalahan atau penghinaan terhadap kehormatan mereka dianggap sangat serius.
Karena rasa sakit yang terlibat dan fakta bahwa pihak yang dirugikanlah yang harus bunuh diri, seppuku dianggap sebagai tindakan berani yang mampu mengembalikan kehormatan yang hilang.
Meskipun dapat dijatuhkan sebagai hukuman mati, bahkan dalam kasus-kasus ini dipandang sebagai tindakan belas kasihan dan rasa hormat terhadap narapidana karena memungkinkan dia untuk memulihkan kehormatannya.
Ritual bunuh diri dapat dilakukan sebagai hukuman atas kejahatan yang dilakukan. Hal ini untuk membebaskan keluarga dari aib, setelah kalah dalam pertempuran dan untuk menghindari jatuh ke tangan musuh, sebagai protes terhadap tuduhan palsu atau lebih baik mati.
Seppuku dilarang pada tahun 1868 setelah terjadi Restorasi Meiji. Sementara seppuku tidak lagi dipraktikkan di Jepang, konsep kehormatan dan penebusan dosa tetap menjadi aspek penting dalam budaya Jepang.
Pengaruh abadi ritual tersebut dapat dilihat dalam berbagai bentuk seni, sastra, dan sinema. Hal ini tetap menggambarkan seppuku sebagai simbol pengorbanan, kesetiaan, dan penebusan.
Seppuku, sebagai praktik sejarah Kekaisaran Jepang memberikan wawasan tentang nilai dan kepercayaan yang telah membentuk masyarakat Jepang selama berabad-abad.
Sementara tindakan itu sendiri dapat dilihat sebagai ekstrem atau mengerikan, penting untuk mengenali signifikansi budaya dan prinsip-prinsip yang mendasari kehormatan, kesetiaan, dan pendamaian yang diwakilinya.
Memahami sejarah Kekaisaran Jepang dan motivasi di balik seppuku memungkinkan apresiasi yang lebih dalam terhadap warisan budaya Jepang yang kaya dan evolusi nilai-nilai sosialnya.