Agroforestri Bantu Warga Desa Pinggir Hidup Berdampingan dengan Gajah

By Lastboy Tahara Sinaga, Jumat, 22 September 2023 | 10:00 WIB
Abdullah, ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya Desa Pinggir. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.idElephant never forget atau gajah tidak pernah lupa adalah pepatah yang sering kita dengar tentang gajah. Apakah itu sekadar fiksi belaka? Nyatanya, itu memang benar-benar terjadi. 

Di alam liar, gajah cenderung mengikuti jalur yang sama selama bertahun-tahun untuk menuju sumber air atau makanan. Ketika manusia membuka lahan atau membangun permukiman tepat di jalur mereka, interaksi negatif manusia dan gajah bisa terjadi.

Warga di Desa Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, telah sejak lama hidup di kawasan jalur jelajah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus). Dari yang awalnya masih diselimuti hutan hingga sebagian terganti oleh perkebunan.

Abdullah, ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Pusaka Jaya Desa Pinggir, mengisahkan bahwa sekitar 1982, tutupan hutan masih bagus. Namun, seiring bertambahnya masyarakat, luas hutan ikut menyusut. Begitu pula dengan gajah-gajah yang melewati desa, kini hanya 3 atau 4 ekor.

Dahulu, gajah yang melewati desa bisa mencapai 40 hingga 50 ekor, berjalan beriringan. Meski demikian, menurut Abdullah, pada masa itu tidak pernah ada konflik manusia dengan gajah. Lalu, bagaimana keduanya dapat berdampingan? 

Bersama tokoh-tokoh masyarakat, warga Desa Pinggir membentuk kelompok untuk menghadapi gajah yang masuk desa. Ketika itu, mereka hanya menggiring rombongan gajah ke daerah yang tutupan hutannya masih ada.

Namun, seiring berjalannya waktu, interaksi negatif manusia dan gajah pun terjadi. Gajah mulai memakan hasil perkebunan masyarakat yang didominasi sawit dan karet.

“Konfliknya begini, masyarakat bercocok tanam. Tentu gajah dalam hal ini, mau makan juga. Jadi, apa yang ditanam oleh masyarakat, ini yang dimakan gajah,” jelasnya.

Dahulu, belum ada arahan yang dilakukan pemerintah setempat, supaya hasil panen masyarakat berhasil. Menurut Abdullah, ini bisa menjadi fatal. Sebab, masyarakat yang belum mengetahui tentang gajah dan mengalami kerugian, bisa mengasumsikan gajah sebagai hama.

Ketika itu, mereka masih melakukan koordinasi secara gotong royong untuk menggiring gajah. Warga Desa Pinggir juga berkomunikasi dengan desa tetangga untuk berbagi informasi munculnya gajah.

Hingga akhirnya, warga menyadari bahwa gajah sebenarnya bukan hama. Mereka menganggap bahwa gajah sebenarnya tidak memiliki niat untuk merusak kebun masyarakat, tetapi hanya untuk makan. Abdullah bersama warga lalu berinisiatif menanam tumbuhan yang sering dimakan gajah.

“Waktu itu kita ajukan ke BBKSDA, bibit pisang, bibit tebu, yang nanti ditanam di batas-batas kebun masyarakat,” terangnya.