Sepotong Senja di Danau Semayang yang Selalu Terkenang dan Terbayang

By Utomo Priyambodo, Jumat, 18 Agustus 2023 | 18:00 WIB
Lima orang pemudi atau remaja putri dari Desa Pela sedang menampilkan tari jepen di Tanjung Tamanoh pada suatu senja yang indah.] (Josua Marunduh)

Nationalgeographic.co.id—"Saat matahari sedang terbenam, tinggalkan apa pun yang sedang Anda lakukan dan saksikanlah." Begitulah petuah Mehmet Murat Ildan, seorang dramawan, novelis, dan pemikir besar asal Turki.

Petuah itu sebaiknya Anda turuti. Ikuti. Lakukan. Apalagi jika Anda sedang berada di Tanjung Tamanoh pada suatu senja yang merekah. Senja pada hari Selasa terakhir di bulan Juli 2023.

Nikmatilah betul momen senja itu sebelum Anda kembali ke Jakarta. Sebelum Anda berkubang lagi dengan kemacetan jalan yang disesaki polusi.

Petang itu, misalkan Anda sedang mengunjungi tanjung tersebut, mungkin Anda sedang berdiri atau duduk santai di tanah berumput. Persis di hadapan Anda, ada bentangan air Danau Semayang. Danau terbesar kedua di Kalimatan Timur itu punya luas sekitar 13.000 hektare dan kedalaman circa 3,5 meter.

Di Tanjung Tamanoh saat itu, Anda baru saja menyaksikan penampilan tari jepen. Tarian khas suku Kutai yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam.

Lima pemudi dari Desa Pela memeragakan tarian tersebut. Di sisi lain, lima pemuda dari desa yang sama sedang membunyikan nada-nada musik khas Kutai sebagai pengiring tarian. Gerakan tari jepen yang ditampilkan bercerita tentang nelayan yang sedang mencari ikan di danau dengan penuh suka cita dan menggambarkan kebahagiaan nelayan saat panen ikan.

Kegiatan perikanan yang menjadi sumber kehidupan para nelayan di sekitar Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. (Josua Marunduh)

Pagelaran tari jepen kemudian selesai. Lima pemudi berhenti bergerak gemulai. Lima pemuda setop memetik dan menabuh alat-alat musik mereka.  

Petang itu matahari mulai turun perlahan. Hamburan sinar mentari sore, yang posisinya semakin dekat cakrawala, sebagian besar hanya menyisakan warna kuning, oranye, dan merah untuk mata Anda. Semburat jingga secara dominan menghiasi langit senja itu. Anda terperangah oleh pesonanya.

Kini, sistem pelantang suara yang dibawa dari Desa Pela memutarkan lagu “Jingga di Semayang”. Lagu itu mengalun merdu, mengiringi gerak sang surya yang semakin turun ke ufuk barat. Bintang tata surya kita itu penaka lelah berdiri belasan jam di atas Bumi Etam.

Betapa padu. Betapa syahdu. Anda menikmati pemandangan senja di Danau Semayang itu dengan diiringi alunan lagu “Jingga di Semayang”. Saat alunan lagu memasuki bagian reff, Anda mulai menggerak-gerakkan kaki Anda mengikuti iramanya. 

Jingga di Semayang

Melarutkan menggetarkan

Jingga di Semayang

Menghadirkan menghangatkan

Itu adalah senja terakhir Anda di Kutai Kartanegara dalam perjalanan Juli lalu. Besoknya Anda harus angkat kaki ke Balikpapan, bersiap pulang kembali ke Jakarta. Kapan Anda akan kembali menginap ke Desa Pela, menyusuri Sungai Pela, menyambangi Danau Semayang, melihat pesut mahakam dan menikmati berbagai wujud lain keindahan alam?

Bilakah kau akan kembali

Merajut mimpi yang pasti

Lihatlah pesut menari

Menari nyanyian hati

Tulisan penanda keberadaan Desa Wisata Pela. Desa ini telah menyediakan rumah singgah, museum perikanan, kafe panggung, sarana untuk olahraga air seperti stand up paddle dan banana boat, serta kapal untuk susur Sungai Pela dan Danau Semayang yang punya panorama istimewa saat senja. (Josua Marunduh)

Matahari semakin mendekati garis cakrawala dan akhirnya menghilang ke balik garis cakrawala. Menghilang di balik lanskap daratan di seberang Danau Semayang.

Anda lalu beringsut bersama rombongan menaiki perahu. Meninggalkan Tanjung Tamanoh dan kembali ke Desa Pela untuk bermalam di sana. Malam terakhir sebelum ke Balikpapan.

Kapan Anda akan kembali ke desa wisata itu? Diam-diam Anda bertekad akan kembali ke Desa Pela suatu hari nanti. Menikmati senja Danau Semayang dengan mengajak orang-orang tersayang.

Anda sadar Anda bukanlah Sukab, sosok rekaan dalam cerita fiksi Seno Gumira Ajidarma. Jika Anda Sukab, Anda mungkin akan memotong senja di Semayang itu untuk dijadikan kartu pos. Lalu mengirimkannya kepada Alina, kekasih Anda.

Cerita Sukab itu fiktif, sedangkan keindahan senja di Danau Semayang nyata. Jadi, tak heran bila Anda tak kuasa untuk terus terkenang dan terbayang oleh keindahannya. Dan seberapa pun sering orang memotretnya, senja di Semayang selalu lebih indah jika dilihat secara langsung. Keindahan itulah yang kini ditawarkan oleh Kelompok Sadar Wisata Bekayuh Baumbai Bebudaya (Pokdarwis B3) di Desa Pela.

Selain panorama senja di Semayang, andalan lain ekowisata di Desa Pela adalah keberadaan pesut mahakam. Fauna ini merupakan satwa langka endemik yang hidup di Sungai Mahakam dan badan-badan air yang terhubung dengannya, termasuk Sungai Pela dan Danau Semayang. Lumba-lumba air tawar ini kini berstatus sebagai hewan terancam punah dan dilindungi oleh undang-undang.

Pokdarwis B3 yang menawarkan ekowisata pesut tersebut dibentuk sejak tahun 2017. Sejak 2017, mereka mulai giat mengembangkan potensi ekowisata Desa Pela. Desa ini merupakan perkampungan nelayan didominasi oleh rumah dan jembatan kayu. Sebab, wilayah desa ini dikelilingi oleh sungai, rawa, dan danau.

Area permukiman Desa Pela terlihat jelas di bagian kiri Sungai Pela dalam foto ini. Di desa yang berbentuk memanjang ini terdapat 125 rumah panggung yang dihuni oleh sekitar 600 orang serta sebuah jembatan kayu ulin sepanjang 5 kilometer yang di kiri-kanannya ditumbuhi oleh pohon kademba dan jambu biji. (Josua Marunduh)

Pada 16 juni 2018, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara secara resmi menetapkan Desa Pela sebagai desa wisata. Sejak saat itu, pengembangan ekowisata di desa ini semakin gencar dilakukan. Pada 2022, Desa Pela masuk dalam peringkat 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

Kepala Desa Pela, Supyan Noor, mengatakan bahwa generasi muda di Desa Pela punya perhatian besar terhadap upaya pelestarian pesut mahakam. “Para generasi muda desa mendesak agar pemerintahan di desa ini membuat suatu peraturan yang mengarah kepada pemeliharaan atau pelestarian pesut tersebut,” tutur Supyan.

“Dengan itu kami menerbitkan satu peraturan desa tentang pemeliharaan pesut, tentang pelarangan penggunaan alat tangkap yang bisa mengurangi ketersediaan pakan yang ada di Danau Semayang ini,” lanjut Supyan lagi. “Makanya kami membuat satu peraturan mengenai larangan alat tangkap yang dikatakan ilegal penggunaannya.”

Ketua Pokdarwis B3, Alimin, mengatakan bahwa sejak dulu warga Desa Pela sangat menghormati dan melindungi pesut mahakam. “Pesut itu teman nelayan. Ketika ada pesut, berarti ada banyak ikan di sana,” ujarnya. “Itu jadi pertanda bagi nelayan untuk mencari ikan di lokasi yang tepat.”

Supyan menambahkan bahwa selain menawarkan pesona alam, Desa Pela juga telah mempersiapkan generasi mudanya untuk melestarikan kebudayaan dan kesenian daerah. Kebudayaan dan kesenian daerah itu menurutnya sedang terancam punah karena mulai dilupakan seiring dengan pergeseran zaman.

“Kami kembali mengangkat budaya-budaya dan seni yang sudah mulai lapuk seperti tari-tarian dan juga seni budaya bela diri kuntau. Jadi kuntau ini sekarang sudah mulai bergeser oleh seni bela diri modern,” ucap Supyan. “Sekarang itu mau kami hidupkan kembali untuk mengangkat potensi dari bidang kesenian dan kebudayaan di desa wisata ini.”