Nationalgeographic.co.id—Mayoritas penduduk dunia, termasuk penududuk Indonesia, hidup di wilayah pesisir dan memperoleh berbagai manfaat dari fungsi, barang, dan jasa yang disediakan oleh ekosistem laut. Mata pencarian masyarakat pesisir sangat terkait dengan kesehatan ekosistem pesisir dan laut yang menjadi sandaran sebagian besar masyarakat tersebut.
Secara global, sektor perikanan menyediakan sekitar 170 juta lapangan kerja, dan lebih dari 1,5 miliar orang bergantung pada sumber daya laut untuk asupan protein mereka, menurut sebuah makalah studi yang tebit di jurnal Marine Policy pada 2014.
Perikanan skala kecil atau perikanan tradisional memperkerjakan sebagian besar nelayan dunia. Dari nelayan skala kecil, lebih dari seperempatnya menangkap ikan di terumbu karang, dan setengah dari seluruh nelayan terumbu karang ditemukan di Asia Tenggara.
Namun, ekosistem laut di banyak wilayah di dunia menunjukkan tanda-tanda degradasi yang mengkhawatirkan. Meningkatnya permintaan terhadap sumber daya pesisir dan laut, terutama di daerah tropis, telah menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang luas dan terkadang tidak dapat diperbaiki, sekaligus membahayakan penghidupan.
Situasi ini sangat parah di Asia Tenggara, dengan lebih dari 90% terumbu karangnya terancam oleh ancaman lokal. Jumlah stok ikan laut menipis menjadi sekitar sepertiganya.
Dalam laporan tahun 2008 ‘The Sunken Billions’, total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penurunan stok ikan global diperkirakan mencapai sekitar dua triliun dolar selama 3 dekade terakhir. Hilangnya fungsi, barang dan jasa yang disediakan ekosistem laut merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan pembangunan.
Makalah studi bertajuk "Coastal livelihood vulnerability to marine resource degradation: A review of the Indonesian national coastal and marine policy framework" secara spesifik membahas tiga aspek kerentanan mata pencarian pesisir di Indonesia. Ketiganya adalah paparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif.
Secara lebih lanjut para peneliti gabungan dari Jerman dan Indonesia dalam studi tersebut mengulas kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam memitigasi kerentanan tersebut.
"Temuan-temuan yang ada menunjukkan bahwa lingkungan kebijakan untuk mengatasi kerentanan penghidupan pesisir sangat didasarkan pada pengembangan kapasitas adaptif dan sensitivitas sampai batas tertentu tanpa mengatasi paparan yang merupakan penyebab awal kerentanan secara memadai," tulis para peneliti.
"Selain itu, kompleksitas dan inkonsistensi dalam struktur pemerintahan Indonesia, serta permasalahan umum mengenai kesenjangan pendanaan dan koordinasi yang buruk, menyebabkan kebijakan yang dibuat di tingkat nasional jarang memberikan manfaat yang diharapkan bagi masyarakat pesisir."
Para peneliti menyimpulkan bahwa terdapat kurangnya kohesi dan keseimbangan dalam strategi untuk mengatasi tiga pilar kerentanan. Oleh karena itu mereka kemudian menyarankan agar para praktisi dan pembuat kebijakan menggunakan pendekatan yang lebih kohesif dan seimbang dalam mengatasi kerentanan mata pencaharian dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Pendekatan yang dimaksud diharapakan "lebih berfokus pada penyebab penyakit, paparan penyakit, dibandingkan hanya menyembuhkan gejalanya saja."
"Sejauh ini tampaknya kerangka kebijakan nasional hanya berfokus pada mengatasi gejala-gejala tersebut (dengan menguraikan langkah-langkah untuk menangani sensitivitas dan kapasitas adaptif) tanpa mempertimbangkan secara memadai salah satu penyebab utama kerentanan (paparan)," tulis mereka.
"Pendekatan yang lebih holistik dan seimbang perlu dilakukan agar kerangka kebijakan Indonesia tepat dan efektif dalam mengatasi kerentanan masyarakat pesisir terhadap degradasi sumber daya laut," tegas para peneliti.
Lebih rinci para peneliti menyebut bahwa jumlah terbesar yang disebutkan dalam seluruh intervensi kebijakan pemerintah Indonesia adalah langkah-langkah yang bertujuan untuk membangun kapasitas adaptif masyarakat pesisir, diikuti dengan langkah-langkah untuk mengatasi kepekaan mereka terhadap perubahan. Sedikit sekali referensi yang diberikan untuk menangani paparan awal masyarakat pesisir terhadap degradasi sumber daya laut.
"Memperkuat kesehatan ekosistem, melarang praktik penangkapan ikan yang merusak, dan menguraikan prosedur hukum jika tidak ada kepatuhan tampaknya tidak memiliki pengaruh yang sama dengan pembangunan melalui peningkatan kapasitas, peningkatan kesehatan dan pendidikan manusia, serta menyediakan sarana ekonomi untuk terus melakukan penangkapan ikan, bahkan penangkapan ikan secara lebih intensif," tulis mereka.
"Hal ini mungkin tidak mengherankan mengingat kapasitas adaptif merupakan aspek kerentanan yang paling mudah dipengaruhi melalui intervensi kebijakan. Selain itu, mengurangi paparan terhadap degradasi sumber daya mungkin memerlukan tindakan di tingkat internasional (misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca) atau berpikir di luar kerangka kebijakan konvensional dengan mendukung mata pencarian yang tidak bergantung pada sumber daya laut."
Padahal, mengatasi aspek paparan akan memberikan peluang untuk mengurangi aspek sensitivitas dan meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat pesisir terhadap degradasi sumber daya laut.
Menurut para penelit, melangkah maju dengan langkah-langkah untuk membangun kapasitas adaptif dan mengurangi sensitivitas tanpa mengatasi paparan sama saja dengan mengobati penyakit dengan menyembuhkan gejalanya, bukan menyembuhkan penyakit yang mendasarinya. Sebab, aspek paparan lah yang sebenarnya menjadi sumber penyakit yang mendasarinya.
"Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam intervensi yang dapat secara efektif mengatasi permasalahan kerentanan masyarakat pesisir," simpul para peneliti.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.