Nationalgeographic.co.id—Bentang alam di Gunung Bromo begitu unik. Kawasan wisata dan konservasi ini berupa kaldera berpasir dengan beberapa gunung kecil dan salah satunya bersifat aktif secara vulkanik. Terkadang, gunung ini juga disebut sebagai Kaldera Tengger karena kedekatannya dengan masyarakat suku Tengger.
Saking luasnya kawasan kaldera tersebut, Gunung Bromo berada di dalam empat kabupaten, yakni Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Pasuruan. Di dalamnya menyimpan vegetasi unik dan fauna yang dilindungi, sehingga juga berada dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS).
Bagi masyarakat suku Tengger yang berada di sekitarnya, Gunung Bromo terkadang disebut sebagai Brama atau Brahma seperti nama dewa pencipta dalam agama Hindu. Hal ini membuat gunung tersebut dijadikan tempat suci dan lokasi upacara Yadnya Kasada. Mereka pun mendirikan pura untuk menggelar penghormatan kepada gunung yang disucikan ini.
Menurut mitologi Jawa, asal mula Gunung Bromo berasal dari kisah peninggalan Kerajaan Majapahit (1293—1527). Diceritakan terdapat putra dari seorang brahmana bijak bernama Joko Seger dan seorang putri bangsawan bernama Rara Anteng. Kelak, nama dari dua tokoh mitologi Jawa ini diadaptasi masyarakat sekitar menjadi Tengger.
Rara Anteng merupakan sosok yang cantik, sehingga dipercaya sebagai titisan dewa dalam mitologi Jawa. Kecantikannya terkenal seantero negeri. Banyak dari kalangan pangeran yang jatuh hati dan segera melamarnya. Namun, semua lamaran itu ditolak oleh Rara Anteng.
Kebiasaannya menolak secara langsung tiba-tiba terhenti ketika seorang yang sakti bernama Bajak (sumber lain menyebutnya sebagai Kyai Bima). Rara Anteng sebenarnya tidak berniat menerima lamarannya, tetapi hanya mengajukan persyaratan sebagai upaya menolak. Ia meminta agar dibuatkan lautan pasir di gunung dalam waktu semalam.
Versi lain dari mitologi Gunung Bromo mengungkapkan, Rara Anteng memberikan syarat kepada pertapa sakti itu untuk membuatkan danau di atas Gunung Bromo. Syaratnya, harus selesai dalam waktu semalam, sebelum ayam jantan berkokok.
Bajak yang merupakan seorang sakti dari lereng Gunung Bromo tidak bisa diremehkan. Ia bersedia menerima tantangan membuat hamparan pasir di gunung atau danau di atas Gunung Bromo, sehingga Rara Anteng terkejut dan gelisah.
Rara Anteng pun berbuat curang untuk menggagalkan upaya Bajak. Dia bersama para perempuan di desa segera menabuh lesung dan membakar jerami. Dalam mitologi Jawa terkait asal-usul Gunung Bromo, usaha Rara Anteng bertujuan agar membuat suasana dan langit tampak seperti matahari menjelang terbit.
Upaya ini membuat ayam berkokok seperti pagi. Mendengar suara kokok ayam, Bajak kesal karena dianggap gagal memenuhi syarat untuk menikahi Rara Anteng. Akibatnya, tempurung kelapa atau batok yang digunakan untuk mengeruk pasir dilempar begitu saja. Ketika jatuh, batok tersebut terbalik dan menjadi Gunung Batok yang berada di sebelah barat Pura Luhur Poten.
Sebenarnya, dalam kisah mitologi Jawa tentang Gunung Bromo, Rara Anteng menaruh hati kepada Joko Seger. Dia adalah pemuda yang tampan dan punya kekuatan sakti. Keduanya pun menikah dan tinggal di lereng Gunung Bromo sebagai penguasa negeri.
Sayangnya, mereka berdua tidak kunjung diberi keturunan. Masyarakat mereka pun memberikan pasangan kepada kedua pasangan tersebut untuk bersemadi di Gunung Bromo. Dengan semadi, Sang Pencipta akan mengabulkan harapan mereka untuk memiliki keturunan. Joko Seger dan Rara Anteng pun menuruti saran masyarakatnya.