Sisi Lain Yoshitsune Samurai Berpakaian Sutra yang Memainkan Seruling

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Kamis, 7 September 2023 | 07:00 WIB
Lukisan Minamoto no Yoshitsune (1159-1189) di Biara Chusonji, Jepang. Yoshitsune samurai kekaisaran Jepang yang dihantui rasa dendam, berpetualang dengan pakaian sutra halus dan memainkan seruling. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Yoshitsune dalam kisah dikenal sebagai samurai kekaisaran Jepang yang jenius dalam bertarung. Namun ia dapat tampil sebagai sosok yang sangat berbeda.

Warisannya juga mencakup bidang seni dan sastra. Kisahnya telah diabadikan dalam karya fiksi dan teater yang tak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah Jepang. Dari drama kabuki hingga novel seperti "The Tale of Heike", Yoshitsune memikat penonton dengan kisah tragisnya.

Selain kaya akan mitologi, Jepang juga memiliki banyak sekali sejarah tentang samurai. Salah satunya adalah kisah Yoshitsune. Berjalan-jalan dengan sutra halus dan memainkan seruling, sekilas tampak biasa saja. Dia sangat setia, tapi Yoshitsune juga orang yang berbahaya bagi siapa pun yang berani padanya.

Para penulis periode Muromachi melihat kembali ke zaman Heian untuk mendapatkan inspirasi. Laki-laki ideal mereka bukanlah pejuang kasar yang berjalan melintasi medan perang, melainkan penyair sensitif yang meratapi kefanaan hidup.

Pada sebagian besar literatur Jepang, Yoshitsune melakukan hal - hal seperti memandang rembulan, berpakaian sutra, memainkan serulingnya, menulis puisi, dan mempunyai hubungan asmara.

Dalam catatan sejarah, Yoshitsune lahir di masa Heian kekaisaran Jepang yang penuh gejolak, ia ditakdirkan untuk menjadi besar sejak usia dini. Sebagai saudara tiri Minamoto no Yoritomo, pendiri Keshogunan Kamakura, Yoshitsune dibesarkan di dunia yang penuh dengan seni bela diri dan peperangan.

Dibalik kerasnya kehidupan samurai Kekaisaran Jepang, sisi lain Yoshitsune ditampilkan berpakaian sutra dan memainkan seruling (Eric Tadsen)

Dikhianati oleh klannya sendiri dan dipaksa mengasingkan diri di usia muda, Yoshitsune menjadi buronan dalam upaya membalas dendam terhadap orang-orang yang telah berbuat salah padanya. Alih-alih mengenakan baju besi tradisional khas samurai kekaisaran Jepang, dia mengenaikan pakaian sutra halus dan memainkan seruling. Ia mengandalkan kecerdasan strategisnya untuk mengalahkan musuhnya.

Minamoto no Yoshitomo dan Tokiwa Gozen memberi nama Ushikawamaru pada putra kesembilan mereka yang kemudian dikenal Minamoto no Yoshitsune.

Tokiwa Gozen membawa Yoshitsune yang masih berusia dua tahun dan dua orang kakaknya melarikan diri saat suaminya tewas dalam pemberontakan Heiji di tahun 1159. Saat masih berusia tujuh tahun, Yoshitsune dititipkan di kuil Kurama. Disana dia hidup bahagia dan menjadi anak yang baik.

Yoshitsune mempelajari ajaran suci di kuil dan bahagia di sana, bahkan ia mempertimbangkan untuk menjadi pendeta suatu hari nanti. Namun takdir berkata lain, pada usia 15 tahun terjadi perubahan besar dalam hidup Yoshitsune, ketika ia mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya.

Yoshitsune mendengarkan keseluruhan cerita dengan kaget karena tidak ada seorang pun di kuil yang menceritakan nasib ayahnya. Dia sangat ingin membalas dendam pada klan Heike, saat mengetahui cerita tentang kematian ayahnya. Sang ayah adalah seorang samurai kepala klan Kawachi Genji. Sementara itu keluarga Yoshitsune juga diganggu oleh musuh bebuyutan.

Dia menyatakan bahwa tugasnya adalah membalas kematian ayahnya, karena seorang anak laki-laki tidak diperbolehkan hidup di bawah langit yang sama dengan pembunuh ayahnya.  

Yoshitsune menjadi marah dan dia pun mulai ingin membalas dendam. Pemuda yang mengunjunginya dan menceritakan hal itu merasa senang dan dia juga membawakannya senjata.

Menurut legenda, Yoshitsune menerima keterampilan menggunakan pedang di kuil Kurama dari seorang ksatria bertopeng Tengu yang kemungkinan adalah bagian dari pengikut ayahnya yang tersisa.

Pada malam hari dia akan pergi ke sana untuk berlatih. Sebelum meraih pedang di tangannya, dia berdoa kepada para dewa agar memberinya kekuatan untuk membalas dendam pada klan Heike dan mendapatkan kedamaian bagi roh ayahnya. Dia segera menjadi sangat ahli dalam menggunakan pedang.

Kepala kuil terkejut saat melihat Yoshitsune belajar cara menggunakan pedang dari Tengu. Ini adalah kabar buruk bagi kepala kuil, dia telah berjanji pada musuh ayahnya bahwa Yoshitsune  tidak akan pernah mengetahui masa lalunya yang sebenarnya.

Jika ada berita seperti itu yang bocor, kepala  kuil harus membayar dengan kepalanya. Karena itu, kepala kuil memberi tahu Yoshitsune bahwa dia harus mencukur rambutnya dan mengabdikan hidupnya kepada Buddha. Yoshitsune menolak dan akibatnya dia dikirim ke kuil lain.

Beruntung, disana ia bertemu dengan seseorang yang mendukungnya. Untuk terakhir kalinya ia memandang pegunungan Kurama yang dicintainya, tempat ia menghabiskan waktu kanak-kanaknya. Ia berangkat ke provinsi Oshu. Disaat beranjak dewasa inilah Ushiwakamaru mengambil nama Yoshitsune.

Fujiwara Hidehira mendukung rencana Yoshitsune bahwa dia akan menawarkan bantuan ketika dia harus bertarung. Namun, pemuda itu menjadi tidak sabar dengan segera dia berangkat ke Kyoto untuk melihat keadaan.

Yoshitsune menjalani banyak petualangan karena dia menyukai seni dan musik. Dia berkeliling dengan mengenakan pakaian sutra halus dan memainkan seruling. Dengan cara ini, tidak ada yang menduga bahaya niat balas dendamnya di balik sutra dan serulingnya.

Suatu malam, Yoshitsune sedang menyeberangi Jembatan Gojo untuk pergi ke kuil dan berdoa. Di sana, ia bertemu dengan raksasa Benkei yang ingin menantangnya berduel. Jika dia berhasil melucuti senjata Yoshitsune, raksasa itu akan mengambil pedangnya sebagai pialanya yang keseribu.

Akan tetapi, Yoshitsune yang telah dilatih oleh Tengu dengan mudah berhasil lolos dari raksasa itu dan malah melucuti senjatanya. Karena Benkei telah dikalahkan dengan cara pelucutan senjata, dia menawarkan untuk menjadi pelayan Yoshitsune dan membantunya melawan klan Taira atau Heike. Kedua pria itu menjadi kawan dan teman setia.

Yoritomo, kakak laki-laki Yoshitsune juga telah melarikan diri dari kuil dan telah memulai perjuangan membalas kematian ayah mereka. Karena itu, Yoshitsune dan Benkei datang membantunya.

Pada pertempuran Dan-no-ura, musuh berhasil dikalahkan. Klan Genji memperluas kekuasaannya dan Yoritomo mengumpulkan seluruh provinsi di Jepang dan mendirikan Pemerintahan Kamakura di bawah pemerintahannya.

Meski begitu, Yoritomo tidak pernah menunjukkan rasa terima kasih atas bantuan Yoshitsune. Keinginan Yoshitsune untuk berdiri sendiri tidak terkabulkan dan malah menjadi musuh kaisar. Kecewa dengan Yoritomo, Yoshitsune berbicara pada para pasukan, “Kepada semua yang dendam dengan Yoritomo, kalian harus berpihak padaku.” Ucapan ini membuat berang Yoritomo.

Karena menjadi buronan di seluruh negeri, dia dan Benkei mencari perlindungan di suatu tempat yang jauh. Menurut kisah ketika  ditemukan oleh anak buah Yoritomo, Yoshitsune melakukan seppuku, ritual bunuh diri samurai Jepang. Kepalanya diawetkan dalam sake dan dikirim ke Kamakura. Sementara Benkei, dia meninggal saat berusaha melindungi temannya.

Yoshitsune sempat menikah beberapa kali, istri sahnya putri dari Kawagoe Shigeyori sedangkan selirnya bernama Shizuka Gozen. Sebelum berselisih dengan Yoritomo ia juga sempat menikah dan memiliki seorang anak perempuan.

Kisah The Tale of Heike dikumpulkan tidak lama setelah Yoshitsune meninggal. Di zaman Edo, kisah Yoshitsune mulai banyak dipertunjukkan pada Kabuki seni teater tradisional Jepang dengan kostum mewah dan Sarugaku seni pertunjukan tradisional Jepang yang disampaikan dengan humor. Yoshitsune selalu ditampilkan sebagai pria tampan dan citra itu melekat sampai sekarang.

Sepak terjang Yoshitsune di medan pertempuran kekaisaran Jepang sangat melegenda. Baik memimpin sekelompok kecil pengikut setia atau terlibat dalam duel epik dengan musuh tangguh, dia menunjukkan keterampilan tak tertandingi dalam permainan pedang dan taktik.