Tecmessa dan para prajurit kemudian mencoba menemukan Ajax, tetapi tragisnya mereka terlambat. Pahlawan perang itu memang telah menguburkan pedangnya tetapi dengan menusukkan dirinya ke pedang itu.
Sebelum bunuh diri, Ajax menyerukan pembalasan terhadap putra Menelaus dan Agamemnon serta seluruh tentara Yunani.
Teucer memerintahkan agar putra Ajax dibawa kepadanya agar dia aman dari musuh-musuhnya. Menelaus muncul dan memerintahkan tubuh Ajax tidak dipindahkan.
Perselisihan sengit terjadi terkait penanganan mayat Ajax. Agamemnon dan Menelaus ingin membiarkan mayatnya, sementara saudara tiri Ajax, Teucer, ingin menguburkannya secara terhormat.
Odysseus tiba dan membujuk Agamemnon dan Menelaus untuk mengizinkan pahlawan perang tersebut mendapatkan pemakaman yang layak.
Sang kesatria menunjukkan bahwa musuh pun patut dihormati jika mati. Drama tersebut kemudian diakhiri dengan Teucer yang mengatur penguburannya.
Tahapan psikologis pahlawan perang
Sophocles memberikan perhatian khusus pada tahapan psikologis yang dilalui sang pahlawan. Dari kegilaan ke keadaan rasional dan realisasi realitas menyedihkan dan dari sana muncul kemarahan dan keputusasaan.
Para penulis mitologi Yunani menunjukkan pengetahuan mendalam tentang psikologi manusia. Mereka menyajikan kepada pembacanya proses mental prajurit yang mengalami trauma dengan cara yang brilian.
Pada penampilan pertamanya, Ajax dirasuki euforia berlebihan. Orang-orang Yunani kuno sangat menyadari gangguan mental tersebut dan mengkategorikannya sebagai “mania”, “menos”, “estrus”, atau “kemarahan”.
Definisi tersebut untuk menggambarkan cakupan kemarahan yang luas, mulai dari kemarahan yang wajar hingga kegilaan.