Tabu Menikah Lagi setelah Suami Meninggal di Kekaisaran Tiongkok

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 2 September 2023 | 09:00 WIB
Di Kekaisaran Tiongkok, seorang istri dianggap tabu untuk menikah lagi setelah suaminya meninggal. Wanita yang bisa menjaga kesuciannya bahkan diberi penghargaan oleh pejabat. (Immanuel Giel/Wikimedia Commons)

Ketika pemikiran seperti itu menyebar, pernikahan kembali oleh seorang janda masih menjadi hal yang umum, namun mendapat stigma. Undang-undang juga mengatur jika seorang janda menikah lagi, ia tidak dapat mewarisi harta milik suami pertamanya.

Pada masa Dinasti Yuan, undang-undang bahkan melarang seorang janda membawa mas kawinnya jika dia menikah lagi. Hal ini menunjukkan bahwa semua harta pribadinya adalah milik keluarga suami pertamanya.

Pada dinasti Ming dan Qing, kesucian janda semakin menonjol. Pemerintah akan memberikan penghargaan kepada janda jika tak pernah menikah lagi sepanjang hidupnya. Juga bagi mereka yang melakukan bunuh diri untuk menolak pemerkosaan dan yang bunuh diri setelah suaminya meninggal.

Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Ming, turut memberi penghargaan. Ia memutuskan bahwa jika seorang janda kehilangan suaminya sebelum usia 30 tahun dan tidak menikah lagi setelah usia 50 tahun, keluarganya akan dibebaskan dari kerja paksa.

Bahkan, pejabat akan membangun gerbang untuk menghormati para janda suci tersebut. Ironisnya, nama kecil sang wanita tidak ditulis di gerbang itu. “Hanya nama belakangnya saja atau nama keluarga suaminya,” Jiahui menambahkan lagi.

Hal itu menunjukkan bahwa seluruh keluarga termasuk dalam penghormatan tersebut.

Kesucian wanita untuk menjaga garis keturunan keluarga di Kekaisaran Tiongkok

Kesucian janda juga dianggap penting untuk menjaga garis keturunan keluarga di Kekaisaran Tiongkok. Jika seorang janda mempunyai anak laki-laki, tanggung jawab utamanya adalah membesarkan keturunan keluarga mendiang suaminya.

Otoritas Qing juga tidak begitu mementingkan kasus bunuh diri para janda. Justru sebaliknya, mereka mendorong wanita untuk tetap menjaga kesucian. Tujuannya agar wanita bisa fokus merawat anak-anak dan mertua yang sudah lanjut usia.

Dengan dipromosikannya nilai-nilai tersebut ke seluruh masyarakat, tidak mengherankan jika jumlah janda yang suci meningkat pada periode Qing. Menurut penelitian sejarawan abad ke-20 Dong Jiazun, sebelum Dinasti Song, hanya ada 92 wanita yang menerima penghargaan atas kesucian. Namun, pada Dinasti Ming, terdapat lebih dari 27.000 orang.

Pada Dinasti Qing terdapat lebih dari 1 juta wanita yang dipuji oleh pemerintah atas kesuciannya. Hal ini diungkap oleh sejarawan Guo Songyi di The General History of Chinese Women.

Saat ini, gerbang kesucian kuno ini masih dapat ditemukan di banyak tempat di Tiongkok. Dari sedikit karakter yang tertulis, tidak diketahui berapa banyak wanita yang kehilangan kebahagiaan, kesehatan, dan nyawanya demi “kehormatan” ini.

Penulis Lu Xun mengungkapkan, “Wanita suci adalah orang-orang yang menyedihkan. Mereka jatuh ke dalam perangkap sejarah dan angka-angka yang tidak disadari. Juga melakukan pengorbanan tanpa nama. Mereka berhak mendapatkan upacara peringatan.”

Ribuan tahun berlalu, wanita di Tiongkok akhirnya bisa terlepas dari norma yang menindas ini.