Banyak yang Ingin Naik Gunung, Pariwisata Berkelanjutan Harus Dijalankan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 29 September 2023 | 12:00 WIB
Ribuan pendaki berada di puncak Gunung Prau, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pendakian gunung digemari banyak orang. Demi mempertahankan kelestarian dan kebersihan alamnya, pariwisata berkelanjutan seperti ekowisata harus diterapkan. (Nazar Nurdin/Kompas.com)

Nationalgeographic.co.id—Gunung seperti 'benteng' pertahanan terakhir bagi satwa liar di Indonesia. Hutan tropis di gunung begitu terjaga, sehingga kehidupan ekosistem liar masih lestari. Satwa liar terpaksa untuk tinggal di daratan yang lebih tinggi dengan suasana asri, karena lahan di kaki gunung sudah tidak memumpuni untuk tinggal.

Keasrian ekosistem gunung disebabkan karena letaknya yang tinggi dan jauh dari gangguan manusia. Ditambah lagi pada gunung vulkanik, yang setiap erupsinya mengeluarkan material penyubur tanah pada lerengnya.

Sedangkan manusia, tidak henti-hentinya menjelajah. Kehidupan peradaban mereka membutuhkan aktivitas berwisata ke penjuru dunia. Mereka memiliki kebutuhan mengisi waktu luang untuk menenangkan pikiran dari aktivitas menjenuhkan yang mereka buat sendiri sistemnya.

Aktivitas berwisata masuk ke gunung. Secara psikologis, mendaki gunung punya manfaat bagi kesehatan mental.

Menurut Opration & Safety Director Karash Adventure & Training, Vicky Gosal, melihat bahwa tren pariwisata pendakian gunung berubah. Sebelumnya, gunung hanya dikunjungi oleh para pendaki, pencinta petualangan, atau kalangan pencinta alam. Belakangan, masyarakat umum punya minat terhadap bidang ini.

"Trennya seperti ini—klien (wisatawan yang memanfaatkan industri wisata) seperti ini, mereka menuntut ini, menuntut ini," ujarnya dalam Indonesia Mountain Tourism Conference yang diselenggarakan di Jakarta, 27 September 2023.

Wisatawan awam yang memanfaatkan jasa pendakian gunung menuntut fasilitas memadai seperti tenda yang nyaman dan hangat, makanan enak yang disajikan, porter, dan pemandu yang sigap serta berpengalaman. Kondisinya berbeda dengan dulu, di mana pendaki penikmat petualangan mendaki sendiri dengan peralatan sederhana.

Sekitar 2005—2015, aktivitas pariwisata mendaki gunung semakin masif, terutama setelah dipopulerkan dalam budaya kontemporer. Dampak dari pariwisata masif ini adalah ancaman ekologi, maraknya kecelakaan pendaki, dan kotornya lingkungan gunung.

Hal itulah yang melatari munculnya bisnis wisata pendakian. Sedangkan untuk menjaga keasrian alam sekitar gunung, konsep ekowisata dipopulerkan dan harus diterapkan di lokasi wisata pendakian.

Bromo-Tengger-Semeru adalah kawasan tiga serangkai Destinasi Prioritas. Ketiganya tercakup dalam taman nasional dengan flora fauna dilindungi, dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Network of Biosphere Reserves. Salah satu keunikan tempat ini ialah kaldera Gunung Bromo yang berada dalam kaldera. (Titik Kartitiani/National Geographic Indonesia)

Pandemi COVID-19 yang membuat aktivitas berwisata dalam negeri sempat lesu, membuka tren baru dalam industri pariwisata. Dalam bidang pendakian gunung, masyarakat tidak bisa mengunjungi beberapa gunung tinggi akibat pembatasan gerak.

Vicky mengungkapkan, tren pendakian gunung menular ke beberapa gunung dengan ketinggian rendah dan kurang populer. Dengan tren ini, potensi industri pariwisata gunung pun bertambah.

"Ada peluang buat pemerintah daerah untuk income," terang Vicky. "Jadi tren pendakian pendek, dan punya peluang atau punya market yang cukup baik." Berbagai gunung yang kini menjadi pilihan alternatif berwisata punya pemandangan 'dramatik' yang punya potensi minat yang tinggi.

Akan tetapi, potensi destinasi wisata gunung baru juga punya potensi ancaman pariwisata masif. Pada akhirnya, punya dampak pada alam, walau minat menjelajahi alam bertumbuh.

Oleh karena itu, dalam ajang Indonesia Mountain Tourism Conference yang diadakan oleh Asosiasi Pendaki Gunung Indonesia (APGI) bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Indonesia, menaruh perhatian pada pariwisata berkelanjutan.

Dalam ajang tersebut, para pegiat alam dan industri pariwisata berkumpul untuk mempertimbangkan pariwisata berkelanjutan yang harus diterapkan, salah satunya dengan ekowisata.

Keanekaragaman hayati harus dapat meningkatkan kesejahteraan warga di sekitarnya. Ekowisata pengamatan burung menjadi cara pelestarian alam yang berkelanjutan di Tablasupa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Dengan pariwsata berkelanjutan, pariwisata pendakian gunung tidak hanya menyajikan lingkungan indah dari ketinggian gunung dan mencegah kerusakan lingkungan. Jatna Supriatna, peneliti konservasi lingkungan dan profesor biologi di Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa pariwisata berkelanjutan punya manfaat bagi wisatawan.

Melalui pariwisata berkelanjutan dengan konsep ekowisata, terdapat wisata minat khusus untuk mengetahui satwa endemik. Ada banyak pencinta satwa liar yang selalu penasaran dengan keberadaan mereka di alam liar.

"Itu makanya kalau sport tourism satu minggu, itu selesai [aktivitasnya di atas gunung], tetapi untuk wildlife seperti burung dan sebagainya, itu akan jauh lebih dari seminggu," kata Jatna. Aktivitas ini menumbuhkan rasa penasaran dan konservasi lingkungan alam sekitar. Di satu sisi, wisatawan bisa lebih lama dalam kunjungan.

Jatna memberi contoh salah satu ekowisata yang sedang terjadi di Gunung Tangkoko, Sulawesi Utara. Di sana, terdapat tarsius, primata terkecil di dunia dan hanya satu-satunya di Indonesia. Tarsius menjadi daya tarik wisatawan, terutama dari luar negeri untuk berkunjung dalam waktu yang lama, demi mengamatinya.

"Mungkin, teman-teman guide ini nanti ada training bahwa ada sesuatu yang sangat menarik di gunung. Tidak lagi hanya sekadar olahraga (hiking), tetapi juga kita betul-betul bisa melebarkan [pemahaman manfaat pariwisata gunung]," lanjutnya.

Dalam pertemuan besar itu, APGI dan Kemenparekraf merumuskan Prinsip Wisata Gunung Indonesia Berkelanjutan. Prinsip tersebut ditandatangani oleh Rahman Mukhlis, Ketua Umum APGI, bersama Itok Parikesit, Direktur Wisata Minat Khusus Kemenparekraf.

Prinsip yang dirumuskan antara lain berhubungan dengan pengembangan industri pariwisata yang menghargai lingkungan gunung, menerapkan investasi hijau, memberdayakan masyarakat dan menghargai kearifan lokal, dan pengembangan infrastruktur.