Nyalamaq Dilauq: Tradisi Lestari Laut Masyarakat Pesisir Lombok Timur

By Galih Pranata, Rabu, 23 Agustus 2023 | 09:00 WIB
Ritual nyalamaq dilauq menjadi tradisi antar-generasi masyarakat pesisir, sebagai upaya menjaga kawasan laut di Lombok Timur. (Kemenparekraf/JADESA)

Nationalgeographic.co.id—Keberagaman kultur di Indonesia, tumbuh dan berkembang secara dinamis, sesuai dengan lingkungan hidupnya masing-masing. Seperti halnya masyarakat pesisir yang budayanya terbentuk karena kehidupan laut.

Masyarakat pesisir sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.

Umumnya, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang majemuk dengan ragam mata pencaharian, seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang, buruh pelabuhan, dan lain-lain.

Kebudayaannya juga berkembang sesuai dengan kondisi geografisnya. Sebut saja salah satu kebudayaan masyarakat pesisir Suku Bajo Kecamatan Keruak, Lombok Timur yang dinamakan ritual nyalamaq dilauq.

Ritual nyalamaq dilauq menjadi satu identitas sekaligus "sebagai wadah untuk menyatukan perbedaan suku-suku bangsa di Tanjung Luar dan kelestarian lingkungan pesisir," tulis Habibuddin, Hanapi, dan Burhanuddin.

Habibuddin bersama dengan tim risetnya menulis dalam jurnal Geodika dengan artikel ilmiah berjudul Pelestarian Lingkungan Pesisir Melalui Ritual Nyalamaq Dilauq di Desa Tanjung Luar Keruak Lombok Timur yang terbit pada tahun 2023.

Selain itu, ritual ini berupaya menjaga "kelestarian lingkungan pesisir, sekaligus edukasi bagi kalangan generasi mileneal yang kurang mengetahui awal mula, makna, peran, fungsi, dan manfaat ritual nyalamaq dilauq," imbuhnya.

Sebelum ritual nyalamaq dilauq diselenggarakan, warga dan tokoh-tokoh masyarakat dari suku Bajo, Mandar, Bugis, dan Makassar, dan pejabat desa terlebih dahulu melakukan persiapan dengan mengadakan musyawarah.

Hal-hal yang dimusyawarahkan, seperti kapan ritual nyalamaq dilauq akan diselenggarakan dan siapa yang akan menjadi sandro yang memimpin prosesi.

Sandro merupakan orang yang memiliki ilmu kesaktian dan ilmu supranatural, biasanya menggunakan pakaian khas berwarna hitam. Biasanya, sandro tidak memandang laki-laki maupun perempuan.

Setelah itu, dibahas dan disiapkan kelengkapan ritual, seperti halnya seekor kerbau terbaik, serta tujuh jenis air macam masing-masing 1 liter, yaitu air hujan awal tahun dan turun pertama kali, biasanya disimpan oleh sandro, air sumur masjid, air sumur tua, air embun, air muara sungai, air laut pelabuhan.

Selain itu, kelengkapan lain seperti delapan botol minyak bauq (minyak diproses secara khusus), bambu kuning untuk rakit, baloq tallah, sejenis ruasnya agak panjang, langir sama, diambil daunnya untuk memandikan kerbau, biasanya dicari di hutan, ketan hitam, putih, dan merah.

Perlu juga disiapkan beras merah, putih, kuning, daun lontar. Mereka juga menyiapkan menyan ±3 kg, dan parai bente, beras yang disangrai. Bahan pelengkap lainnya, seperti benang, emas 20 karat ±0,5 gram.

Dibangun sebuah rumah adat di halaman pangkalan pendaratan ikan yang cukup permanen berupa rumah panggung. Di rumah adat tersebut, tempat ritual nyalamaq dilauq diselenggarakan.

Ritual nyalamaq dilauq dilaksanakan pada bulan Muharam. Ritual ini dipelihara sejak bertahun-tahun silam dengan diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebelum acara puncak, dilakukan ngaririk kerbau. Ngaririk kerbau artinya menuntun atau membawa kerbau yang akan disembelih pada hari puncak dengan tali berkeliling desa, seperti karnaval.

Namun, sebelum kerbau diririq, terlebih dahulu dimandikan, dibersihkan, dan diberikan langir, diminyaki dengan minyak bauq, dirias, dipunggungnya diletakkan kain pusaka, di lehernya digantung pisang, dan lain-lain, dan kerbau ini diririq di depan sandro.

Setelah dibersihkan, kepala kerbau itu dibawa berjalan mengelilingi kampung dengan menyusuri pantai diiringi dengan suara takbir, salawatan, dan rombongan karnaval membawa ula-ula (panji-panji) berwarna putih, merah, kuning, dan hitam.

Puncak pelaksanaan ritual nyalamaq dilauq dilakukan dengan melarung kepala kerbau yang telah diletakkan pada rakit dikki (rakit kecil) tepat di atas gugusan terumbu karang cincing yang terletak ±150 meter dari dermaga perikanan ke arah tenggara.

Seusai pelarungan kepala kerbau tersebut, peserta ritual nyalamaq dilauq, seperti peserta karnaval laut, penonton, dan tamu undangan yang berada di pinggir pantai melakukan siram-siraman dengan air laut. 

Proses konservasi lingkungan dilakukan dengan acara menutup laut dari segala aktivitas melaut dan aktivitas lainnya di kawasan pesisir selama tiga hari. Selama tiga hari, semua nelayan termasuk nelayan desa atau desa tetangga tidak diperkenankan melaut.

Selama tiga hari, seluruh aktivitas di kawasan pesisir tidak perkenankan, perahu ditambatkan, wisatawan tidak boleh masuk kawasan pantai Tanjung Luar dan sekitarnya, dan pasar ikan tutup sementara waktu.

Ritual nyalamaq dilauq bukan hanya sekedar upacara, namun untuk mengingatkan masyarakat pesisir tentang dampak pencemaran lingkungan pesisir. Lingkungan pesisir, seperti air, oksigen, cahaya matahari, garam, pasir, batu, dan lain-lain.

Ritual nyalamaq dilauq bukan hanya sekedar upacara, namun untuk mengingatkan masyarakat pesisir tentang dampak pencemaran lingkungan pesisir. Lingkungan pesisir, seperti air, oksigen, cahaya matahari, garam, pasir, batu, dan lain-lain.

Nilai-nilai edukasi ini tergambar dari prosesi ritual ngalamaq dilauq sebagai bentuk kepedulian masyarakat pesisir terhadap lingkungannya. Tak heran, notabene peserta ritual ini adalah generasi milenial dan remaja sebagai pelestari laut di masa mendatang.

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.