GPS Collar, Solusi Mutakhir untuk Mitigasi Interaksi Negatif Manusia dan Gajah

By Lastboy Tahara Sinaga, Kamis, 7 September 2023 | 13:39 WIB
Ketua Rimba Satwa Foundation (RSF), Zhulhusni Syukri (40), membawa GPS Collar yang dilingkarkan di pundaknya. Perangkat itu digunakan untuk memantau keberadaan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) di alam liar. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Hutan di Bumi Lancang Kuning adalah rumah bagi sebagian gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang terancam punah. Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah gajah sumatra di habitat aslinya di Provinsi Riau tersisa 200 hingga 300 ekor.Salah satu penyebab penurunan populasi gajah sumatra adalah habitat yang semakin menyusut. Atas nama pembangunan, hutan yang menjadi rumah mereka dibabat. Aktivitas manusia yang semakin tinggi di dalam hutan, pun tak jarang menimbulkan interaksi negatif dengan gajah. Faktor utamanya adalah lenyapnya jalur-jalur gajah karena telah menjadi lahan terbuka atau perkebunan.

Gajah yang Tak Pernah Lupa

Elephant never forget atau gajah tidak pernah lupa adalah pepatah yang sering kita dengar tentang gajah. Apakah itu sekadar fiksi belaka? Nyatanya, itu memang benar-benar terjadi. Di alam liar, gajah cenderung mengikuti jalur yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju sumber air atau makanan. Ketika manusia membuka lahan atau membangun permukiman tepat di jalur mereka, interaksi negatif manusia dan gajah akan terjadi.

Pemanfaatan GPS Collar untuk Mitigasi Interaksi Negatif Manusia dan Gajah

Sudah seharusnya bagi manusia untuk berkompromi dengan gajah dan memberi mereka peluang untuk hidup yang lebih baik. Upaya yang telah dilakukan adalah pemasangan Global Positioning System Collar (GPS Collar) atau Kalung GPS pada gajah. GPS Collar adalah perangkat yang dapat memantau pergerakan gajah dan perilaku dari populasi gajah di habitatnya terkini. 

Dalam studi bertajuk “Instalasi dan studi GPS Collar untuk Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, tahun 2007 dan 2009”, teknologi ini telah digunakan pada gajah oleh WWF Indonesia sebelum tahun 2007. Kemudian, pada 2007 dan 2009, WWF Indonesia, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA), dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN) melakukan pemasangan GPS Collar bagi dua klan gajah di Taman Nasional Tesso Nilo.

Penulis utama, Wishnu Sukmantoro, menjelaskan bahwa saat itu GPS Collar digunakan untuk mengetahui pola pergerakan gajah dan daerah jelajah (home range), memetakan lokasi-lokasi gajah saat pengembaraannya, mengetahui kondisi habitat, dan mendorong desain strategi pengelolaan konservasi gajah dan mitigasi konfliknya.

Kini, teknologi GPS Collar juga digunakan oleh tim Rimba Satwa Foundation (RSF) di Riau untuk memantau pergerakan gajah. Ini termasuk upaya deteksi dini dan menentukan strategi mitigasi bagi warga yang tinggal di kawasan koridor gajah. Terdapat beberapa proses dalam pemasangan GPS Collar pada gajah. 

Tim akan melakukan identifikasi gajah yang akan dipasang GPS. Utamanya adalah gajah betina dewasa yang menjadi pemimpin klan. Selanjutnya dilakukan pembiusan dan pemasangan GPS Collar pada gajah. 

Setelah itu, tim akan terus memantau kondisi gajah hingga pulih dan kembali ke kelompoknya. Dalam pengoperasiannya, alat dengan berat sekitar 21 kilogram ini, akan memberi informasi keberadaan gajah liar melalui sinyal satelit ke receiver. Saat gajah terdeteksi akan memasuki permukiman atau kebun, tim RSF mengirim informasi tersebut kepada warga melalui telepon atau pesan WhatsApp. 

Dengan begitu, warga dapat bersiap untuk melakukan blokade atau pengusiran gajah dengan bunyi-bunyian keras. Menurut pendiri RSF, Zhulhusni Syukri (40), pemasangan GPS Collar dapat menjadi peringatan dini dalam mitigasi interaksi negatif dengan gajah. Sejauh ini, penggunaannya dinilai efektif.

Hal ini senada dengan yang dirasakan oleh Makmun (52), warga Desa Lubuk Umbut, Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Riau. Sebelum ada GPS Collar, ia dan warga hanya bisa mengetahui kedatangan gajah dari laporan desa lain. Semuanya hanya bisa diketahui dengan mengira-ngira.