Nationalgeographic.co.id—Sebelum mengenal dan menggunakan senjata api, dalam sejarah militer, serdadu harus memiliki pasukan pemanah. Serdadu pemanah sangat penting dalam pertempuran untuk menghabisi musuh dari jarak jauh.
Kita bisa melihat keberadaan pemanah dalam berbagai bentuk hari ini mulai dari film, olahraga panahan, sampai perang antarsuku atau tawuran. Dalam pertempuran yang terorganisasi rapi dalam sejarah militer, pemanah bisa menembakkan panah berbarengan. Pada komando tertentu, pemanah punya hak untuk menembak tidak berbarengan lagi.
Namun yang jadi pertanyaan, bagaimana pemanah dalam sejarah militer bertindak jika anak panahnya sudah habis? Situasi ini jarang digambarkan hari ini, terutama dalam film yang terkait peperangan masa lalu. Pemanah seolah selalu punya anak panah yang tak terbatas.
Beberapa film menggambarkan pemanah yang kehabisan anak panahnya akan masuk ke dalam pertempuran menggunakan pedang. Benarkah demikian dalam sejarah militer?
Mari kita menengok sejarah militer pada abad pertengahan. Tentara Inggris dapat menembakkan enam sampai 12 anak panah per menit. Mereka memiliki anak panah yang selalu dibawa, dibuat sendiri, dan diangkut dalam kereta bagasi.
Saat bagian awal pertempuran, pasukan pemanah akan menembak bersamaan. Menembak panah secara bersamaan lazim dalam sejarah militer dalam berbagai kebudayaan, menghasilkan hujan panah.
Berbagai penulis sejarah dan sastrawan abad pertengahan melaporkan, medan perang bagaikan salju karena anak panah. Hal itu disebabkan bulu anak panah, terutama dalam sejarah militer Eropa, menggunakan bulu angsa yang didapat dari petani sebagai pembayaran pajak.
Tembakan busur begitu kencang karena talinya yang lentur untuk melontarkan anak panah. Dengan hujan panah, serangan seperti ini efektif untuk menghalau barisan musuh. Tentunya kesenian berperang seperti ini mengharuskan pemanah membawa anak busur dalam jumlah besar.
Kemudian dalam kesenian bertempur kebudayaan tertentu, setelah kehabisan panah akan diganti dengan pemanah lainnya. Hanya saja, cara ini kurang efektif karena untuk melawan serdadu musuh yang banyak, semua pasukan pemanah harus bekerja.
Sementara yang pemanah yang kehabisan anak panah segera menuju gudang atau kereta bagasi untuk mengisi ulang. Pasukan pemanah Inggris biasanya ketika mengambil kembali pasokan anak panah, akan dikabarkan oleh penjaga kereta—biasanya anak-anak—terkait jumlah anak panah yang tersisa.
Kereta bagasi yang memuat anak panah dalam sejarah militer abad pertengahan di Inggris, selalu dibawa bersamaan dengan pembuat panah atau pandai besi. Mereka akan memproduksi anak panah baru dan memperbaiki anak panah yang rusak.
William Shakespeare menyebut keberadaan "bocah bagasi". Mereka yang umumnya adalah anak laki-laki, akan memberikan anak panah yang sudah jadi kepada kelompok pasukan pemanah tertentu yang sudah ditugaskan.
Hanya saja pertempuran bisa berlangsung lama, bahkan berhari-hari. Akan sulit bagi pemanah yang kehabisan anak panah untuk menunggu perbaikan atau pembuatan anak panah. Belum lagi pergerakan dalam pertempuran bisa berubah, sehingga membuat mereka jauh dari sumber anak panah.
Dalam sejarah militer, pasukan pemanah harus mencari cara untuk terus berjuang. Mereka akan mengumpulkan anak panah dari tentara yang sudah mati atau ditemukan tergeletak di sekitar.
Pemanah akan mencari sisa anak panah dari kawannya yang sudah mati. Sulit jika mereka menggunakan sisa anak panah milik musuh karena panjang, bobot, dan bentuknya bisa jadi berbeda untuk busur mereka.
Namun dalam sejarah militer kebudayaan tertentu, pemanah dilengkapi dengan pedang. Hal ini memungkinkan bagi mereka saat kehabisan anak panah untuk mengesampingkan busurnya dan bergabung dalam pertempuran langsung secara fisik.