Nationalgeographic.co.id—Saat ini banyak terumbu karang di seluruh Indonesia yang mengalami kerusakan karena ulah manusia dan dampak perubahan iklim. Untuk itu, komunitas pesisir diyakini dapat menjadi garda depan untuk menyelamatkan terumbu karang yang di ambang kehancuran.
Sebuah proyek regional yang lebih besar yang disebut Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative) telah digagas. Proyek itu akan melibatkan langsung komunitas pesisir untuk mempertahankan terumbu karang.
Proyek tersebut merupakan kemitraan multilateral enam negara yang bekerja sama untuk melestarikan sumber daya laut dan wilayah pesisir. Sehingga dapat mengatasi isu-isu penting seperti ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati laut.
Proyek tersebut menggandeng komunitas pesisir di Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat, wilayah paling timur Indonesia. Mereka diyakini memainkan peran penting di garis depan perjuangan melestarikan terumbu karang yang terancam oleh aktivitas manusia.
Raja Ampat, yang berarti “Empat Raja,” terdiri dari empat pulau besar – Batanta, Salawati, Misool dan Waigeo. Raja Ampat terletak di jantung Segitiga Terumbu Karang, rumah bagi sekitar 75 persen spesies karang yang dikenal di dunia.
Kawasan laut dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia, Segitiga Terumbu Karang mencakup perairan enam negara – Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Timur, dan Kepulauan Solomon.
Selain dampak buruk perubahan iklim terhadap habitatnya, terumbu karang di Raja Ampat juga terancam oleh aktivitas manusia yang merusak seperti penangkapan ikan.
Konstantinus Saleo, koordinator masyarakat di Desa Yensawai, Distrik Batanta Utara, mengaku menyaksikan terumbu karang di sepanjang pantai desanya hancur akibat praktik penangkapan ikan yang menggunakan potasium.
"Namun masyarakat di Yensawai telah berhasil melakukan transplantasi total 1.600 pecahan karang ke kawasan terumbu seluas 300 meter persegi yang sebelumnya telah rusak akibat perilaku manusia yang merusak," kata Aditya Bramandito, spesialis terumbu karang dari Pusat Kajian Pesisir dan Laut IPB University.
“Dulu, yang terlihat hanyalah kawasan karang yang rusak. Sekarang terlihat seperti taman laut dan banyak ikannya,” kata Saleo yang lahir dan besar di Yensawai.
Transplantasi dimulai pada Maret 2021 dengan menggunakan rangka pipa pada kedalaman 3 hingga 6 meter. Tujuannya untuk memudahkan masyarakat memeriksa kesehatan karang serta membersihkan dan mengganti jika diperlukan, kata Bramandito.
Jelas terlihat bahwa kurangnya kesadaran mengenai terumbu karang dan praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang di Yensawai, katanya.
“Ada pula yang mengambil kerang dengan cara mencongkelnya dari karang. Kerusakan lebih banyak disebabkan oleh perilaku tidak ramah tersebut. Berdasarkan informasi warga setempat, bahan peledak sudah tidak digunakan lagi di sini sejak tahun 2010,” ujarnya.
Pusat universitas telah aktif melakukan pendekatan terhadap komunitas Yensawai sejak tahun 2020. Pusat universitas telah memberikan pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem laut.
Program itu awalnya diprakarsai oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Aktivitas antropogenik merupakan ancaman besar bagi terumbu karang,” kata Direktur Eksekutif ICCTF Tonny Wagey. Selain regulasi, berbagai upaya untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat juga diperlukan untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut akibat ulah manusia, tambahnya.
Wagey mengatakan, keterlibatan masyarakat lokal penting dalam program rehabilitasi ekosistem pesisir. Itu karena mereka dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam untuk masa kini dan masa depan.
Saleo mengatakan dia ingin “melakukan sesuatu yang baik” untuk tanah kelahirannya. Ia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya setelah mendapatkan gelar sarjana di sebuah universitas swasta di pulau Jawa, dibandingkan mengejar karier di sana seperti yang dilakukan banyak anak muda.
Diakui Saleo, perjalanannya menjaga dan melestarikan ekosistem laut di desanya tidak selalu mudah. Ia sempat ditolak sejumlah pihak saat hendak memulai program transplantasi terumbu karang.
Karena minimnya pengetahuan, ia mengatakan, sebagian masyarakat di desanya menganggap karang hanya berupa batu dan tidak mungkin tumbuh. Padahal terumbu karang itu hidup.
"Saat ini, kesadaran dan pengetahuan masyarakat setempat dalam menjaga terumbu karang dan ekosistem laut lainnya berangsur-angsur membaik," kata Saleo.
Dia tidak sendirian dalam proyek perlindungan terumbu karang di Yensawai. Isak Yan Hindom, seorang warga desa berusia 30 tahun mengaku tertarik dengan kegiatan tersebut “karena saya pribadi sangat peduli terhadap lingkungan dan alam, khususnya di desa saya.”
Sebagai koordinator karang di Yensawai, Hindom memantau terumbu karang yang ditransplantasikan dua kali seminggu bersama dengan anggota proyek lainnya untuk memastikan pertumbuhannya baik. Pengecekan dan pengukuran dilakukan empat bulan sekali, ujarnya.
“Alam memberi kita kehidupan” kata Saleo. “Kita harus menjaganya agar tetap eksis. Apa yang kita lihat dan ketahui saat ini, semoga masih dapat dilihat dan dinikmati oleh anak cucu kita di kemudian hari.”
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.