Kehidupan figur publik tersingkap bagi publik dari berbagai platform. Gaya hidupnya sering membawa pandangan ideal bagi masyarakat luas untuk diikuti, terlebih jika memiliki penggemar. Menunjukkan pemeliharaan satwa liar, walaupun dalihnya adalah perlindungan, dapat berdampak domino bagi masyarakat untuk dapat memelihara satwa liar pula.
"Keberadaan mereka (satwa liar) juga terancam karena dengan adanya potret seperti itu, orang kan banyak pingin memiliki satu atau tiga [satwa liar]. Ini yang akhirnya mendukung proses atau operasi jual beli hewan liar," terang Davina.
Mungkin figur publik mendapatkan hewan dari penangkaran, tetapi dengan tampilan gaya hidup demikian merangsang masyarakat untuk mencontoh. Akibatnya, akan ada banyak upaya memiliki satwa liar yang dari perburuan dan perusakan habitat.
"Kayak lingkaran setan. Enggak kelar-kelar. Jadi ada pemburu, ada penjual, ada pemilik. Jadi, ketika demand-nya ada, satu per satu [satwa liar] yang masih ada di alam akan terus ditargetin," lanjut Davina.
"Kepedulian, kekhawatiran menjadi sebuah komoditi. Perburuan ilegal ini semakin lebih banyak karena ini sebuah komoditi. Dan akhirnya orang menjadi memaklumi, jadi normal. Memelihara satwa liar itu jangan dinormalisasikan."
Meski demikian, bukan berarti figur publik harus dijauhi, melainkan perlu dirangkul untuk menciptakan kesadaran. Selama ini mereka juga memiliki tujuan balik untuk memperkenalkan kepada masyarakat dan edukasi tentang satwa liar.
"Maka itu harus pelan-pelan membantu mereka meneruskan edukasi, memaparkan, serta mengingatkannya," kata Ramon. "[Misalnya,] mengajaknya pada forum-forum diskusi terkait, memaparkan data statistik, beserta jurnal-jurnal dampak. Akibatnya bisa menjadi solusi alternatif."
"Susah memang, tettapi perlahan bisa menggiring mereka hijrah," lanjutnya.