Nationalgeographic.co.id—Marak menghiasi media sejak awal Agustus 2023 lalu, bahwa nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) di DKI Jakarta sudah masuk pada kategori tidak sehat.
Secara konsisten IQAir, perusahaan teknologi kualitas udara menempatkan Jakarta dalam jajaran sepuluh kota paling tercemar secara global sejak Mei lalu. Bukan berarti Jakarta selalu berada di peringkat pertama kualitas udara buruk setiap hari, namun secara historis grafik kualitas udara buruk berada di sepuluh teratas.
Dilansir dari laman IQAir pada 21 Agustus 2023, Jakarta masuk urutan peringkat ketiga kota dengan polusi udara paling buruk di dunia. Indeks dari IQAir ini adalah data realtime, data terus berjalan bisa naik atau turun sesuai dengan tingkat kualitas udara di setiap kota di dunia.
Mengapa Jakarta?
Buruknya polusi udara di Jakarta sebenarnya sudah dideteksi pada awal tahun 1990an. BBC mengungkap, kala itu program lingkungan PBB (UNEP) melakukan uji petik kualitas udara pada dua puluh megapolitan di seluruh dunia termasuk Jakarta. Jakarta dipilih sebagai sampel karena diprediksi akan menjadi wilayah padat penduduk dan beresiko memiliki kualitas udara yang buruk.
Hasil uji petik menunjukkan Suspended Particulated Matter (SPM) di Jakarta berada pada kategori serius menurut ukuran Badan Kesehatan Dunia WHO. SPM terdiri atas partikel halus berbahaya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang melayang di udara dalam jangka waktu lama. Kalium, cadmium, merkuri dan logam berat lainnya termasuk dalam partikel yang membahayakan kesehatan manusia jika dihirup.
Ratusan tahun lalu partikel beracun penyebab polusi udara sudah memengaruhi peradaban manusia. Apa pasalnya?
Satu dekade setelah Conquistador Spanyol menggulingkan Kekaisaran Inca (1532-1534), seorang pencari emas asal negara Andean, Diego Gualpa menemukan deposit perak terkaya di dunia di gunung setinggi 4.800 meter di timur Cordillera Andes Bolivia pada tahun 1545. Conquistador adalah gelar khusus bagi para serdadu dan kolonis Spanyol.
“Suku Inca telah mengekstraksi dan memurnikan perak dari Potosí selama beberapa generasi sebelum Spanyol tiba. Selama masa kolonial, aktivitas pertambangan makin berkembang pesat. Potosí dikenal sebagai sumber perak terbesar di dunia. Pada abad ke-17, sekitar 160.000 penjajah tinggal di Potosí bersama sekitar 13.500 penduduk asli yang menjadi pekerja paksa di tambang,” tulis Live Science.
Conquistador mengubah metode penambangan dan peleburan untuk meningkatkan efisiensi. Alhasil mereka menambang lebih banyak perak yang didambakan dengan lebih cepat. Namun, proses ekstraksi perak yang baru menggunakan merkuri cair beracun. Debu logam yang dihasilkan dari penambangan dan peleburan terbawa angin dan jatuh di sekitar benua Amerika Selatan.
Studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, menemukan bahwa “Aktivitas metalurgi yang dilakukan selama Kekaisaran Inca (1438−1532) memiliki dampak yang dapat diabaikan pada atmosfer Amerika Selatan. Namun, emisi atmosfer dari berbagai elemen jejak beracun di Amerika Selatan mulai menimbulkan dampak lingkungan yang luas sekitar tahun 1540 M.”
“Conquistador menyebabkan polusi udara beracun 500 tahun yang lalu dengan mengubah pertambangan Inca,” tulis Ancient Origins