Eksploitasi Air Tanah dan Perubahan Iklim Mengancam Wilayah Pesisir

By Ricky Jenihansen, Rabu, 30 Agustus 2023 | 11:00 WIB
Hilangnya keanekaragaman hayati akibat masifnya perkebunan sawit. Tak jarang memicu kekeringan dengan dampak akhir kebakaran hutan. Bila tidak diperhatikan, pemanasan suhu global kian tak terkendali. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Diperkirakan setidaknya 250 juta orang tinggal di dekat zona pesisir dataran rendah Asia (LECZ). Karena LECZ dikaitkan dengan banjir rob, banjir bandang, dan perubahan penggunaan lahan, masyarakat yang tinggal di LECZ telah merasakan dampak negatif bencana alam.

Karena sebagian besar penduduk Asia tinggal di LECZ, kota-kota di wilayah pesisir Asia menghadapi kesulitan dalam menyediakan ruang hidup yang nyaman bagi penduduknya. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, aktivitas ekonomi, dan perubahan iklim.

Karena perannya yang penting dalam kehidupan sehari-hari umat manusia, kawasan perkotaan, khususnya kawasan perkotaan di wilayah pesisir, semakin berkembang untuk mendukung kehidupan kita.

Dengan semakin banyaknya lapangan kerja dan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir, maka semakin banyak pula orang yang pindah ke wilayah pesisir. Semakin banyak kegiatan ekonomi karena urbanisasi menyebabkan konsumsi material yang lebih tinggi.

Akan tetapi, karena tidak melimpahnya sumber daya seperti air dan tanah, kota-kota wilayah pesisir di seluruh dunia menghadapi kesulitan dalam menyediakan kehidupan yang nyaman bagi penduduknya.

Artinya, memahami dinamika LECZ adalah hal yang penting karena memungkinkan kita menyeimbangkan pasokan sumber daya dan konsumsi manusia, sehingga mengarah pada pembangunan berkelanjutan.

Bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir seperti kekeringan, banjir rob, dan banjir bandang telah menarik beberapa peneliti untuk menyelidiki dinamika wilayah pesisir.

Penelitian yang ada menganalisis kekeringan atau kelangkaan air, kenaikan permukaan laut dan banjir di kota-kota pesisir Asia.

Secara umum, studi-studi tersebut mengusulkan beberapa solusi seperti penggunaan air kembali dan tanggul atau terowongan air untuk mengatasi banjir rob atau banjir bandang.

Namun, banyak solusi yang diusulkan tidak mampu meminimalisir bencana alam dengan baik seperti yang terjadi di Pekalongan dan Jakarta.

Selain itu, solusi yang diusulkan, khususnya tanggul, sangat mahal. Jadi, tanggul pembangunan belum banyak diterapkan di Asia.

Ilustrasi perubahan iklim. (Alexander Gerst / ESA)