Metode Penyiksaan Air ala Tiongkok, Sederhana namun Membuat 'Gila'

By Sysilia Tanhati, Selasa, 22 Agustus 2023 | 16:00 WIB
Dibandingkan dengan perangkat seperti rantai atau cambuk, penyiksaan air ala Tiongkok mungkin tidak terdengar menyakitkan. Namun faktanya, metode penyiksaan itu bisa membuat gila si terhukum. (Erik Palmqvist )

 

Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad, orang merancang bentuk hukuman dan penyiksaan yang terus berkembang. Dibandingkan dengan perangkat seperti rantai atau cambuk, penyiksaan air ala Tiongkok mungkin tidak terdengar menyakitkan. Namun faktanya, metode penyiksaan itu bisa membuat ‘gila’ si terhukum.

Perangkat penyiksaan abad pertengahan biasanya menggunakan pisau tajam, tali, atau instrumen tumpul. Salah satu tujuan dilakukan penyiksaan adalah untuk mengorek pengakuan dari subjek atau sebagai alat untuk menghukum. Meski terdengar sepele, metode penyiksaan ini terbilang cukup sadis.

Menurut New York Times, metode penyiksaan air ala Tiongkok dilakukan dengan menahan seseorang di satu tempat. Kemudian, air dingin diteteskan secara perlahan ke wajah, dahi, atau kulit kepala mereka.

“Percikan air cukup mengguncang korban dan ia mengalami kecemasan saat mencoba mengantisipasi tetesan berikutnya,” tulis Marco Margaritoff di laman All That’s Interesting. Terdengar sederhana, namun metode ini bisa membuat korban merasa cemas dan ‘gila’ akibat tetesan air terus-menerus.

Kelak, metode penyiksaan ini diterapkan di berbagai kesempatan, salah satunya adalah saat Perang Vietnam.

Meski ada sedikit bukti tentang penerapannya, penyiksaan air ala Tiongkok ini memiliki sejarah yang panjang dan menarik.

Sejarah mengerikan penerapan penyiksaan air ala Tiongkok

Catatan sejarah tentang penyiksaan air ala Tiongkok tidak terlalu banyak. Selain itu, tidak jelas juga mengapa kata “Tiongkok” digunakan dalam nama metode penyiksaan ini.

Penyiksaan air ala Tiongkok pertama kali dijelaskan pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 oleh Hippolytus de Marsiliis. Pria asal Bologna ini adalah seorang pengacara yang sukses. Ia dikenal sebagai orang pertama yang mendokumentasikan metode yang sekarang dikenal sebagai penyiksaan air ala Tiongkok.

Konon de Marsiliis menyusun ide tersebut setelah memperhatikan bagaimana tetesan air yang terus menerus di atas batu akhirnya mengikis batu. Dia kemudian menerapkan metode ini pada manusia.

Menurut Encyclopedia of Asylum Therapeutics, bentuk penyiksaan air ini bertahan dalam ujian waktu. Metode ini digunakan di rumah sakit jiwa Prancis dan Jerman pada pertengahan 1800-an. Dokter percaya bahwa kegilaan disebabkan oleh fisik dan siksaan air dapat menyembuhkan pasien dari penyakit mental.

Yakin bahwa penumpukan darah di kepala menyebabkan orang menjadi gila, mesin penetes air digunakan untuk mengurangi penumpukan darah itu. Pasien ditahan dan biasanya ditutup matanya sebelum air dingin dialirkan ke dahi mereka secara berkala dari ember di atas.

Perawatan ini juga digunakan untuk menyembuhkan sakit kepala dan insomnia. “Dan tentu saja tidak berhasil,” tambah Margaritoff.

Tidak jelas kapan istilah “penyiksaan air ala Tiongkok” mulai digunakan. Tapi pada tahun 1892, istilah itu masuk dalam leksikon publik. Bahkan, metode ini disebutkan dalam sebuah cerita pendek di Overland Monthly berjudul The Compromiser. Namun, pada akhirnya, Harry Houdini-lah yang membuat istilah itu terkenal.

Pada tahun 1911, ilusionis terkenal membangun tangki berisi air di Inggris yang disebutnya sebagai Sel Penyiksaan Air Tiongkok. Dengan kedua kaki ditahan, dia diturunkan ke air dalam posisi terbalik.

Setelah penonton mengamatinya melalui kaca depan tangki, tirai menutupi upaya pelarian ajaibnya. Houdini melakukan trik tersebut untuk pertama kalinya di depan penonton pada 21 September 1912 di Berlin.

Bentuk penyiksaan air lainnya

Ada metode lain yang menggunakan air untuk menyiksa korban. Salah satunya adalah waterboarding.

Dalam metode ini, air dituangkan ke dalam hidung dan mulut korban. Korban berbaring telentang pada bidang miring, dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala.

Saat rongga sinus dan mulut korban terisi air, refleks muntahnya menyebabkan dia mengeluarkan udara dari paru-parunya. Hal itu membuatnya tidak dapat menghembuskan napas dan tidak dapat bernapas tanpa menyedot air. Air biasanya masuk ke paru-paru, namun tidak segera mengisinya, karena posisinya yang lebih tinggi terhadap kepala dan leher.

Ada metode lain yang menggunakan air untuk menyiksa korban. Salah satunya adalah waterboarding. Dalam metode ini, air dituangkan ke dalam hidung dan mulut korban. Korban berbaring telentang pada bidang miring, dengan kaki lebih tinggi dari kepala. (Public Domain)

Mulut dan hidung korban sering ditutup dengan kain. Hal tersebut memungkinkan air masuk tapi juga mencegahnya keluar. Sebagai alternatif, mulut korban dapat ditutup dengan plastik atau ditutup rapat untuk tujuan ini.

Penyiksaan akhirnya dihentikan dan korban dibaringkan untuk memungkinkan dia batuk dan muntah (air biasanya masuk ke kerongkongan dan perut). Penyiksaan juga dihentikan sementara untuk menyadarkan korban jika ia pingsan. Setelah itu, penyiksaan dapat dilanjutkan.

Waterboarding menghasilkan penderitaan fisik yang ekstrem. Juga perasaan panik dan teror yang tak terkendali. Semua itu biasanya terjadi dalam hitungan detik.

Digunakan sebagai metode penyiksaan dalam perang

Setelah Harry Houdini menampilkan prestasinya yang mengesankan, cerita tentang keberaniannya menyebar ke seluruh Eropa. Aksinya pun makin populer.

Penyiksaan air yang sebenarnya kemudian berkembang menjadi kekejaman kejahatan perang di bagian akhir abad ke-20. Di abad ke-21, metode ini pun menjadi alat interogasi.

Menurut The Nation, pasukan Amerika yang menghancurkan gerakan kemerdekaan Filipina menggunakan metode tersebut pada awal 1900-an. Lalu pasukan Amerika Serikat dan Viet Cong menggunakannya selama Perang Vietnam.

Apakah metode penyiksaan air ala Tiongkok ditemukan oleh orang Asia kuno? Atau hanya mendapatkan namanya dari oportunis di Eropa abad pertengahan? Hal itu masih belum jelas. Yang pasti, metode penyiksaan ini menimbulkan teror bagi si korban.