Sisir Pesisir: El Nino Mendorong Perubahan Iklim di Laut Lebih Panas

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 26 September 2023 | 11:00 WIB
Tepian padang lamun di Pulau Kelelawar, dekat Pulau Seram, Maluku. Lamun merupakan produsen oksigen terpenting di planet ini. Keberadaannya terancam dengan suhu panas global. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Dua per tiga luas kawasan permukaan Bumi adalah lautan. Wilayah kedaulatan Indonesia sendiri 75 persen adalah laut tropis. Dari angka itu, kita mengetahui bahwa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menggantungkan kebutuhannya pada luasnya laut.

Belakangan, kita menyadari bahwa kawasan perairan berbahaya. Pada awal tahun 2023 yang diawali dengan gelombang panas, para ilmuwan memperingati fenomena serupa juga terjadi di bawah laut. Gelombang panas bawah laut mengancam terumbu karang yang sangat diperlukan dalam ekosistem bawah laut dan pesisir.

Menurut laporan IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada Oktober 2021, permukaan air laut terus naik selama 10 tahun belakangan. Hal ini menyebabkan kondisi cuaca ekstrem seperti siklon tropis, badai, dan mengganggu siklus air yang mendorong banjir dan kekeringan lebih sering.

Tahun ini siklus iklim Samudra Pasifik bernama El Nino datang kembali, setelah sebelumnya menerpa pada 2015—2016. El Nino membuat suhu rata-rata lautan di seluruh dunia meningkat dan menghasilkan gelombang panas laut.

Menurut sebuah studi tahun 2015, selama 32 tahun sebelumnya, perairan di Indonesia memiliki rata-rata kenaikan suhu variatif. Angkanya bisa menyebtuh lebih dari 2,5 derajat celsius pada musim tertentu. Peningkatan suhunya terus bertambah dari tahun ke tahun, terutama di perairan utara Papua.

Suhu panas rata-rata laut semakin parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan suhu akibat El Nino kali ini bisa berlangsung lebih lama, sehingga sangat mengancam kehidupan laut dan pesisir.

NASA, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dan sejumlah satelit internasional melaporkan pada 31 Agustus 2023 tentang kenaikan suhu permukaan laut. Dalam laporannya, anomali suhu permukaan laut pada 21 Agustus 2023 berkisar 3 derajat celsius, terutama pada wilayah tengah dan timur Pasifik.

"Seperti yang telah terjadi selama berminggu-minggu, sejumlah besar air hangat juga terdapat di Pasifik Barat Laut dekat Jepang dan Pasifik Timur Laut dekat California dan Oregon. Sebagian Samudera Hindia, Selatan, dan Arktik juga menunjukkan kehangatan yang tidak biasa," tulis laporan tersebut.

Mei lalu, WMO (Badan Meteorologi Dunia) melaporkan bahwa 66 persen suhu permukaan laut di dunia pada 2023 hingga 2027 akan lebih dari 1,5 derajat celsius di atas suhu sebelumnya. 

"Ini tidak berarti bahwa dalam lima tahun ke depan kita akan melampaui tingkat 1,5 derajat celsius yang ditentukan dalam Kesepakatan paris, karena perjanjia tersebut mengacu pada pemanasan jangka panjang selama bertahun-tahun," kata Chris Hewit, Direktur Pelayanan Iklim WMO.

"Namun, hal ini merupakan sebuah peringatan, atau peringatan dini bahwa kita belum mengambil arah yang benar untuk membatasi pemanasan hingga mencapai target yang ditetapkan di Paris pada 2015 yang dirancang untuk mengurangi dampak perubahan iklim secara signifikan," lanjutnya dalam rilis WMO 4 Juli 2023.

Ancaman konservasi laut dan pesisir

Dengan berbagai laporan di atas, El Nino telah menjadi pelajaran dalam peradaban manusia. Laporan ini membuktikan bahwa kawasan perairan Samudra Pasifik tropis, sekitar Australia, dan dekat Samudra Hindia, termasuk Indonesia, sangat rentan akan kehilangan habitat laut besar-besaran.

Terumbu karang dan padang rumput laut yang memenuhi kawasan Indonesia dan Australia adalah salah satu yang rentan. Bagi manusia, tentunya berdampak pada industri perikanan dan pariwisata, sehingga penting bagi pemeritnah di negara-negera terdampak membuat rencana respons lokal untuk mengelola gelombang panas pesisir dan laut.

“Tahun ini, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat menggunakan sistem peringatan dini skala musiman,” tulis para peneliti dalam jurnal Oceanography tahun 2016.

"Dengan waktu tunggu beberapa bulan, untuk memberikan pengarahan mengenai gelombang panas laut kepada lembaga konservasi, industri perikanan dan akuakultur, dan masyarakat."

Industri perikanan harus bersiap menghadapi gelombang panas yang dapat terjadi pada musim terduh sekalipun. Dengan adanya peningkatan suhu permukaan yang memicu gelombang panas, perikanan akan akan terganggu dalam hal waktu panen dan kualitas ikan "bersiap menghadapi wabah penyakit".

“Yang mengkhawatirkan, krisis iklim pada akhirnya dapat menyebabkan lautan mencapai kondisi gelombang panas permanen dibandingkan dengan data dasar sejarah, dan beberapa wilayah mungkin tidak lagi mendukung spesies dan ekosistem tertentu," lanjut para ilmuwan.

"Ekosistem yang muncul mungkin tidak berfungsi dan merespons air hangat dengan cara yang dapat diantisipasi.”

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih BumiSisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.