Nationalgeographic.co.id – Sebuah penelitian mengungkapkan dinamika di wilayah pesisir seperti kenaikan permukaan laut, banjir dan kelangkaan air. Para peneliti menemukan, bahwa eksploitasi air tanah dan perubahan iklim telah mengancam wilayah pesisir.
Menurut peneliti, penelitian yang menyelidiki wilayah pesisir Asia masih terbatas. Kemudian solusi yang diusulkan mungkin tidak dapat mengatasi kejadian ekstrem, meskipun terdapat penelitian yang membahas wilayah pesisir.
Untuk penelitian ini, mereka menyelidiki dinamika wilayah pesisir di Pekalongan, Jawa Tengah. Hasil penelitian telah dijelaskan di jurnal Scientific Reports dengan judul "The qualitative analysis of the nexus dynamics in the Pekalongan coastal area, Indonesia."
"Meskipun terdapat upaya-upaya seperti pembangunan tanggul dan pemompaan air tanah, masyarakat di Pekalongan saat ini lebih sering mengalami banjir dan penurunan permukaan tanah yang menyebabkan wilayah tergenang lebih besar dan terjadi migrasi penduduk."
Para peneliti menggunakan arketipe sistem, penelitian mereka menunjukkan bahwa wilayah pesisir terdiri dari unsur-unsur penghubung.
Yang pertama unsur yang dikenal, yaitu air, tanah, dan makanan dengan unsur-unsur penghubung yang kurang dikenal, yaitu kesehatan dan kesejahteraan.
Artinya, perubahan pada satu elemen perhubungan dapat mengancam elemen perhubungan lainnya, sehingga memperburuk masalah pada sistem yang diamati.
Sehingga tindakan-tindakan yang tidak berkelanjutan seperti eksploitasi air tanah yang berlebihan cenderung meningkatkan wilayah banjir, mengancam kesehatan masyarakat, dan mendorong migrasi masyarakat.
"Oleh karena itu, mesin pertumbuhan seperti perubahan penggunaan lahan dan pemompaan air tanah harus dikelola atau dibatasi dengan baik," tulis peneliti.
"Mengelola mesin pertumbuhan dapat menghindarkan kita dari bencana alam seperti banjir dan kelangkaan air."
Masalah wilayah pesisir
Diperkirakan setidaknya 250 juta orang tinggal di dekat zona pesisir dataran rendah Asia (LECZ). Karena LECZ dikaitkan dengan banjir rob, banjir bandang, dan perubahan penggunaan lahan, masyarakat yang tinggal di LECZ telah merasakan dampak negatif bencana alam.
Karena sebagian besar penduduk Asia tinggal di LECZ, kota-kota di wilayah pesisir Asia menghadapi kesulitan dalam menyediakan ruang hidup yang nyaman bagi penduduknya. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, aktivitas ekonomi, dan perubahan iklim.
Karena perannya yang penting dalam kehidupan sehari-hari umat manusia, kawasan perkotaan, khususnya kawasan perkotaan di wilayah pesisir, semakin berkembang untuk mendukung kehidupan kita.
Dengan semakin banyaknya lapangan kerja dan aktivitas ekonomi di wilayah pesisir, maka semakin banyak pula orang yang pindah ke wilayah pesisir. Semakin banyak kegiatan ekonomi karena urbanisasi menyebabkan konsumsi material yang lebih tinggi.
Akan tetapi, karena tidak melimpahnya sumber daya seperti air dan tanah, kota-kota wilayah pesisir di seluruh dunia menghadapi kesulitan dalam menyediakan kehidupan yang nyaman bagi penduduknya.
Artinya, memahami dinamika LECZ adalah hal yang penting karena memungkinkan kita menyeimbangkan pasokan sumber daya dan konsumsi manusia, sehingga mengarah pada pembangunan berkelanjutan.
Bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir seperti kekeringan, banjir rob, dan banjir bandang telah menarik beberapa peneliti untuk menyelidiki dinamika wilayah pesisir.
Penelitian yang ada menganalisis kekeringan atau kelangkaan air, kenaikan permukaan laut dan banjir di kota-kota pesisir Asia.
Secara umum, studi-studi tersebut mengusulkan beberapa solusi seperti penggunaan air kembali dan tanggul atau terowongan air untuk mengatasi banjir rob atau banjir bandang.
Namun, banyak solusi yang diusulkan tidak mampu meminimalisir bencana alam dengan baik seperti yang terjadi di Pekalongan dan Jakarta.
Selain itu, solusi yang diusulkan, khususnya tanggul, sangat mahal. Jadi, tanggul pembangunan belum banyak diterapkan di Asia.
Arketipe Sistem
Peneliti menjelaskan, meskipun penelitian mereka hanya membahas satu LECZ saja, yaitu wilayah pesisir Pekalongan, namun penelitian mereka dapat menjadi kompas untuk memahami dinamika elemen-elemen yang saling terkait dalam LECZ.
Hasil mereka menunjukkan pola serupa antara Pekalongan dan kota-kota wilayah pesisir lainnya di seluruh dunia. "Oleh karena itu penelitian ini menawarkan temuan yang berguna untuk LECZ lainnya," menurut peneliti.
Studi ini juga membuktikan bahwa arketipe sistem adalah alat kualitatif yang menjanjikan di area perhubungan (nexus arena).
Arketipe sistem, seperti yang terlihat dalam penelitian ini, dapat memberi kita wawasan seperti mesin pertumbuhan (penguatan loop) dan trade-off (struktur Batasan Pertumbuhan).
Pada gilirannya, penelitian ini melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada yang menggunakan pendekatan kuantitatif dalam penelitian-penelitian serupa.
Selain itu, karena negara-negara berkembang seperti Indonesia biasanya memiliki data penelitian yang terbatas dan pendanaan penelitian yang terbatas, arketipe sistem merupakan alat yang cocok untuk menyelidiki elemen-elemen yang berhubungan.
Setelah studi ini, cara berikutnya adalah dengan menggunakan dan memperluas perangkat gratis dari studi lain. "Sehingga dapat menilai secara kuantitatif hubungan air, tanah, dan makanan dalam perubahan iklim di kota-kota pesisir," menurut para peneliti.
"Diharapkan penelitian selanjutnya adalah menyelidiki dampak perubahan iklim dan kelangkaan air di LECZ yang kritis seperti wilayah pesisir Pekalongan."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.