Nationalgeographic.co.id—Sepanjang sejarah manusia, banyak pembunuhan, perang, wabah penyakit, dan peristiwa fatal lainnya. Beberapa momen paling terkenal, atau bahkan ikonik, sepanjang sejarah terjadi pada akhir hidup seseorang. Contohnya pengkhianatan Caesar di tangan Senat Romawi atau sumpah Hannibal di ranjang kematian ayahnya.
Tidak sedikit dari tokoh sejarah mengalami kematian yang tragis dan menyedihkan. Di samping itu, ada juga tokoh dunia mengalami kematian yang memalukan dan terus dikenang sepanjang sejarah manusia.
Siapa saja yang mengalami kematian memalukan dan ironis itu?
Mithridates VI
Mithridates VI adalah raja kerajaan Pontus Yunani-Persia antara 120 – 63 Sebelum Masehi. “Ia adalah satu raja Helenistik yang berperang melawan Romawi,” tulis Benjamin Davies di laman The Collector.
Pemerintahannya dimulai dengan pembunuhan mendadak ayahnya, Mithridates V. Permaisuri Mithridates V memerintah sebagai wali atas Mithridates muda serta saudara laki-lakinya, Mithridates Chrestus.
Setelah beberapa persekongkolan yang dilakukan ratu untuk melawan raja muda, Mithridates melarikan diri dari Pontus dan bersembunyi.
Di sinilah ironi di balik kematiannya mulai terbentuk dan terus dikenang sepanjang sejarah manusia. Setelah mengetahui bahwa ayahnya meninggal karena diracuni oleh sang ratu, ia pun mulai membangun kekebalan terhadap racun.
Menurut Appian dan Cassius Dio, Mithridates meminum racun dalam dosis kecil untuk membangun kekebalan terhadap racun. “Tindakan pencegahan ini dilakukan oleh raja yang berhati-hati dalam situasi politik yang berbahaya,” Davies menambahkan.
Setelah ia kembali menduduki takhta pada 113 Sebelum Masehi, Mithridates memenjarakan ibu dan saudara laki-lakinya. Ia pun memperluas kerajaan dengan menyerang wilayah Laut Hitam. Setelah ini, dia berbelok ke selatan dan bersekutu dengan Raja Bitinia untuk membagi kerajaan Celtic di Galatia. Namun, raja Bithynian juga bersekutu dengan Republik Romawi dan menentang kekuatan Pontus.
Perang panjang pun terjadi, dengan Romawi keluar sebagai pemenangnya.
Di akhir perang ini, Mithridates diasingkan untuk kedua kalinya. Dia melarikan diri ke Krimea modern. Dari sana, dia merencanakan perang lagi melawan Republik Romawi. Rencananya adalah untuk mengumpulkan pasukan dari wilayah di Laut Hitam. Rencananya, Mithridates akan berbaris dari Ukraina ke Italia dan menentang Romawi.
Namun ini tidak terjadi. Metode pemerintahannya yang keras menyebabkan pemberontakan di antara bangsawan kerajaannya. Akibatnya, Mithridates pun berusaha bunuh diri dengan racun. Namun setelah bertahun-tahun membangun kekebalan tubuh dengan racun, racun yang ditenggaknya tidak mampu menewaskan sang raja.
Setelah selamat dari upaya ini, Mithridates meminta pengawalnya, Bituitus, untuk menggunakan pedangnya untuk membunuhnya.
Mithridates mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk membuat dirinya kebal terhadap racun. Pada akhirnya, ia mencoba menggunakan racun untuk mengakhiri hidupnya. Meski akhirnya ia mati di tangan pengawalnya, kematiannya dianggap sebagai salah satu kematian yang paling memalukan dalam sejarah manusia.
Chrysippus
Chrysippus adalah salah satu filsuf paling berpengaruh pada periode Helenistik. Pengaruhnya terhadap stoikisme menyebabkan idiom kuno bahwa “tanpa Chrysippus, stoikisme tidak akan pernah ada.”
Chrysippus lahir di kota Soli, yang sekarang menjadi Mezitli di Turki modern, pada tahun 279 Sebelum Masehi. Di masa mudanya, dia berlatih sebagai pelari jarak jauh.
Setelah kekayaan keluarganya direbut oleh seorang raja Helenistik, dia pindah ke Athena dan mulai belajar filsafat. Di Athena, Chrysippus bergabung dengan School of Stoicism di bawah bimbingan Cleanthes.
Setelah kematian gurunya pada tahun 230 Sebelum Masehi, Chrysippus menjadi pemimpin sekolah stoa. Selama masa jabatannya sebagai sarjana, Chrysippus diyakini telah menulis lebih dari 700 karya. Sayangnya, sangat sedikit yang bertahan.
Ia dipandang sebagai salah satu pelopor filsafat stoikisme. Namun, untuk pria yang begitu bermartabat, kematiannya ternyata cukup unik dan memalukan.
Diogenes Laertius menyatakan bahwa selama Olimpiade ke-143, Chrysippus meminum banyak anggur murni. Saat itu, ia menemukan keledai yang sedang makan buah ara. Rupanya, itu adalah hal paling lucu yang pernah dilihat oleh filsuf tua. Ia pun mulai tertawa tak terkendali dan dilaporkan berteriak, “Sekarang beri keledai anggur untuk mencuci buah ara!”
Sayangnya, itu menjadi kata-kata terakhirnya. Diogenes Laertius, penulis biografi dari Yunani kuno, berkata “Terlalu banyak tertawa, dia mati.”
Sungguh tragis. Seorang pria yang memberi begitu banyak pada dunia filsafat akan dikenang sebagai orang yang meninggal karena menertawakan leluconnya.
Berbeda dengan Mithridates, Kaisar Tiongkok Qin Shi Huang menggunakan racun untuk menjadi abadi.
Ia adalah pendiri Dinasti Qin, dinasti pertama yang memerintah Kekaisaran Tiongkok yang bersatu.
Setelah penaklukannya dan penyatuan Tiongkok, Qin Shi Huang memulai konsolidasi kekuasaan dan warisannya. Yang paling terkenal adalah Tembok Besar Tiongkok dan Tentara Terakota. Namun selain itu, ia juga dikenal sebagai pencari ramuan keabadian.
Seiring bertambahnya usia kaisar, dia menjadi terobsesi untuk mendapatkan keabadian. Beragam cara dilakukan untuk bisa hidup abadi.
Pencarian ramuan itu semakin intensif. Kemudian, sang kaisar menemukan resep yang mengandung merkuri dalam jumlah tinggi yang sangat beracun. Ia pun meninggal tidak lama setelah mengonsumsi ramuan itu.
Dalam sejarah manusia, kematiannya tragis sekaligus memalukan. Upayanya agar bisa hidup abadi justru menuntunnya pada kematian.
Pyrrhus dari Epirus
Pyrrhus memerintah Kerajaan Epirus antara 302 – 272 Sebelum Masehi. Ia berhasil memimpin dan memenangkan perang melawan Republik Romawi. Meski menang, Pyrrhus dan pasukannya pun babak belur.
Setelah mundur dari Italia pada 275 Sebelum Masehi, kehilangan banyak pasukan dan harta untuk melawan Romawi. Oleh karena itu, Pyrrhus membuat keputusan untuk mulai menyerang tetangganya Yunani-Makedonia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sumber daya yang hilang akibat perang sebelumnya.
Awalnya, serangan militer ini sukses. Pyrrhus mengalahkan Raja Makedonia, Antigonus Gonatas, di Pertempuran Aous. Ia kemudian menaklukkan sebagian besar kerajaannya.
Namun, serangan militer tersebut berubah menjadi lebih buruk dalam upayanya untuk menaklukkan Sparta. Pasukannya mendapatkan serangan balik Sparta, serta kedatangan bala bantuan Sparta yang tiba-tiba. Semua itu menyebabkan kematian rekan raja dan banyak pasukannya, dan juga anaknya, Ptolemeus.
Situasi Pyrrhus akan menjadi lebih buruk ketika dia diminta untuk campur tangan dalam perselisihan sipil di Kota Argos. Secara alami, Pyrrhus menafsirkan ini sebagai validasi yang dia butuhkan untuk mengepung dan menyerang kota.
Ia dan pasukannya diizinkan masuk ke kota oleh Aristeas, politisi Argive yang mendukung Pyrrhus. Pyrrhus menggunakan tentara bayaran Celtic untuk mengamankan pasar dan membangun pijakan di kota. Sadar akan kehadiran Pyrrrhus, garnisun kota mengambil posisi bertahan.
Saat fajar, Pyrrhus berusaha menarik pasukannya dari kota. Usaha yang menjadi lebih sulit ketika mayat salah satu gajahnya memblokir gerbang. Gajah lainnya panik dan mulai mengamuk di seluruh kota.
Pertempuran berikutnya sangat brutal dan Pyrrhus ditikam oleh seorang prajurit muda Argive. Beruntung bagi Pyrrhus, tikaman itu tidak fatal. Ia pun berbalik untuk membunuh bocah itu. Ironisnya, ibu prajurit muda itu sedang mengamati dari atap terdekat.
Menurut Plutarch, “Wanita itu dipenuhi amarah dan ketakutan. Ia mengambil batu dengan kedua tangannya dia melemparkannya ke Pyrrhus."
Lemparan itu mengenai pangkal lehernya. Namun tidak diketahui apakah lemparan batu itulah yang membunuh Pyrrhus. Kepalanya pun akhirnya dipenggal oleh tentara Makedonia. Seorang raja yang begitu hebat berperang harus tewas karena sepotong batu yang dilempar oleh wanita.