Beragam Cara Penggunaan Racun untuk Senjata dalam Sejarah Yunani Kuno

By Sysilia Tanhati, Kamis, 31 Agustus 2023 | 09:00 WIB
Sejarah Yunani kuno dipenuhi dengan peperangan biologis. Racun menjadi salah satu senjata ampuh untuk memenangkan pertempuran. (Naples National Archaeological Museum)

 

Nationalgeographic.co.id—Sejarah Yunani kuno dipenuhi dengan peperangan biologis. Mulai dari senjata yang diwarnai dengan darah Gorgon yang beracun hingga panah mematikan Apollo dan Artemis. Meminjam kekuatan alam yang merusak lebih dari sekadar khayalan.

Berikut beberapa cara orang Yunani kuno menggunakan racun sebagai senjata dalam pertempuran.

Perang biologis didokumentasikan dalam banyak teks sepanjang sejarah Yunani kuno. Dokumentasi kuno memberikan bukti bahwa senjata biologis dan kimia berperan dalam pertempuran bersejarah di Mediterania, India, dan Tiongkok. Jadi, senjata biologi dan kimia bukanlah penemuan modern.

Meracuni sumur

Selain menembakkan anak panah beracun, pasukan Yunani kuno juga mencemari air musuh mereka.

Kasus keracunan air paling awal dalam sejarah Yunani kuno terjadi selama Perang Suci Pertama sekitar 590 Sebelum Masehi. “Orang Athena dan sekutu mereka mencemari pasokan air di Kota Kirrha yang terkepung,” tulis Adrienne Mayor di laman National Geographic. Mereka menggunakan tumbuhan sejenis tumbuhan beracun yang banyak tumbuh di seluruh Mediterania.

Hal ini menunjukkan dampak buruk yang diakibatkan oleh perang biologis dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini tidak hanya merugikan tentara tetapi juga orang-orang yang tidak ikut berperang. Orang tua, wanita, dan anak-anak yang berada di dalam tembok Kirrha semuanya terbunuh.

Setelah Perang Suci Pertama, Athena dan sekutunya sepakat untuk tidak pernah meracuni air sesama anggota aliansi mereka.

Penggunaan panah beracun dalam sejarah Yunani kuno

Salah satu pejuang yang paling ditakuti di zaman kuno adalah orang Skit. Mereka adalah pemanah nomaden di stepa Eurasia. Konon, orang Skit menjadi inspirasi bagi suku Amazon dalam mitologi Yunani.

Prajurit Skit ditemukan terkubur bersama tabung anak panahnya. Penemuan arkeologis itu menunjukkan bahwa mereka menggunakan panah berduri yang ditempelkan pada batang kayu. Batangnya dihiasi pola menyerupai ular berbisa.

Menghadapi hujan anak panah yang menyerupai ular dengan taring mematikan sudah cukup menakutkan. Namun ada yang lebih mengerikan dari itu. Orang Skit mencelupkan mata panah mereka ke dalam racun terkenal yang disebut scythicon.

Sumber Yunani kuno menggambarkannya sebagai ramuan jahat dari bisa ular, tubuh ular berbisa yang membusuk, darah manusia, dan kotoran. “Bahan-bahan tersebut digabungkan dan kemudian dibiarkan membusuk selama beberapa bulan,” tambah Mayor.

Goresan kecil dari salah satu anak panah ini membawa kematian yang mengerikan. Bila tidak meninggal, korban akan mengalami siksaan yang lambat akibat luka yang terinfeksi gangren dan tetanus.

Fakta bahwa orang Yunani mengetahui bahan-bahannya menunjukkan bahwa orang Skit menyebarluaskannya. Tujuannya adalah untuk menyebarkan ketakutan. Memang benar, ciri kuat senjata biologi dan kimia pada periode waktu mana pun adalah bersifat psikologis.

Gas beracun

Kebakaran juga menjadi salah satu contoh sejarah paling awal penggunaan gas beracun untuk melawan musuh. Pada tahun 429 Sebelum Masehi, selama Perang Peloponnesia, pasukan Sparta menyerang kota berbenteng Plataea. Sejarawan Thucydides menceritakan bagaimana orang Sparta menumpuk tumpukan kayu bakar di dekat tembok kota. Mereka kemudian menuangkan resin pohon pinus ke batang kayu tersebut.

Dalam inovasi yang berani, bangsa Sparta kemudian menambahkan bongkahan belerang. Kombinasi gas dan sulfur menghasilkan kebakaran yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Lebih besar dari kebakaran yang pernah dihasilkan oleh manusia,” kata Thucydides.

Memang benar, nyala api belerang biru dan bau busuk pasti sangat sensasional. Asapnya mematikan. Pembakaran belerang menghasilkan gas belerang dioksida beracun, mematikan jika terhirup dalam jumlah banyak.

Api, asap, dan racun

Lima tahun kemudian, pada tahun 424 Sebelum Masehi, sekutu Sparta, Boeotia, menemukan alat “penyembur api”. Thucydides menggambarkan bagaimana alat itu menghancurkan benteng kayu di Delium, yang dikuasai oleh orang Athena.

Orang Boeotia melubangi sebatang kayu besar dan melapisinya dengan besi. Mereka menggantung kuali besar dengan rantai. Kuali itu diisi dengan bara api, getah pinus, dan belerang. Dipasang di gerobak, peralatan itu didorong ke samping dinding. Sebuah alat khusus yang diciptakan kemudian menghembuskan gas beracun dan api ke tembok.

Di Yunani bagian barat pada tahun 189 Masehi, selama pengepungan panjang di Ambracia, mesin asap ditemukan. Polyaenus mengatakan bahwa orang Ambracia menyiapkan toples besar. Mereka mengemas panci dengan lapisan bulu ayam halus dan arang yang membara dan menutup toples dengan penutup yang berlubang.

Kemudian mereka mengarahkan ujung stoples berisi bulu-bulu yang terbakar ke arah terowongan. Mereka juga memasang alat penghembus ke tabung besi di ujung yang lain. Dengan alat ini, orang Ambracia memenuhi lorong itu dengan awan asap tajam. Mereka membuat orang-orang Romawi yang tersedak segera berlari mencari udara segar.

“Mereka meninggalkan pengepungan bawah tanah itu,” komentar singkat Polyaenus.

Tapi kenapa orang Ambracia membakar bulu ayam? Ternyata bulu ayam mengandung sistein, asam amino sulfat. Pembakaran bulu ayam melepaskan sulfur dioksida, jenis gas yang sama yang digunakan oleh bangsa Sparta di Plataea dan Boeotian di Delium.

Tentu saja orang Ambracia tidak mengetahui penjelasan ilmiahnya. Mereka hanya tahu bahwa pembakaran bulu ayam menghasilkan efek racun yang sangat besar, terutama di dalam terowongan.

Dalam budaya yang menghargai keberanian dan kemahiran militer, racun sering dianggap sebagai senjata seorang pengecut. Meskipun ada anggapan umum bahwa senjata biologi dan kimia tidak adil, namun hal tersebut dianggap normal dalam kondisi tertentu.

Para jenderal memerintahkan serangan biokimia karena frustrasi dengan pengepungan yang lama dan buntu. Racun juga digunakan untuk menghindari korban jiwa dan ketidakpastian pertarungan yang adil.

Penggunaan racun sebagai senjata dalam pertempuran dan perang terus berlanjut hingga kini.