Perlawanan Masyarakat Palestina untuk Merdeka dalam Dua Babak Intifada

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 13 Oktober 2023 | 14:00 WIB
Mahmoud Assadi mencium tangan ibunya saat wawancara dengan Reuters di kota Jenin, Tepi Barat, 25 Agustus 2010. Bagi Assadi, Intifada baru saja selesai. Dibebaskan oleh Israel beberapa bulan lalu, mantan pejuang tersebut mengatakan ini adalah waktu bagi warga Palestina untuk pulih dari pemberontakan terakhir mereka, bukan melancarkan pemberontakan baru. Gambar diambil 25 Agustus 2010. ( Ammar Awad/REUTERS)

Nationalgeographic.co.id—Negara-negara Arab gagal dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Perang Arab-Israel beberapa kali pecah dari tahun 1948 sampai ditutup dalam Perang Yom Kippur atau Perang Ramadan tahun 1973.

Perang yang awalnya menolak kehadiran negara zionisme dan membebaskan masyarakat Palestina, berakhir menjadi ambisi pengembalian wilayah yang hilang bagi Suriah dan Mesir. Akhir Perang Arab-Israel mengecewakan bagi para aktivis kemerdekaan Palestina dengan berdamainya Mesir dan Israel, serta nasib masyarakat Palestina yang kian memprihatinkan tanpa perhatian.

PLO atau Organisasi Pembebasan Palestina, justru diusir oleh Raja Yordania Hussein setelah konflik 1970. Saat itu PLO dipimpin oleh Yasser Arafat, dinilai melakukan pemberontakan. Hal ini membuat organisasi kemerdekaan Palestina berpindah ke Lebanon.

Setelah negara-negara Arab tidak dapat diandalkan, masyarakat Palestina harus berjuang dengan caranya sendiri. Usaha melawan demi kemerdekaan ini lebih dikenal sebagai intifada yang berarti perlawanan atau pemberontakan.

Intifada pertama terjadi akibat pengambilalihan tanah yang dilakukan Israel, dan membangun pemukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan kekerasan. Pengambilalihan tanah berjalan setelah partai sayap kanan Israel menang Pemilu 1977.

Leen Anabtawi, 24, warga Palestina, melihat mural yang menggambarkan pemimpin Fatah Marwan Barghouti yang dipenjara saat dia berjalan melewati bagian penghalang Israel, dekat Ramallah di Tepi Barat yang diduduki Israel, 24 September 2020. Gambar diambil 24 September 2020. (Mohammad Torokman/REUTERS)

Pemerintah Israel selama 1980-an menerapkan kebijakan untuk mengusir masyarakat Palestina dari tanah yang berhasil direbut di Tepi Barat. Tekanan keras juga muncul setelah masyarakat Palestina melakukan protes setelah Israel menginvasi Lebanon pada 1982. Perang ini terjadi karena PLO melawan Israel dari selatan Lebanon, tetapi dibalas dengan penyerbuan ke Beirut.

Sementara di kalangan masyarakat Palestina sendiri muncul gerakan yang menentang kepemimpinan PLO. Berbagai kelompok lokal menyuarakan berjuang untuk kemerdekaan Palestina tanpa harus mendapatkan perintah dari mereka.

Namun, Israel terus menekan aktivisme politik Palestina. Mereka juga memutuskan hubungan PLO dengan wilayah Palestina lainnya demi melanjutkan pembangunan sejak awal 1980-an.

Suasana antara Israel dan Palestina semakin runyam pada 1986 dan 1987. Berbagai demonstrasi atas pengekangan yang dilakukan Israel dilakukan. Namun, aparat Israel menembak dua mahasiswa Gaza di Birzeit University, Tepi Barat, kemudian dilanjutkan dengan penangkapan aktivis.

November 1987, operasi gerilya Palestina mulai bergerak dengan terbang gantole. Mereka menewaskan enam tentara Israel, dan memancing warga Palestina lainnya untuk segera melakukan perlawanan.

Desember 1987, dua mobil yang membawa pekerja Palestina ditabrak oleh kendaraan Israel. Empat pekerja di antaranya tewas. Dituding, kejadian ini merupakan balas dendam Israel atas penikaman warganya di Gaza beberapa hari sebelumnya.