Edessa, Kota yang Terjebak Tiga Kepentingan dalam Sejarah Perang Salib

By Ricky Jenihansen, Kamis, 7 September 2023 | 08:00 WIB
Edessa adalah kota penting abad pertengahan yang selalu terjebak kepentingan dalam sejarah Perang Salib. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Edessa adalah ibu kota kerajaan Osroene, salah satu kota provinsi Kekaisaran Seleukia. Dalam sejarah Perang Salib, Edessa selalu terjebak dalam tiga kepentingan hingga kemudian menghilang.

Di zaman modern saat ini, wilayah Edessa beririsan dengan Kota Urfa yang menjadi bagian Turki modern. Kota Urfa terletak di tenggara Turki, tetapi pernah menjadi bagian atas Mesopotamia di perbatan gurun Suriah.

Edessa sebenarnya kota penting sepanjang zaman kuno dan Abad Pertengahan. Edessa juga selalu terjebak di antara dua kekaisaran, yaitu Romawi dan Parthia.

Pada tahun 638 M, Edessa kemudian ditaklukan oleh orang-orang Peradaban Islam. Kemudian mulai tahun 944 M, Edessa dimasukkan ke dalam Kekaisaran Bizantium.

Saat itu, Edessa masih merupakan pusat Kristen dan budaya utama serta ibu kota Kabupaten Edessa, kota ini direbut oleh pemimpin Muslim Zangi pada tahun 1144 M.

Sejarah Perang Salib mencatat, Edessa juga merupakan motivasi awal peluncuran Perang Salib Kedua yang gagal (1147-1149 M). Pasukan salib ingin merebut kembali kota tersebut untuk umat Kristen.

Setelah kehancurannya oleh salah satu pemimpin Peradaban Islam, Nur ad-Din pada tahun 1146 M, Edessa sebagian besar menghilang dari sejarah.

Namun saat ini banyak mosaik bagus dari kota tersebut yang bertahan dan membuktikan kekayaan sejarah Edessa. Beberapa peninggalan menunjukkan sejarah Zaman Kuno Akhir dan periode awal abad pertengahan.

Sejarah awalEdessa, yang saat itu dikenal sebagai Adme adalah pemukiman kuno. Wilayah itu dipilih karena posisinya yang menguntungkan di dataran subur.

Wilayah Edessa berada di percabangan terdekat Sungai Eufrat dan juga dilindungi oleh lingkaran perbukitan di selatan.

Situs ini merupakan pusat pemujaan dewa bulan yang disebutkan dalam sumber-sumber neo-Asyur dan neo-Babilonia.

Seleucus I (358-281 SM) adalah salah satu komandan Makedonia Alexander Agung yang mendirikan Kekaisaran Seleukia (312-63 SM) di Asia, mendirikan kembali kota tersebut sebagai pemukiman militer pada tahun 304 SM.

Seleukus memberinya nama baru Edessa, diambil dari nama asli ibu kota kuno Makedonia. Pada abad ke-2 SM, Edessa menjadi ibu kota dan pusat kerajaan Osroene.

Kerajaan Osroene merupakan sebuah wilayah Kekaisaran Seleukia di barat laut Mesopotamia yang mendeklarasikan dirinya sebagai kerajaan merdeka (tanggal tradisional 132 SM).

Penduduk Edessa, seperti Osroene pada umumnya saat ini, merupakan campuran dari Yunani, Parthia, dan Semit Aram.

Meskipun kerajaan tersebut, pada kenyataannya, merupakan negara bawahan Parthia, kerajaan ini terbukti menjadi zona penyangga yang berguna antara kekaisaran tersebut dan Kekaisaran Romawi yang sedang berkembang.

Benteng kuno Edessa (Urfa) di tenggara Turki. (Creative Commons Attribution-NonCommercial)

Romawi EdessaKetika kekuasaan Roma berkembang, Osroene menjadi ketergantungan dalam Kekaisaran Romawi. Pompey Agung (106-48 SM) memberikan Raja Abgar II (memerintah 68-53 SM) wilayah yang diperluas.

Agama yang dipraktikkan di Osroene adalah paganisme, tetapi lebih mirip dengan agama Parthia daripada agama Roma.

Kaisar Trajan (memerintah 98-117 M) adalah seorang tamu penting, mengunjungi Edessa dalam tur keliling wilayah tersebut ketika ia dijamu oleh Raja Abgar VII (memerintah 109-116 M).

Kemudian, setelah keberhasilan kampanye Kaisar Lucius Verus (memerintah 161-169 M) yang merebut Edessa, kota ini dijadikan koloni Romawi. Setelah itu, Edessa menjadi lebih makmur, bahkan mencetak mata uangnya sendiri.

Kota ini sekali lagi mendapatkan keuntungan dari posisinya yang menguntungkan di jalur perdagangan, karena merupakan satu-satunya jalur resmi antara Kekaisaran Romawi dan Parthia (247 SM - 224 M).

Kaisar Romawi Caracalla (memerintah 211-217 M) bersikap kurang ramah dan memanggil Abgar VIII ke Roma. Ia kemudian memenjarakannya dengan harapan mengubah Edessa. 

Kaisar Romawi ingin menjadikan Edessa berguna untuk melancarkan invasi ke Parthia, tetapi tidak ada hasil dari rencananya.

Pada tahun 242 M, Edessa menjadi ibu kota provinsi Romawi Osroene. Kekaisaran Sasanian (224-651 M), penerus Parthia, juga berambisi untuk mendapatkan wilayah baru.

Pada tahun 260 M, Shapur I (berkuasa 240-272 M) menyerang Antiokhia dan kemudian menangkap Kaisar Romawi Valerian (berkuasa 253-260 M) di Edessa.

Kaisar Romawi Valerian mencoba mencapai persyaratan perdamaian, dalam salah satu kekalahan militer yang paling memalukan bagi Roma dalam sejarah panjangnya.

Edessa Bizantium/Kristen TimurPada saat yang sama ketika Edessa menjadi sasaran persaingan kekaisaran, kota ini masih berhasil menjadi pusat kebudayaan dan pembelajaran, terutama dalam bidang kesarjanaan Kristen.

Kota ini telah menjadi penganut awal agama Kristen pada abad ke-2 M dengan gereja pertama yang tercatat sudah aktif pada tahun 202 M. Edessa menjadi keuskupan terpenting di Suriah.

Edessa juga merupakan perhentian populer bagi para peziarah Kristen, kota yang memiliki banyak relik suci. Peninggalan penting lainnya, dan dianggap sangat penting bagi kesejahteraan kota, adalah ikon Mandylion.

Jatuhnya Edessa memicu Perang Salib Kedua. (Creative Common)

Edessa & sejarah Perang Salib keduaPada abad ke-12 M, Edessa, dengan kekayaan dan kekayaan sejarahnya, menarik perhatian Imad ad-Din Zangi (memerintah 1127-1146 M). Zangi adalah salah satu penguasa Peradaban Islam independen di Mosul dan Aleppo di Suriah.

Zangi mengepung kota dan menyuruh anak buahnya merobohkan salah satu tembok pertahanan, yang akibatnya runtuh.

Setelah perjuangan selama empat minggu, kota itu direbut oleh Zangi pada tanggal 24 Desember 1144 M, yang digambarkan oleh umat Islam sebagai "kemenangan dari kemenangan". Umat ​​Kristen Barat diusir, sedangkan umat Kristen timur diizinkan untuk tetap tinggal.

Sebelum kejatuhan, orang-orang Kristen di Edessa telah meminta bantuan ke barat, sebuah permohonan yang kemudian diberikan beberapa propaganda emosional oleh para penulis Kristen.

Menanggapi jatuhnya Edessa dan ancaman umum terhadap negara-negara Latin di Levant, Paus Eugenius III (memerintah 1145-1153 M) secara resmi menyerukan perang salib.

Perang Salib itulah yang kemudian menjadi sejarah Perang Salib kedua yang dimulai pada tanggal 1 Desember 1145 M.

Perang Salib dipimpin oleh raja Jerman Conrad III (memerintah 1138-1152 M) dan raja Perancis Louis VII (memerintah 1137-1180 M). Tetapi sebelum tentara barat tiba, Edessa berada dalam masalah yang lebih besar.

Nur ad-Din (memerintah 1146-1174 M), penerus Zangi setelah kematiannya pada bulan September 1146 M, menggagalkan upaya pemimpin Latin Joscelin II untuk merebut kembali Edessa. Sekali lagi kota ini jatuh ke Peradaban Islam.

Untuk memastikan Edessa tidak dapat digunakan lagi oleh musuh, benteng pertahanannya dihancurkan secara sistematis.

Setelah kekalahan Pasukan Salib di Dorylaion di Asia Kecil pada tanggal 25 Oktober 1147 M dan kegagalan pengepungan Damaskus pada bulan Juli 1148 M, Perang Salib Kedua dihentikan dan Edessa dibiarkan begitu saja.

Sementara itu, Nur ad-Din terus mengkonsolidasikan kerajaannya dan ia merebut Antiokhia pada tanggal 29 Juni 1149 M. Ia kemudian juga menangkap Raymond, Pangeran Edessa, sehingga mengakhiri Wilayah Edessa pada tahun 1150 M.