Menyadarkan Figur Publik untuk Konservasi Satwa Liar Tanpa Memelihara

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 17 September 2023 | 09:00 WIB
Puspa, bayi orangutan korban penyelundupan satwa liar yang berhasil digagalkan di Kalimantan. Perdagangan satwa liar ada karena minat kepemilikannya tinggi. Salah satu penyebabnya adalah figur publik yang memelihara satwa liar. (BOS Foundation)

Nationalgeographic.co.id—Figur publik yang memelihara satwa liar, sebenarnya memiliki kepedulian akan masalah lingkungan. Mereka menyadari bahwa habitat satwa di alam liar tergerus akibat deforestasi dan peralihan fungsi lahan.

Dalam konten-kontennya, para figur publik menyatakan bahwa satwa liar berada dalam posisi terancam. Sehingga, mereka memutuskan untuk memelihara satwa liar di ruang privat mereka. Mereka berusaha 'mengedukasi' pemirsa dan penggemarnya tentang satwa liar.

Akan tetapi, cara yang mereka terapkan tidak tepat. Ada beberapa hal yang sebenarnya mengharuskan satwa liar tidak boleh berada di ruang privat mereka, walau mereka mengeklaim telah mengantongi izin.

"Legalitas bukanlah sebuah pembenaran absolut. Perlu ditelaah kembali izin tersebut" kata Ramon Y. Tungka, figur publik dan pegiat lingkungan. "Termasuk diperlukan kajian ulang kembali terkait refulasi perihal klasifikasi legalitas."

Dalam gelar wicara Mencintai Satwa Liar Tidak Harus Memiliki yang diselenggarakan oleh Belantara Foundation pada 9 September 2023, Ramon mengakui bahwa ada banyak kenalan sesama figur publik yang memelihara satwa liar. Figur publik lainnya dan sekaligus pegiat perlindungan satwa dari Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation Davina Veronica pun sama.

Memelihara satwa liar bisa berdampak buruk bagi manusia dan satwa liar sendiri. Nur Purba Priambada, dokter hewan dari  Asliqewan (Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, dan Hewan Eksotik Indonesia) mengatakan ancaman yang paling serius adalah penyakit zoonosis.

"Kalau kita lihat secara sejarah umat manusia, wabah yang memakan umat manusia sampai banyak yang meninggal itu umumnya penyakit zoonosis," ujar Purba dalam forum yang sama.

Ramon mengatakan, figur publik yang memelihara satwa liar sudah mengetahui berbagai pandangan kontra. Hanya saja sering menolak dengan berbagai pembelaan dan mencari pembenaraan. 

Ramon lebih memilih argumen pendekatan kepada rekan-rekan figur publik lainnya dengan dampak buruknya kepada manusia. "Tapi terpikir enggak deh kamu (pemengaruh pemelihara satwa liar) untuk kena penyakit zoonosis tadi? Bila itu kena ke keluargamu atau seisi rumah, maka statement apa yang kamu [akan] keluarkan?" ia memberi contoh.

Satwa terbiasa hidup di ekosistem alam liar. Ada banyak bakteri dan virus yang dapat menjadi penyakit yang belum disadari oleh kalangan dokter hewan, bahkan ilmuwan. Purba menjelaskan, penyakit dapat muncul tanpa gejala pada satwa liar walau sudah diperiksa.

"Memang bukan pekerjaan mudah untuk mengingatkan mereka yang mengeklaim sebagai 'orang tua asuh' satwa liar. Itu menandakan bahwa mereka belum mendapatkan pemahaman dampak dari memelihara satwa liar yang dipaksa berpisah dari habitatnya," lanjut Ramon.

Di alam liar, setiap spesies satwa liar punya fungsi dalam keberlangsungan ekosistemnya. Contoh, harimau sebagai predator, punya fungsi untuk menekan populasi babi hutan yang kerap menjadi hama. Contoh lainnya, orangutan berperan untuk menumbuhkan kembali vegetasi setelah membuang biji buah yang dimakan, dan kotorannya dapat menjadi pupuk alami.

Populasi harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) kian menyusut karena ekspansi manusia—perburuan atau konflik dengan warga. Sebuah penelitian mengungkapkan dugaan bahwa ekspansi manusia telah menyebabkan berpindahnya penyakit dari satwa ke manusia. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Kehidupan figur publik tersingkap bagi publik dari berbagai platform. Gaya hidupnya sering membawa pandangan ideal bagi masyarakat luas untuk diikuti, terlebih jika memiliki penggemar. Menunjukkan pemeliharaan satwa liar, walaupun dalihnya adalah perlindungan, dapat berdampak domino bagi masyarakat untuk dapat memelihara satwa liar pula.

"Keberadaan mereka (satwa liar) juga terancam karena dengan adanya potret seperti itu, orang kan banyak pingin memiliki satu atau tiga [satwa liar]. Ini yang akhirnya mendukung proses atau operasi jual beli hewan liar," terang Davina.

Mungkin figur publik mendapatkan hewan dari penangkaran, tetapi dengan tampilan gaya hidup demikian merangsang masyarakat untuk mencontoh. Akibatnya, akan ada banyak upaya memiliki satwa liar yang dari perburuan dan perusakan habitat.

"Kayak lingkaran setan. Enggak kelar-kelar. Jadi ada pemburu, ada penjual, ada pemilik. Jadi, ketika demand-nya ada, satu per satu [satwa liar] yang masih ada di alam akan terus ditargetin," lanjut Davina.

"Kepedulian, kekhawatiran menjadi sebuah komoditi. Perburuan ilegal ini semakin lebih banyak karena ini sebuah komoditi. Dan akhirnya orang menjadi memaklumi, jadi normal. Memelihara satwa liar itu jangan dinormalisasikan."

Meski demikian, bukan berarti figur publik harus dijauhi, melainkan perlu dirangkul untuk menciptakan kesadaran. Selama ini mereka juga memiliki tujuan balik untuk memperkenalkan kepada masyarakat dan edukasi tentang satwa liar.

"Maka itu harus pelan-pelan membantu mereka meneruskan edukasi, memaparkan, serta mengingatkannya," kata Ramon. "[Misalnya,] mengajaknya pada forum-forum diskusi terkait, memaparkan data statistik, beserta jurnal-jurnal dampak. Akibatnya bisa menjadi solusi alternatif."

"Susah memang, tettapi perlahan bisa menggiring mereka hijrah," lanjutnya.

    

Saya Pilih Bumi