Nationalgeographic.co.id—Indonesia adalah negara dengan lebih dari 17.000 pulau, ada banyak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya dengan laut. Mereka nelayan pemberani yang akan selalu berhadapan dengan kondisi berbahaya di laut setiap hari.
Sekarang sebuah proyek informasi laut dikembangkan untuk meminimalkan risiko yang sering menghantui masyarakat pesisir. Proyek tersebut di bawah program Global Ocean Observing System (GOOS) dan didukung oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Nelayan kemudian diajari untuk menggunakan informasi laut. Sehingga masyarakat pesisir dapat melindungi diri mereka sendiri dan bahkan menyelamatkan nyawa di komunitas mereka.
Melansir laman Unesco, pada tanggal 2 April 2021. Seorang nelayan bernama Muhammad Mansur Dokeng bersiap melaut bersama rekan-rekannya di desa Oesapa, Indonesia.
Kelompok itu sudah berangkat ke tempat pemancingan mereka, ketika tiba-tiba Pak Dokeng melihat beberapa tanda halus namun mengkhawatirkan.
Anginnya kencang, dan nelayan bisa merasakan arus laut yang bergerak tidak biasa di bawah permukaan perahu. “Alam tampak berbeda,” katanya.
Prihatin dengan kondisi yang tidak biasa ini, para nelayan kembali ke pantai lebih awal. Begitu sampai di darat, Pak Dokeng mengambil ponsel dan login ke aplikasi cuaca yang disediakan oleh BMKG.
Apa yang dilihatnya adalah siklon tropis besar bergerak menuju desa. Pak Dokeng langsung menyebarkan pesan tentang potensi bahaya yang akan datang ke nelayan lain dan seluruh desa Oesapa.
Para nelayan membatalkan perjalanan mereka, mengamankan perahu dan peralatan mereka, dan penduduk desa dievakuasi dari rumah masyarakat pesisir mereka untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi dan berlindung.
Ramalan dan nelayan itu benar, dan keesokan harinya topan tropis Seroja yang parah menghantam pantai, menewaskan 272 orang dan menyebabkan kerusakan hampir 500 juta dollar Amerika.
Namun penduduk desa Oesapa tetap aman, berkat tindakan tepat waktu yang diambil oleh Mansur Dokeng. Situasinya bisa berakhir jauh lebih buruk jika bukan karena pelatihan yang diperoleh nelayan dari Indonesian Fisherman Weather Field School.
Fisherman Weather Field School atau Sekolah Lapangan Cuaca Nelayan Indonesia adalah proyek yang mengembangkan informasi laut untuk nelayan Indonesia.
Proyek itu mengajarkan cara menerapkan, menghargai dan menilai informasi laut dengan tujuan untuk menjembatani kesenjangan antara data laut dan pengguna di komunitas nelayan lokal.
Informasi laut dan proyek itu dapat meningkatkan literasi laut. Sehingga memungkinkan nelayan menggunakan informasi laut dan cuaca dalam aktivitas sehari-hari mereka.
“Peristiwa cuaca ekstrem semakin meningkat. Di Indonesia, banyak kegiatan yang dilakukan di wilayah laut dan pesisir Indonesia," kata Nelly Florida Riama, Direktur Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG.
"Penting bagi nelayan untuk menerapkan pengetahuan tentang laut dan pola cuaca ketika mereka pergi bekerja.”
Sekolah Lapangan Cuaca Nelayan Indonesia bekerja untuk memastikan akses mudah para nelayan ke prakiraan cuaca. Dan yang paling penting, mengajarkan cara menafsirkan dan menerapkan informasi laut untuk meningkatkan keselamatan mereka.
Pendidik proyek telah mengunjungi 159 komunitas masyarakat pesisir dan lebih dari 10.000 nelayan, hingga penduduk setempat lainnya yang melakukan aktivitas di laut.
Mereka memberikan kelas praktis tentang analisis dan penggunaan data informasi laut dan cuaca.
“Selama kelas kami, kami juga mendidik orang-orang tentang pentingnya instrumen yang digunakan untuk mendapatkan pengamatan ini,” kata Dava Amrina, Manajer Proyek Sekolah Lapangan Cuaca Nelayan atau Fisherman Weather Field School.
“Misalnya, drifter - instrumen yang mengapung di permukaan laut untuk mengumpulkan pengamatan - cukup sering tersangkut jaring ikan, dan sebelumnya sering kali berarti kehilangan data yang berharga."
"Sekarang alumni kami tahu betapa pentingnya untuk menginformasikan BMKG tentang pertemuan tersebut dan mengembalikan instrumen ini.”
Selain itu, sebagai pengguna akhir data pengamatan laut, para nelayan yang berpartisipasi dalam proyek memainkan peran penting dalam menilai data ini dan memberikan umpan balik.
“Ketika mereka kembali ke pantai, para nelayan dapat terhubung ke internet dan melakukan pengamatan keadaan laut sendiri seperti kecepatan angin atau tinggi gelombang,” kata Dava Amrina.
"Pengamatan ini kemudian digunakan oleh BMKG untuk memverifikasi prakiraan mereka dan selanjutnya menyempurnakan model prediksi yang digunakan untuk membuatnya."
Berbagi pengalaman dapat memperluas dampak
Memiliki informasi laut dan kemampuan untuk menerapkannya dapat membantu mengurangi situasi berisiko dan bahkan menyelamatkan nyawa, seperti yang ditunjukkan oleh Mansur Dokeng, alumni Fisherman Weather Field School.
“Sekarang, kami tidak hanya mencoba memahami laut berdasarkan insting kami, tetapi dari informasi yang diberikan,” kata Dokeng, seraya menambahkan ia berharap lebih banyak lagi nelayan yang dapat mengikuti program tersebut.
Melalui program ini, GOOS dan BMKG bertujuan untuk mentransfer model Fisherman Weather Field School di Indonesia ke masyarakat pesisir lainnya di seluruh dunia.
“Kami ingin berbagi pengalaman, agar tidak hanya nelayan Indonesia yang mendapat manfaat dari informasi laut,” ujar Nelly Florida Riama.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.