Bagaimana Ekspresionisme Jerman Mengubah Sejarah Dunia Sinema?

By Tri Wahyu Prasetyo, Jumat, 13 Oktober 2023 | 09:00 WIB
Marlene Dietrich sebagai Lola Lola dalam film The Blue Angel, 1930. Salah satu film yang menggunakan pendekatan Ekspresionisme Jerman. (Via The Collector)

Nationalgeographic.co.id—Sulit untuk membayangkan seperti apa lanskap sinema hari ini tanpa terobosan genre film tahun 1920-an ini. Dengan sesaknya simbolisme dan tema gelap yang berani, film Ekspresionis Jerman melesat menguasai negara yang terguncang akibat Perang Dunia I.

Ekspresionisme Jerman dalam sinema dikenal dengan sudut kamera yang dramatis, bayangan yang menjulang tinggi, ilusi optik, anti-pahlawan yang angker. Selain itu, ekspresionisme Jerman juga memiliki akhir cerita yang mengejutkan.

Apa itu Ekspresionisme Jerman?

Ekspresionisme Jerman adalah gerakan seni pada awal abad ke-20, yang sangat berpengaruh namun sangat sulit untuk dijabarkan.

Inkarnasi sinematiknya merupakan cabang dari gerakan Ekspresionisme yang lebih besar, yang memiliki dampak besar pada berbagai jenis seni di awal 1900-an. Ekspresionisme berusaha mengekspresikan emosi dan subjektivitas individu, daripada menggambarkan kesan dunia yang realistis.

Menurut Kat Bello, seorang seniman dan penulis sejarah seni dari Universitas Federal Parana, Karya seni ekspresionis sering kali menggambarkan keterasingan, kegelisahan, dan seksualitas dunia modern.

“Ekspresionis menggunakan warna-warna yang berani dan tidak realistis, garis-garis yang bergerigi, serta bentuk-bentuk yang semi abstrak dan berlebihan,” kata Bello.

Sinema Ekspresionisme Jerman berada di titik temu dari bentuk-bentuk seni ini. Film ini berkembang pesat pada tahun 1920-an, satu dekade setelah dimulainya ekspresionisme dalam seni visual dan sastra. 

Pasca kehancuran Perang Dunia Pertama, gerakan ini membawa ide-ide inovatif dan kisah-kisah yang mengganggu ke layar film bisu. Mise en scene–perancangan panggung dan penataan aktor dalam adegan–dalam film ini tidak menggunakan realisme.

Sebaliknya, film ini mengekspresikan sudut pandang subjektif, berusaha untuk membenamkan penonton dalam narasi yang bengkok dan kisah-kisah yang menghantui.

Latar Belakang: Perang Dunia I dan Republik Weimar

Tentara Inggris di Front Barat, selama Perang Dunia Pertama (1914-1918). (Via Encyclopedia Britannica.)

“Ekspresionisme Jerman adalah gerakan film yang sangat psikologis,” kata Bello, “narasi kejahatan dan korupsi yang mengisi filmografi ekspresionis tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sosial dan sejarah Perang Dunia Pertama dan akibatnya.”

Disebut sebagai perang untuk mengakhiri semua perang, Perang Dunia Pertama mengubah dunia selamanya. Kekurangan sumber daya dan kelaparan meluas di Eropa, ekonomi terjun bebas, revolusi meletus, kekaisaran serta kerajaan runtuh, dan negara-negara baru keluar dari rahimnya.

Hampir sepuluh juta tentara tewas dalam empat tahun konflik. Di Jerman saja, dua juta orang tewas dalam pertempuran, sementara hampir dua belas juta lainnya pulang dengan luka parah. Dampak psikologis dari perang, baik di medan perang maupun di rumah, tidak terhitung.

Pada tanggal 9 November 1918, sebuah revolusi akan membawa kejatuhan monarki dan mengantarkan sebuah republik konstitusional demokratis yang baru. Ia juga memberikan sejumlah konsesi kepada para petinggi militer dan kelas atas.

Masa ini dikenal sebagai Periode Weimar atau Republik Weimar. Berlangsung dari tahun 1919 hingga 1933, periode ini penuh dengan konflik dan kontradiksi.

Namun, pada pertengahan tahun 1920-an, stabilisasi ekonomi yang lambat dan membaiknya hubungan internasional membuat Weimar mengalami masa keemasannya.

Seni, budaya, serta inovasi ilmiah dan filosofis berkembang pesat di Weimar. Pada tahun-tahun ini pula, sinema mengalami perkembangan teknologi dan artistik yang menakjubkan.

Bioskop Republik Weimar

Menurut Bello, sekitar 3500 film layar lebar diproduksi selama Periode Weimar. Bioskop tidak pernah sepopuler di Jerman dari tahun 1919 hingga 1926.

“Pada tahun 1920-an, Jerman memiliki satu-satunya industri film di dunia yang dapat menyaingi Hollywood dan, menurut banyak orang, melampauinya dalam hal modernitas dan kecanggihan,” katanya.

Sinema Weimar sangat luas dan beragam. Ekspresionisme Jerman hanyalah satu bagian dari keseluruhannya, tetapi terobosan gaya dan tematiknya begitu mencolok sehingga masih ada gema di sinema global saat ini.

Ekspresionisme Jerman di Bioskop

Setelah kehancuran Perang Dunia I dan ketidakstabilan setelahnya, para pembuat film ekspresionis memberontak terhadap konvensi dalam hal konten, gaya, dan komposisi.

Dalam Ekspresionisme Jerman, ranah psikologis mendefinisikan lingkungan. Semua aspek desain, pencahayaan, pergerakan kamera dan pembingkaian, gaya aktor, serta pilihan akting meninggalkan penggambaran realis. Mereka mencari representasi yang lebih mendalam.

Bello menjelaskan, film ekspresionis menjauh dari realitas tetapi lebih dekat dengan kegelisahan eksistensi manusia.

“Dengan atmosfer yang intens, Ekspresionisme Jerman merefleksikan psikologi Jerman yang trauma akibat perang, dicengkeram oleh kekerasan, dan berjuang melalui ketidakpastian ekonomi serta gejolak sosial-politik di layar film,” kata Bello.

Bayangan Panjang Ekspresionisme Jerman

Conrad Veidt sebagai Cesare dalam The Cabinet of Dr. Caligari, 1920. (Via The Collector)

Hingga saat ini gaya dan tema Ekspresionisme Jerman tetap provokatif dan mencolok. Meskipun berakhir dengan pukulan rezim Nazi, gerakan ini bertahan menjadi salah satu gerakan film yang paling berpengaruh dalam sejarah perfilman.

Menurut Bello,Hal ini disebabkan oleh kesuksesan film-filmnya dan banyaknya pembuat film Jerman atau yang berbasis di Jerman melarikan diri pada tahun 1930-an. “[mereka] membawa pengetahuan mereka ke London, Hollywood, dan seterusnya.”

Pengaruh yang paling jelas dapat dilihat pada genre horor, khususnya horor monster tahun 1930-an dan film noir tahun 1940-an yang sinis.

Gerakan ini mengubah pembuatan film selamanya. Pengaruhnya dapat dilihat dalam sinema, televisi, fotografi, seni visual, dan bahkan komik.