Kisah Ibnu Batutah, Penjelajah Legendaris dalam Sejarah Dunia

By Sysilia Tanhati, Senin, 9 Oktober 2023 | 09:00 WIB
Dalam sejarah dunia, Ibnu Batutah merupakan salah satu penjelajah terkenal. Ia menghabiskan separuh hidupnya untuk berkelana ke banyak tempat. (Léon Benett)

Nationalgeographic.co.id—Gelar penjelajah paling terkenal dalam sejarah dunia biasanya diberikan kepada Marco Polo. Ia adalah musafir besar Venesia yang mengunjungi Tiongkok pada abad ke-13.

Namun, dalam hal jarak yang ditempuh, Marco Polo ternyata jauh tertinggal bila dibandingkan dengan cendekiawan Muslim Ibnu Batutah. Ibnu Batutah menghabiskan separuh hidupnya menjelajahi wilayah yang luas di belahan bumi timur.

Bergerak melalui laut, dengan karavan unta, dan berjalan kaki, Ibnu Batutah berkelana ke lebih dari 40 negara. Sang penjelajah sering kali menempatkan dirinya dalam bahaya ekstrem hanya untuk memuaskan nafsu berkelananya.

Ketika akhirnya kembali ke rumah setelah 29 tahun berkelana, dia menuliskan kisahnya. “Kisah petualangannya dituangkannya dalam sebuah buku perjalanan raksasa yang dikenal sebagai Rihla,” ungkap Evan Andrews di laman History.

Meskipun para sarjana modern sering mempertanyakan kebenaran tulisannya, Rihla adalah menjadi gambaran menarik tentang dunia pengembaraan di abad ke-14.

Ibnu Batutah, penjejalah masyhur dalam sejarah dunia

Lahir di Tangier, Maroko, Ibnu Batutah tumbuh besar di tengah keluarga hakim. Pada tahun 1325, pada usia 21 tahun, ia meninggalkan tanah airnya menuju Timur Tengah. Batutah berniat menunaikan ibadah hajinya. Di saat yang sama, ia juga ingin mempelajari hukum Islam di sepanjang perjalanannya.

“Saya berangkat sendirian,” tulisnya kemudian, “tanpa ditemani oleh seorang musafir atau karavan rombongan. Saya terombang-ambing oleh dorongan hati yang berlebihan dan hasrat terpendam untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang termasyhur ini.”

Batutah memulai perjalanannya dengan menunggangi seekor keledai sendirian. Ia kemudian bergabung dengan karavan peziarah yang berkelok-kelok ke arah timur melintasi Afrika Utara. Rutenya terjal dan dipenuhi bandit.

Dalam perjalanan, pengelana muda itu terserang demam yang sangat parah. “Ia terpaksa mengikat dirinya ke pelana agar tidak terjatuh,” tambah Andrews. Di salah satu persinggahannya, Batutah menikahi seorang wanita muda. Wanita itu adalah istri pertama dari 10 istri yang pada akhirnya akan dinikahinya. Istri pertamanya itu kemudian diceraikannya selama perjalanannya.

Di Mesir, Batutah mempelajari hukum Islam dan berkeliling Aleksandria dan kota metropolitan Kairo. Batutah menyebut Mesir sebagai wilayah yang tak tertandingi dalam keindahan dan kemegahannya. Dari sana, Batutah melanjutkan perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadahnya.

Setelah menyelesaikan ziarahnya, ia memutuskan untuk terus mengembara di dunia Muslim atau “Dar al-Islam”.

Mimpi yang membawa Ibnu Batutah berkelana

Batutah mengaku didorong oleh mimpi di mana seekor burung besar membawanya dengan sayapnya. Dalam mimpinya, ia melakukan penerbangan jauh ke arah timur. “Sang burung meninggalkan saya di sana,” tulisnya. Seorang suci telah menafsirkan mimpi itu sebagai pertanda bahwa Batutah akan berkelana melintasi bumi. Pemuda asal Maroko itu bermaksud untuk menggenapi ramalan tersebut.

Beberapa tahun berikutnya adalah perjalanan yang penuh tantangan bagi Batutah. Dia bergabung dengan karavan dan berkeliling Persia dan Irak. Batutah kemudian berkelana ke utara menuju tempat yang sekarang disebut Azerbaijan.

Setelah singgah di Mekah, ia melakukan perjalanan melintasi Yaman dan melakukan perjalanan laut ke Tanduk Afrika. Dari sana, ia mengunjungi kota Mogadishu di Somalia. Sang penjelajah akhirnya melanjutkan ke bawah garis khatulistiwa dan menjelajahi pesisir Kenya dan Tanzania.

Perjalanan panjang menuju ke India

Setelah meninggalkan Afrika, Batutah menyusun rencana untuk melakukan perjalanan ke India. Ia berharap mendapatkan jabatan yang menguntungkan sebagai qadi atau hakim Islam di India. Batutah mengikuti rute berkelok-kelok ke timur, pertama melewati Mesir dan Suriah sebelum berlayar ke Turki.

Batutah mengandalkan statusnya sebagai ulama untuk mendapatkan keramahtamahan dari penduduk setempat. Di banyak titik dalam perjalanannya, dia dihujani hadiah berupa pakaian bagus, kuda, dan bahkan selir dan budak.

Dari Turki, Batutah menyeberangi Laut Hitam dan memasuki wilayah kekuasaan Golden Horde Khan yang dikenal sebagai Uzbeg. Dia disambut di istana Uzbeg. Batutah tinggal di Bizantium selama sebulan dan mengunjungi Hagia Sophia. Ia bahkan menerima audiensi singkat dengan Kaisar Bizantium.

Batutah selanjutnya melakukan perjalanan ke timur melintasi padang rumput Eurasia sebelum memasuki India melalui Afghanistan dan Hindu Kush.

Tiba di Delhi pada tahun 1334, ia mendapatkan pekerjaan sebagai hakim Muhammad Tughluq, seorang sultan yang berkuasa. Batutah menghabiskan beberapa tahun dalam pekerjaan yang nyaman. Ia bahkan menikah dan memiliki anak. Tapi Batutah akhirnya menjadi waspada terhadap sultan.

Sang sultan dikenal kerap melukai dan membunuh musuh-musuhnya. “Ia terkadang melemparkan mereka ke gajah dengan pedang menempel di gadingnya,” Andrews menambahkan lagi.

Penjelajah masyhur dalam sejarah dunia melakukan perjalanan ke Kekaisaran Tiongkok

Kesempatan untuk melarikan diri akhirnya muncul pada tahun 1341. Saat itu sultan memilih Batutah sebagai utusannya ke Kekaisaran Tiongkok. Masih haus akan petualangan, penjelajah Maroko itu berangkat memimpin karavan besar yang penuh dengan hadiah dan budak.

Perjalanan ke timur terbukti menjadi babak paling mengerikan dalam pengembaraan Batutah. Pemberontak Hindu mengganggu kelompoknya selama perjalanan ke pantai India. Konon Batutah kemudian diculik dan dirampok. Tidak ada yang tersisa kecuali celana yang dikenakannya.

Batutah berhasil mencapai pelabuhan Kalikut. Tapi saat berlayar, kapalnya terhempas ke laut dalam badai dan tenggelam. Kecelakaan menewaskan banyak orang di rombongannya.

Rentetan bencana menjadi aib bagi Batutah. Namun, dia enggan kembali ke Delhi dan menghadapi sultan. Karena alasan itu, Batutah pun memilih untuk melakukan perjalanan laut ke selatan menuju kepulauan Samudra Hindia di Maladewa. Dia tetap tinggal di pulau-pulau indah itu selama setahun berikutnya.

DI Maladewa, ia pun menikahi beberapa wanita dan sekali lagi menjabat sebagai hakim. Batutah mungkin akan tinggal lebih lama lagi di Maladewa jika ia tidak mendapatkan masalah. “Setelah berselisih dengan para penguasa Maladewa, ia melanjutkan perjalanannya ke Kekaisaran Tiongkok,” kata Andrews.

Setelah singgah di Sri Lanka, ia menaiki kapal dagang melintasi Asia Tenggara. Pada tahun 1345, 4 tahun setelah pertama kali meninggalkan India, ia tiba di pelabuhan Quanzhou yang ramai di Kekaisaran Tiongkok.

Batutah menggambarkan Tiongkok sebagai kekaisaran teraman dan terbaik bagi para pengelana. Sang penjelajah pun memuji keindahan alamnya. Di Tiongkok, sang penjelajah Maroko itu tetap dekat dengan komunitas Muslim.

Dalam catatannya, ia hanya memberikan gambaran samar-samar tentang kota-kota besar. Misalnya Hangzhou yang ia sebut sebagai “kota terbesar yang pernah saya lihat di muka bumi.”

Sejarawan masih memperdebatkan seberapa jauh ia pergi. Batutah mengaku telah menjelajahi utara hingga Beijing dan melintasi Grand Canal yang terkenal.

Akhir petualangan sang penjelajah

Kekaisaran Tiongkok menandai awal dari berakhirnya perjalanan Batutah. Setelah mencapai ujung dunia yang dikenal, ia akhirnya berbalik dan melakukan perjalanan pulang ke Maroko. Ia tiba di Tangier pada tahun 1349.

Kedua orang tua Batutah telah meninggal pada saat itu. Konon ia hanya tinggal sebentar sebelum kembali melakukan perjalanan ke Spanyol. Batutah kemudian memulai perjalanan panjang melintasi Sahara ke Kekaisaran Mali, di mana dia mengunjungi Timbuktu.

Batutah tidak pernah membuat catatan perjalanan selama petualangannya. Tapi ketika ia kembali ke Maroko untuk selamanya pada tahun 1354, sultan memerintahkannya untuk menyusun catatan perjalanan. (Osama Shukir Muhammed Amin)

Batutah tidak pernah membuat catatan perjalanan selama petualangannya. Tapi ketika ia kembali ke Maroko untuk selamanya pada tahun 1354, sultan memerintahkannya untuk menyusun catatan perjalanan.

Batutah pun menghabiskan tahun berikutnya mendiktekan ceritanya kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayy. Hasilnya adalah sebuah sejarah lisan yang disebut Hadiah bagi Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keajaiban Perjalanan. Catatan perjalanan itu juga dikenal dengan sebutan Rihla (atau “perjalanan”).

Rihla tidak terlalu populer pada zamannya. Namun buku tersebut kini menjadi salah satu kisah dunia Islam abad ke-14 yang paling jelas dan luas cakupannya.

Setelah Rihla ditulis, Ibnu Batutah lenyap dari catatan sejarah dunia. Ia diyakini pernah bekerja sebagai hakim di Maroko dan meninggal sekitar tahun 1368. Hanya sedikit yang diketahui tentang dirinya. Tampaknya setelah menghabiskan seumur hidup di jalan, pengembara hebat itu akhirnya puas tinggal di satu tempat.