Tabu Menikah Lagi setelah Suami Meninggal di Kekaisaran Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 2 September 2023 | 09:00 WIB
Di Kekaisaran Tiongkok, seorang istri dianggap tabu untuk menikah lagi setelah suaminya meninggal. Wanita yang bisa menjaga kesuciannya bahkan diberi penghargaan oleh pejabat. (Immanuel Giel/Wikimedia Commons)

Pujian bagi para wanita Kekaisaran Tiongkok yang tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal

Sima Qian juga menulis bahwa Qin Shi Huang pernah membangun sebuah menara untuk seorang janda bernama Qing. Menara itu sebagai simbol kekaguman atas kesuciannya, karena wanita itu tidak pernah menikah lagi setelah suaminya meninggal.

Pada masa Dinasti Han, pemerintah terus memberikan penghargaan kepada para janda suci. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Kaisar Xuan dan Kaisar An menghadiahi para janda suci dengan tekstil dan biji-bijian yang berkualitas.

Perubahan aturan seputar wanita yang menikah kembali di Kekaisaran Tiongkok

Namun masih sangat umum bagi para janda Dinasti Han untuk menikah lagi. Putri Pingyang, kakak perempuan Kaisar Wu, menikah dengan jenderal militer yang berkuasa Wei Qing setelah kehilangan suami pertama dan keduanya.

Zhuo Wenjun, seorang wanita berbakat dari keluarga kaya, menikah dengan penulis Sima Xiangru setelah suami pertamanya meninggal. Kisah cinta mereka adalah salah satu kisah cinta paling terkenal dalam sejarah Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa praktik menikah lagi tidak sepenuhnya dianggap tabu.

Pada Dinasti Jin, ada kasus seorang mertua perempuan membujuk menantu untuk menikah lagi setelah suaminya meninggal. Hal itu dilakukan karena usia si menantu yang masih sangat muda.

Pada masa Dinasti Sui (581 – 618), undang-undang mulai membatasi pernikahan kembali para janda. Janda yang almarhum suaminya adalah pejabat pemerintah dengan pangkat sembilan atau lebih tidak diperbolehkan menikah lagi.

Namun, pada masa Dinasti Tang berikutnya, pemerintah mulai menganjurkan para janda untuk menikah lagi guna meningkatkan angka kelahiran. Kaisar Taizong pernah mengeluarkan dekrit yang mengharuskan para janda untuk mengajukan permohonan menikah lagi kepada pemerintah daerah.

Jika pejabat berhasil membuat mereka menikah dengan cepat, hal ini akan berdampak positif pada penilaian kinerjanya.

Perubahan besar terjadi pada Dinasti Song ketika penganut Neo-Konfusianisme seperti Cheng Yi sangat menekankan kesucian. Dalam teks filosofisnya, Reflections on Things at Hand, Cheng menyatakan bahwa sangat memalukan bagi seorang pria untuk menikahi seorang janda.

Menurutnya, pria yang menikahi wanita yang kehilangan integritasnya pun akah mengalami hal yang sama. Seseorang kemudian menyebutkan bahwa para janda miskin akan mati kelaparan jika tidak menikah kembali. Cheng menjawab, “Mati kelaparan hanyalah masalah kecil. Sedangkan kehilangan integritas adalah hal yang sangat buruk.”