Nationalgeographic.co.id—Kisah Ajax adalah sebuah tragedi dalam mitologi Yunani yang ditulis oleh Sophocles pada abad ke-5 SM. Sophocles adalah penulis kisah tragedi terbesar kedua dari 3 orang di Yunani kuno.
Kisah Ajax mengisahkan tentang seorang pahlawan Yunani yang berhasil dalam Perang Troya. Namun ia terdorong untuk melakukan bunuh diri karena terlalu kuat mendalami penderitaan perang.
Hal ini juga berkaitan dengan tantangan berat yang dihadapi tentara ketika pulang dari perang, baik mereka dalam keadaan selamat atau terluka.
Bersamaan dengan Iliad dan Odyssey karya Homer, Ajax (Aias dalam bahasa Yunani) menyelidiki kisah perang dan konsekuensinya, sebuah tema yang menjadi fondasi budaya dan masyarakat Barat.
Alur kisah Ajax dalam Mitologi Yunani
Setelah prajurit besar Achilles tewas dalam pertempuran, Ajax merasa seharusnya dia diberikan baju besi Achilles. Itu karena sekarang, ia dianggap sebagai prajurit Yunani terhebat.
Namun, dua raja, Agamemnon dan Menelaus, malah menghadiahkan baju besi itu kepada Odysseus. Hal itu membuat Ajax sangat marah sehingga dia memutuskan untuk membunuh mereka.
Athena, dewi kebijaksanaan, kemudian mengganggu dan menipu Ajax. Alih-alih membunuh kedua raja tersebut, dia malah membunuh rampasan tentara Yunani, termasuk ternak dan juga para penggembala.
Ajax kemudian menyembelih hewan dan para penggembala, tetapi tiba-tiba dia sadar dan menyadari apa yang telah dia lakukan.
Karena merasa malu, dia memutuskan untuk bunuh diri. Namun selirnya, Tecmessa, memohon padanya untuk tidak meninggalkan dia dan anak mereka, Eurysaces, tanpa perlindungan.
Karena merasa tersiksa, Ajax memberikan perisainya kepada putranya, dan meninggalkan mereka. Ia mengatakan bahwa dia akan keluar untuk menyucikan dirinya dan mengubur pedang yang diberikan kepadanya oleh Hector.
Saudara tiri Ajax yang bernama Teucer ikut ambil bagian. Teucer telah belajar dari peramal Calchas bahwa Ajax tidak boleh meninggalkan tendanya sampai akhir hari atau dia akan mati.
Tecmessa dan para prajurit kemudian mencoba menemukan Ajax, tetapi tragisnya mereka terlambat. Pahlawan perang itu memang telah menguburkan pedangnya tetapi dengan menusukkan dirinya ke pedang itu.
Sebelum bunuh diri, Ajax menyerukan pembalasan terhadap putra Menelaus dan Agamemnon serta seluruh tentara Yunani.
Teucer memerintahkan agar putra Ajax dibawa kepadanya agar dia aman dari musuh-musuhnya. Menelaus muncul dan memerintahkan tubuh Ajax tidak dipindahkan.
Perselisihan sengit terjadi terkait penanganan mayat Ajax. Agamemnon dan Menelaus ingin membiarkan mayatnya, sementara saudara tiri Ajax, Teucer, ingin menguburkannya secara terhormat.
Odysseus tiba dan membujuk Agamemnon dan Menelaus untuk mengizinkan pahlawan perang tersebut mendapatkan pemakaman yang layak.
Sang kesatria menunjukkan bahwa musuh pun patut dihormati jika mati. Drama tersebut kemudian diakhiri dengan Teucer yang mengatur penguburannya.
Tahapan psikologis pahlawan perang
Sophocles memberikan perhatian khusus pada tahapan psikologis yang dilalui sang pahlawan. Dari kegilaan ke keadaan rasional dan realisasi realitas menyedihkan dan dari sana muncul kemarahan dan keputusasaan.
Para penulis mitologi Yunani menunjukkan pengetahuan mendalam tentang psikologi manusia. Mereka menyajikan kepada pembacanya proses mental prajurit yang mengalami trauma dengan cara yang brilian.
Pada penampilan pertamanya, Ajax dirasuki euforia berlebihan. Orang-orang Yunani kuno sangat menyadari gangguan mental tersebut dan mengkategorikannya sebagai “mania”, “menos”, “estrus”, atau “kemarahan”.
Definisi tersebut untuk menggambarkan cakupan kemarahan yang luas, mulai dari kemarahan yang wajar hingga kegilaan.
Mereka yang dirasuki kegilaan, atau amarah, dapat mengalami delusi, ketakutan yang tidak rasional, amnesia sementara, dan agresi. Orang tersebut bahkan dapat melakukan tindakan kekerasan, termasuk membunuh manusia dan/atau hewan.
Mereka juga menunjukkan tanda-tanda keterasingan, termasuk meninggalkan kota dan kontak sosialnya, serta mengalami gangguan fisik dan depresi.
Ada model modern dalam psikologi yang mendefinisikan kegilaan. Hal serupa juga dapat dengan mudah ditemukan di zaman kuno.
Janganlah kita lupa bahwa pada abad ke-5 SM, pengobatan Hippocrates dan kelompoknya berkembang pesat di Athena.
Selain itu, pengobatan ajaib yang dilakukan para pendeta Asclepius mungkin telah memengaruhi penggambaran puitis tentang “penyakit mental” oleh para penyair kuno.
Dalam karya-karya yang ditulis pada abad ke-5 SM, penyakit mental disebabkan oleh kekuatan eksogen.
Interpretasi penyakit mental oleh para penulis
Sejak Homer, penyakit mental dipandang sebagai campur tangan kekuatan dunia lain dalam kehidupan manusia dalam mitologi yunani. Penyakit mental memengaruhi pemikiran dan perilaku sang pahlawan.
Bagaimanapun juga, Sophocles mengisyaratkan tanggung jawab sang pahlawan sendiri atas kondisi mentalnya. Ajax sendiri yang bertanggung jawab atas serangan mematikan terhadap musuhnya, bukan sang dewi.
Athena sebenarnya menengahi untuk mencegah pembunuhan tersebut. Selanjutnya, ketika sang pahlawan kembali ke keadaan rasional, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya secara sadar tanpa campur tangan dewa mana pun.
Dalam tragedi sang pahlawan, Sophocles sangat mementingkan faktor manusia tanpa mengabaikan faktor keagungan dewa.
Kegilaan Ajax sepertinya berakar pada karakter sang pahlawan itu sendiri, trauma perang, ketakutan, dan konflik internalnya.