Nationalgeographic.co.id—Selama hampir 100 tahun, Kekaisaran Jepang terjebak dalam perebutan kekuasaan dan pertempuran yang tiada hentinya. Periode itu dikenal dengan sebutan Periode Negara Berperang. Baru pada abad ke-16, seorang samurai dan panglima perang perkasa dan kuat menjadi pemenangnya. Ia adalah Oda Nobunaga, penguasa Provinsi Owari, yang berupaya menyatukan Kekaisaran Jepang.
Di tengah perjuangannya, Oda Nobunaga dikhianati oleh salah satu jenderalnya. Ia dikepung dan didorong untuk melakukan seppuku, ritual bunuh diri samurai.
Awal mula terbentuknya sekolah samurai di Satsuma
Jenderal Nobunaga lainnya, Toyotomi Hideyoshi, memimpin pasukannya untuk memburu dan membalaskan dendam pengkhianat Nobunaga. Tujuannya tercapai. Setelah mendapat dukungan dari pasukan Nobunaga, Hideyoshi melanjutkan upaya penyatuan Kekaisaran Jepang.
Sementara itu, di pulau selatan Kyushu, Klan Satsuma Shimadzu hampir menguasai seluruh pulau. Hideyoshi dipanggil untuk campur tangan. Pasukan samurainya mengalahkan pasukan Shimadzu, mengepung kastel mereka di Satsuma dan memaksa menyerah.
Hideyoshi selanjutnya mengarahkan pandangannya untuk menaklukkan Dinasti Ming di Kekaisaran Tiongkok. Sebagai langkah pertama untuk mencapai tujuannya, ia harus menaklukkan Korea.
Samurai dari seluruh negeri dikerahkan untuk bergabung dengannya. Di antara mereka adalah 10.000 samurai dari wilayah kekuasaan Satsuma di selatan Kyushu.
Dan disinilah kisah sekolah samurai di Satsuma yang terkenal dimulai.
Mendidik samurai muda untuk menjadi prajurit tangguh di Kekaisaran Jepang
Kehilangan figur seorang ayah, para putra samurai yang sedang bertempur pun berulah. Untuk mendidik anak-anak muda yang gaduh ini, sekolah pun didirikan.
Anak laki-laki dikirim ke sekolah lokal di Satsuma. Di sekolah itu, para samurai muda diajari untuk jujur, menjaga lidah dan tidak menggunakan bahasa kasar. “Mereka pun belajar bagaimana menjadi pribadi berani dan sopan,” tulis Diane Tincher di laman More Than Tokyo.
Sekolah samurai di Satsuma semakin berkembang
150 tahun setelah berdiri, sistem pendidikan samurai Satsuma menjadi lebih terstruktur. Setiap kota dibagi menjadi beberapa distrik yang disebut goju. Setiap goju memiliki sekolahnya sendiri untuk melatih anak-anak samurai. Pendidikan akademik dasar ditambahkan ke dalam kurikulum.
Belakangan, sekolah itu sendiri kemudian disebut goju.
Setiap goju beroperasi secara independen dengan kepemimpinan dan kode etiknya sendiri. Pendidikan dasar yang kuat merupakan bagian integral. Namun ajaran goju menempatkan penekanan menyeluruh pada kehormatan, kejujuran, dan keberanian.
Disiplin dan solidaritas kelompok ditekankan agar para siswa berfungsi sebagai kesatuan militer yang kuat di masa perang. “Loyalitas yang kuat didorong,” Tincher menambahkan lagi.
Anak laki-laki tidak diperbolehkan berbicara dengan anak laki-laki di sekolah lain. Mereka juga tidak diperbolehkan berhubungan dengan perempuan di luar keluarga mereka.
Larangan berbicara dengan anak perempuan ini sejalan dengan praktik kuno yang dijelaskan dalam pepatah lama. “Sejak usia 7 tahun, anak laki-laki dan perempuan tidak boleh berbagi tempat duduk yang sama.”
Siswa goju harus menjunjung tinggi kehormatan samurai di Kekaisaran Jepang. Mereka harus menerapkan beberapa prinsip yang penting, seperti:
- Jangan pernah menyerah pada kekalahan.
- Jangan pernah memilih seseorang yang lebih lemah.
- Jangan pernah menyentuh seorang wanita atau bahkan berbicara tentang melakukannya.
- Jangan menginginkan kekayaan. Keserakahan itu tercela.
- Tidak pernah berbohong.
Pada ulang tahun ke-7, anak laki-laki diberikan pedang pendek wakizashi dan kemudian dipersembahkan kepada pemimpin goju.
Pembagian kelas berdasarkan usia
Siswa Goju dibagi berdasarkan usia:
- ko-chigo, usia 7–10
- ose-chigo, usia 11–15
- nise, usia 15–25
- osenshi, usia 24-25.
Fitur penting dari sistem goju adalah bahwa anak laki-laki yang lebih tua bertanggung jawab untuk mengajar yang lebih muda. Karena alasan itu, semua anak laki-laki giat belajar. Pengulangan pengajaran juga semakin memantapkan pelajaran bagi anak laki-laki. Alhasil, sistem itu menghasilkan pendidikan yang kokoh.
Jadwal samurai muda di sekolah
Pada pukul 06.00, anak-anak ko-chigo dan ose-chigo akan bergegas ke goju mereka untuk memulai pelajaran. Setelah pelajaran pagi yang diajarkan oleh salah satu nise, chigo pulang untuk sarapan, belajar mandiri, dan mengerjakan tugas.
Pada pukul 08.00, mereka kembali ke goju untuk berolahraga dipimpin oleh chigo tertua. Ini bisa apa saja mulai dari menunggang kuda, berlatih dengan pedang kayu, hingga gulat sumo. Setelah 2 jam aktivitas yang berat, mereka kembali belajar.
Chigo akan istirahat untuk makan siang, lalu kembali ke sekolah pada pukul 14:00 untuk belajar lebih lanjut. Sementara ko-chigo yang lebih muda pulang untuk makan, ose-chigo yang lebih tua menghadiri kelas.
Selain buku klasik Konfusius, teks penting berikutnya dari anak laki-laki itu disebut Iroha Uta. Teks itu ditulis pada tahun 1500-an oleh Shimadzu Tadayoshi, pemimpin domain Satsuma. Buku lain, Rekidai Uta, mengajarkan tentang garis keturunan keluarga Shimadzu. Mempelajari kedua buku ini membuat samurai muda hormat dan setia kepada Klan Shimadzu.
Pada pukul 16.00, semua chigo berkumpul untuk pelatihan seni bela diri yang dipimpin oleh nise. Anak laki-laki itu mempelajari teknik bertarung yang sebenarnya, berlatih dengan pedang kayu mereka. Selain itu, mereka juga mempelajari tentang sejarah samurai dan perjuangannya.
Anak laki-laki itu mempelajari sekolah ilmu pedang Jigen yang terkenal. Ilmu pedang itu menekankan pada agresi total dan melakukan satu pukulan mematikan. Mereka berlatih dengan memukul tiang vertikal dari kiri dan kanan dengan tongkat kayu mereka.
Pada pukul 18.00, chigo yang kelelahan pulang ke rumah. Di rumah, mereka dilarang keluar lagi hingga pukul 06.00 keesokan paginya. Ose-chigo melanjutkan pelajaran mereka di gujo hingga pukul 19.00. Mereka kemudian mengamati pertemuan nise hingga pukul 20.00, saat mereka dibubarkan untuk pulang.
Sistem pendidikan goju menghasilkan samurai yang merupakan gabungan dari filsuf dan penyair Asia Timur. Mereka diharapkan menjadi samurai yang tak kenal takut dan bawahan yang sangat setia pada kaisar. Samurai yang setia rela mengorbankan nyawanya bagi kaisar dan Kekaisaran Jepang.
Kemandirian dan filosofi Konfusianisme sekolah samurai Satsuma menghasilkan samurai kuat yang berintegritas. Pada akhirnya, samurai dari Satsuma memainkan peran penting dalam Restorasi Meiji tahun 1867. Saat itu, Keshogunan Tokugawa digulingkan dan kekuasaan dikembalikan ke tangan kaisar.